Pengalaman Menonton Konser Jamiroquai Oleh Orang Yang Sama Sekali Tak Kenal Legenda Funk Itu

FYI.

This story is over 5 years old.

Musik

Pengalaman Menonton Konser Jamiroquai Oleh Orang Yang Sama Sekali Tak Kenal Legenda Funk Itu

Setelah menyaksikan Jay Kay menyanyikan 'Cosmic Girl' dan 'Space Cowboy' sepanjang konser perdana Jamiroquai setelah vakum tujuh tahun, saya merasa hidup ini lengkap sudah.
Emma Garland
London, GB

Artikel ini pertama kali tayang di Noisey UK. 

Sehari sebelum peringatan setahun Brexit, saya berada di Paris menonton konser Jamiroquai pertama dalam tujuh tahun terakhir—jujur sih, saya engga tahu kenapa datang ke konser itu. Sampai beberapa jam sebelum konser dimulai, saya hanya mengenal Jamiroquai lewat video "Deeper Underground" yang dulu bikin keki tiap kali nongol di MTV 2, adegan dalam film Dynamite ketika Napoleon berjoget mengikuti irama "Canned Heat" di hadapan teman-temanya yang setengah kaget, setengah terpesona.Tiket pertunjukan di Salle Pleyel, Paris, ludes dalam hitung detik—saya akan kebagian lakon teman-teman Napoleon yang dibikin melongo itu.

Iklan

Yang aneh dari Jamiroquai adalah jika kita mempreteli acid jazz, funk, dance atau apalah itu ini, komponen individu yang kita dapati tak akan masuk akal, kalau tidak bisa dibilang engga nyambung. Misalnya, nama mereka yang kedengaran aneh—penggabungan "jam session" dan sebuah referensi tentang suku asli Amerika, Iroquois. Mereka pernah punya pemain Didgeridoo selama delapan tahun. Serta tentu saja, video musik single mereka (Don't) Give Hate A Chance yang kontroversial itu. Tapi, dari semua komponen individu pembentuk Jamiroquai ada satu yang menonjol, kalau tak bisa dibilang mendominasi. Dialah Jay Kay, sang vokalis.

Mari kita bahas Jay Kay lebih dulu. Pria flamboyan ini tak bisa tidak punya peran besar dalam perjalanan Jamiroquai melampui predikat "musisi panutan musisi lainnya" dan mendarat tepat di garis depan budaya pop arus utama. Suaranya, goyangannya, serta koleksi topi besar dan unik yang jadi ciri khasnya—mau tak mau inilah imej yang kadung menempel dalam otak kita, jika mendengar kata "Jamiroquai." Kita seringkali tak menganggap Jamiroquai sebagai band selayaknya, unik funk/acid jazz yang dihuni oleh banyak pemain musik dan besar di kancah musik London yang pernah dihuni kolektif macam James Taylor Quartet dan Brand New Heavies. Sekarang, bisakah kita membayangkan grup semacam James Taylor Quartet atau Brand New Heavies membuat Stadion The O2 sold out sampai dua kali dan membuat netizen pusing tujuh keliling di tahun 2017? Rasanya tidak. Cuma Jay Kay dan kawan-kawan yang bisa.

Iklan

Tetap saja, kuncinya ada di Jay Kay. Pria asal Stretford, Inggris—yang doyan banget memadupadankan topi yang meriah dengan bootcut serta jaket lari dan menyanyi dalam kata-kata paling samar di seluruh dunia—telah menjadi sosok sensasional yang dengan wolesnya melampui sekat-sekat demografis. Chance The Rapper jatuh cinta padanya, begitu juga The Black Madonna, Internet mencintai Jay Kay, Katy Perry "sangat menunggu" comeback Jay Kay, Tyler, The Creator mengaku "Jay Kay sangat mempengaruhi musikku," Pharrell—yang tak asing dengan betotan bass dan topi berukuran besar—pernah terang-terangan menyatakan ketertarikannya bekerja bersama Jay kay, Missu Elliot perhan mensample "Morning Glory" on "Bite Our Style (Interlude)" dan bukankah karir solo Justin Timberlake sebenarnya semaacam pengakuan akan betapa berpengaruhnya Jamiroquai? Jadi sebenarnya ada apa di balik pria yang sepintas mirip versi lebih beradab dari Gallagher bersaudara yang membuat pengaruhnya begitu merajalela? Tentu saja, pertanyaan pamungkasnya: siapa sih si Jay Kay ini?

