FYI.

This story is over 5 years old.

Pilgub DKI

Jangan Heran Bila Generasi Muda Mengusung John Cena Jadi Cagub Jakarta

Momen kampanye ini membuat banyak orang bersikap jahat pada sesamanya. Attitude penduduk DKI tampaknya perlu "adjusment" seperti slogan Pak John Cena.

Rabu, 15 Februari 2017, jutaan penduduk DKI Jakarta menggunakan hak suaranya dalam pemilihan gubernur yang menyita perhatian nasional beberapa bulan terakhir. Masa kampanye pilgub DKI membuktikan manusia Indonesia bisa bertindak kejam, terutama di media sosial. Saling fitnah, menyebar berita palsu, meme mengolok-olok satu sama lain, serta debat mempersoalkan agama seseorang. Semua hal yang serba negatif deh. Jika kalian membuka sosmed, yang terlihat cuma racun kebencian. Kayaknya kita perlu sosok yang bisa menjadi ikon multikulturalisme dan toleransi. Bukankah Indonesia ini negara majemuk? Kita tak boleh diam saja. Kita harus punya sosok alternatif di luar tiga kandidat yang bertanding. Oke udah telat sih, pilkadanya bentar lagi mulai. Tapi bodo amat. Orang-orang harus tahu kalau ada sosok yang bisa melawan semua kedegilan sosmed selama kampanye pilgub. Tokoh yang bisa memberi killer body slam pada semua penyebar kebencian? Siapa lagi kalau bukan John Cena. Pegulat profesional WWE juara dunia 16 kali. Ya John Cena yang itu.

Iklan

Bukan cuma saya kepikiran mengusung John Cena jadi calon alternatif Gubernur DKI. Ada satu laman Facebook gigih mengampanyekan John Cena sebagai pemimpin Ibu Kota. Kampanye di Facebook bahkan sudah dirintis sejak setahun lalu. Slogan para pendukungnya: Make Jakarta Great Again!  Di AS, John Cena adalah sosok yang menuai pro-kontra. Banyak penggemar gulat pro justru membencinya, karena dia sering dicitrakan sebagai "lelaki baik-baik" yang gemar beramal lewat Make A Wish Foundation. Di Indonesia, sebaliknya, Cena dikenal sebagai manusia tanpa cela. Minimal, begitulah yang dipikirkan para penggemarnya. Dalam polling yang digelar oleh para pendukung, John Cena berada dalam posisi teratas (tentu saja), jauh meninggalkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ataupun mendiang gorila legendaris Harambe. Bayangkan, Harambe yang mati tragis ditembak petugas bonbin saja bisa dikalahkan popularitasnya oleh John Cena. Para pengusung John Cena sangat aktif berkampanye. Beberapa waktu lalu, mereka menuding Komisi Pemilihan Umum Jakarta yang menggelar debat bersikap pilih kasih. "KPU tidak adil, Pak Cena hadir dalam debat namun tidak ditanya," tulis admin laman tersebut. Cena dikenal dalam budaya internet sebagai sosok pegulat yang tidak bisa dilihat kebanyakan orang. Kalian merasa nonton sosok Cena, padahal yang kalian saksikan hanya bayang-bayangnya. Oh yeah! Pendukung John Cena sebagai calon gubernur alternatif kebanyakan adalah generasi millenials Indonesia, para pemilih pemula. Demografi pemilih pemula digadang-gadang beberapa lembaga survei kredibel sebagai penentu hasil pemilihan daerah yang digelar serentak di 7 provinsi (walaupun cuma pilgub DKI dan Banten yang disorot media), 18 kota, dan 76 kabupaten.

Iklan

Pertanyaannya, kenapa sebagian millenials di Jakarta justru tertarik mengusung kandidat alternatif seperti Cena? Untuk menjawab ini, kita harus kembali ke masa 20 tahun lalu. Saat itu televisi Indonesia mulai menayangkan acara gulat profesional AS. Millenials tumbuh menonton opera sabun para pria berotot itu. Kadang, saking semangatnya menirukan banting-bantingan di Smackdown, banyak millenials seangkatan saya mengalami nasib tragis. Sebagian generasi muda yang lahir awal abad 21 tumbuh besar menyaksikan gulat WWE setelah Attitude Era berakhir. Di masa-masa inilah John Cena begitu dominan, terhitung sejak 2006 sampai sekarang. Dia adalah tokoh kesukaan semua penggemar gulat pro. Sosok pria baik-baik yang pasti akan melawan semua kezaliman.

"Cagub kami, Bapak Cena, menanamkan semboyan "RISE ABOVE HATE" kepada kami. Artinya seberapa banyak kami dicela, kami tidak akan peduli dan akan terus bangkit dan membuktikan bahwa kami bisa dan kami akan memenangkan pilkada."

Tentu saja, sejak awal optimisme para pendukung tidak boleh melambung terlalu tinggi. Bagaimanapun, Cena adalah warga negara Amerika Serikat. Dia belum pernah menginjakkan kaki di Jakarta dan tidak punya hak memilih maupun dipilih dalam semua sistem politik Indonesia. Tapi, para pendukung Cena tak mau peduli. Mereka akan terus berjuang. Sebab, guyonan ini terlalu serius untuk diabaikan begitu saja. Dengan mengusung Cena, kaum milenial Jakarta berani menunjukkan ketidakpedulian terhadap jebakan sosial agar mereka terseret hiruk pikuk seputar sosok-sosok cagub DKI. Hal ini semacam protes pasif mereka terhadap hal-hal negatif dari rangkaian pilgub tiga bulan terakhir.

"Kami selaku relawan #CenaForJakarta mengecam keras penyelenggara debat calon gubernur DKI Jakarta karena telah mendzhalimi cagub kami Bapak Cena," tulis mereka, ketika lagi-lagi sorotan media hanya tertuju pada Agus, Anies, dan Ahok. "Dalam dua kesempatan debat yang lalu, beliau menyempatkan diri hadir namun sama sekali tidak diberi pertanyaan dan dilibatkan dalam debat. Tindakan ini mencederai demokrasi dan melukai perasaan kami sebagai pendukung beliau." Memang sih, kalau dunia sudah jungkir balik, barulah ide mengusung Cena sebagai gubernur DKI bukan pepesan kosong. Tapi, kira-kira apa yang terjadi jika sang pegulat legendaris itu benar-benar menjabat posisi penting di pemerintahan kita? Apakah dia akan mengikutsertakan para pejabat korup dalam program "attitude adjustment" seperti yang biasa dia lakukan di ring? Apakah dia akan melarang orang makan nasi (seperti mantan wali kota Depok dulu) karena karbohidrat nasi terlalu banyak dan tidak baik untuk membentuk otot tubuh? Apakah ketika warga Jakarta saling bersengketa, maka Pak Gubernur Cena bakal menyediakan arena dikelilingi pagar besi tinggi ala-ala pentas RAW, supaya mereka menyelesaikan semua masalah di atas ring?

Sayang, kita tidak akan pernah tahu. Tapi bayangkan pemandangan indah itu. Para pendukung garis keras tiga calon gubernur dalam Pilkada DKI 2017, yang selama kampanye saling injak satu sama lain, menghentikan perdebatan di dunia maya. Mereka menuntaskan kebencian, membanting satu sama lain—serta saling hajar pakai kursi lipat—di atas ring gulat. Sebuah pemandangan yang indah. Jakarta will be great again!