Setelah menyaksikan Jamiroquai manggung selama dua jam 15 menit tanpa henti, saya—bukan penggemar Jamiroquai—punya teori seperti ini: Jamiroquai bisa menaklukan hati semua orang. Ayah kalian yang suka Steely Dan, proyek lama Guruh Soekarno Putra atau fase awal Fariz RM pasti juga menyukai Jamiroquai. Ibu kalian yang pernah terobsesi George Michael juga bakal bernasib sama. Rekan kalian yang kebetulan suka Prince juga bakal kesengsem. Yang pasti jatuh hati juga adalah gerombolan pemuja Red Hot Chilli Peppers. Bahkan, musisi sekaliber Stevie Wonder pun tak bisa menutupi kekagumannya terhadap Jamiroquai. Kalau boleh saya simpulkan, Jamiroquai mampu membuat semua orang bergoyang. Tak peduli apakah mereka itu elitis pemuja track-track antah berantah Radiohead, pengagum UK Garage, hingga para pemamahbiak bossa nova.

Iklan

Saya melihat sendiri buktinya. Salle Pleyel—yang dirancang untuk menampung 2.500 orang—disesaki oleh penonton dengan tingkah polah yang beragam. Jujur saja, saya tak bisa menakar bentang umur mereka yang datang. Yang bisa saya pastikan adalah semua yang datang ikut berjoget (asal kalian tahu, mereka berjoget karena musik bukan karena asupan lain, wong minum saja tak boleh dibawa masuk). Saya juga menyaksikan seorang gadis asik berjoget di kawasan penonton yang menonton sambil duduk. Ada juga seorang lelaki setengah baya yang asik membuat instragam story. Obyeknya? Tentu saja Jamiroquai. Beberapa penonton memakai setelan jas dan mengenakan topi seperti Jay Kay lalu lalang. Sumpah! saya tak pernah menemui penonton konser semajemuk ini kecuali di pub Hackney Weatherspons di hari sabtu.

Jelas belaka, Jamiroquai adalah pusat perhatian malam itu. Kolektif yang dibentuk 1992 lalu tampil hampir tanpa celah. Dari lagu awal "Shake it On" langsung disambung dan "Little L," hingga encore "Canned Heat" yang disusul "Love Foolosophy" (bgst bener memang), seluruh konser berjalan dengan sangat presisi. Jamiroquai menunjukan kelasnya musisi kelas atas. Jay Kay—sangat episentrum keriaan malam itu–terlihat lebih santai, tak lagi berlari-lari mengelilingi panggung seperti habis kebanyakan makan gula.

Belakangan, Jay Kay memang makin memukau dan bisa dibilang lucu. Jay Kay tak banyak cincong. Sekalinya membuka mulut yang keluar cuma ucapan "thank you" yang selingi tawa yang terputus. Kalau mau diandaikan, tawanya malam itu berada di antara tawa ala Will Smith dan Michelle Visage. Pada titik ini, LED di topinya sudah kehabisan baterai, tak lagi menyala. Dia seakan menunjukan betapa ironisnya hidup di dunia yang dipenuhi kemajuan teknologi. Bahkan, dia sendiri—seorang bernama Jay Kay—harus me-recharge mahkotanya. Tapi itu tak menghentikannya bersenang-senang. Sebaliknya, Jay Kay makin kelihatan asik saja seiring berjalannya konser. Satu kali, dia menjejakkan kakinya ke ampli dan mencondongkan tubuhnya ke arah kerumuman penonton. Pemujanya segera mengulurkan tangan ke arah Jay Kay seperti tengah memuja matahari. Tak satu pun berniat menyentuh tubuh Jay Kay. Tak henti-hentinya, tangan Jay Kay menunjuk ke arah penonton dan bergoyang dengan anggun. Tiap gerakan diakhiri oleh Jay Kay dengan keren dan apik. Kalau Tuhan pernah menggariskan takdir buatnya, saya yakin dia ditakdirkan menjadi penari yang elegan. "Saya belum tamat!" ujarnya dalam satu kesempatan, "Ha Ha Haaa!" pada akhir suatu set. Tak lama kemudian, ia berjalan dari satu pojok panggung ke pojok panggung lainnya, menyalami semua yang ada di garis depan.

Iklan

Saya dibuat terpesona habis-habisan oleh Jay Kay cs sampai-sampai selama pertunjukan berlangsung, saya cuma sekali mengeluarkan ponsel. Itu pun, saya gunakan untuk menggoogle umur Jay Kay (47 tahun aja gitu). Tak pelak, saya harus mengakui bahwa dia barangkali salah satu pria paling smooth di muka bumi. Belum lagi, tabiat smooth yang ditonjolkan Jay Kay rasanya berbeda dari apa yang kita lihat pada Michael Jackson atau Freddie Mercury. Keduanya biasanya otomatis berkata " "EXCUSE ME, BUT HOW" tiap kali membuka mulut setelah beres berjoget. Jay Kay lebih dekat mirip seorang ikon yang merakyat; seorang pangeran yang memilih memakai zip up hoodie. Dia bahkah tak usah mencampur bahasa karena toh dia hidup di dunia yang berbeda. Dia adalah raver yang kerap duduk sendiri di klub yang anda kunjungi. Jay Kay juga lebih mendekati seorang pria yang duduk di sebelahmu di bar menengah—matanya ditutupi kacamata hitam—dan tak dengan woles ngoceh tentang koleksi mobil mewahnya. Tak ada kesan congkak dalam nada bicaranya.

Sekilas, Jay Kay menebar impresi bahwa apa yang dia lakukan di atas panggung bisa ditiru oleh siapapun—tapi sebenarnya tidak. Jay Kay adalah sebuah kekuatan sendiri. Kadang, dia bergerak layaknya balita yang baru belajar jalan di atas sebuah perahu. Dan enteng saja, dia melakukannya. Artinya, gerakan ini muncul dengan sendirinya. Bukan gerakan yang dilatihnya berkali-kali di depan kaca. Suara Jay Kay adalah salah satu yang terbaik di masanya, baik secara teknik atau dalam hal bagaimana suara itu kerap berubah-ubah (di tembang-temang yang lirih, seperti track"Corner of the Earth," suaranya mirip seperti malaikat yang tengah menghebuskan nafasnya ke muka kita). Kepiawaian Jay Kay juga kentara dalam video musik. Hanya Jay Kay yang mampu mengubah gerakan seremeh duduk di kursi bioskop jadi koreografi jempolan. Jay Kay juga satu-satunya manusia dalam sejarah video musik yang mengenakan kostum hasil oplosan The Mask dan Joker dan menari-menari di antara kotak sampah. Sepertinya memang cuma Jay Kay yang bisa memoloti mata seekor elang tanpa terlihat kampungan. Harusnya tak ada bisa selamat dari kelakuan macam ini, tapi Jay Kay adalah pengecualian. Bagaimana pun juga, malam itu Jay Kay—lewat nyanyian tentang gadis kosmik dan koboi luar angkasa—membuat hidup saya jadi lebih berwarna.

Jamiroquai adalah tamparan keras bagi kancah musik Inggris kekinian yang penuh dengan penari seksi dipadukan dengan tampang-tampang pria Inggris yang kobam parah, serta celana panjang ajaib. Di saat yang sama, akan sah-sah saja membayangkan "Little L" dimainkan di kafe dekat wilayah kosan mahasiswa sementara pengunjung kafe asik menghafal materi UTS. kalian boleh mengganggapnya sebagai bukti kepiawaian bermain musik atau kemampuan menulis lagi di atas rata atau sekedar "lagu funk ringan yang dibuat untuk kafe-kafe minuman di mall", yang jelas Jamiroquai telah kembali setelah menghilang selama hampir satu dekade. Kini, saya sama bersemangatnya menyambut kembalinya mereka—atau Jay Kay kalau mau jujur—seperti ketika orang ramai membagikan video "Automation" di Facebook Januari Lalu. Saya beranjak ke Paris guna mencari jawaban sebuah pertanyaan—jawaban yang memaksa salah satu kawan penulis menjadi Jamiroquai itu sendiri. Jawaban itu tak kunjung saya temukan. Malah, pengalaman saya menonton mereka langsung mengeyahkan kebutuhan untuk menjawab pertanyaan tadi. Saya mengerti sekarang kenapa Jamiroquai begitu memukau.

Follow Emma di Twitter.

Album Automation sudah resmi beredar di pasaran.

Semua foto konser oleh David Wolff-Patrick.