Korupsi

Berulang Kali Menteri dari Parpol Korupsi, Jokowi Perlu Pikirkan Metode Seleksi Baru

Menurut akademisi sekaligus pegiat antikorupsi, menjelang terjadinya reshuffle kabinet, presiden perlu tegas menolak calon tidak kompeten dari partai.
Berulang Kali Menteri dari Parpol Korupsi, Jokowi Perlu Pikirkan Metode Seleksi Baru
Presiden Joko Widodo berpidato di Bogor pada 18 November 2020. Foto oleh Aditya Aji/AFP

Sejak terjadi penangkapan dua menteri dalam kurun dua minggu, muncul usulan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera melakukan reshuffle kabinet. Salah satunya datang dari politisi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, yang menilai pergantian pembantu presiden saat ini adalah sesuatu yang wajar.

“Pilihan presiden [ada] dua: cukup dengan mengganti dua menteri ini atau sekalian melakukan reshuffle [kabinet] sesuai dengan kebutuhan pemerintahan yang akan datang,” tutur Arsul. 

Iklan

Pangi Syarwi Chaniago, pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, juga melihat reshuffle kabinet sebagai kebijakan yang mendesak. “Supaya ada kepastian dan efek jera terhadap menteri, maka sudah sangat genting untuk melakukan reshuffle. Apalagi dalam kondisi serba sulit ini,” ujarnya.

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhir November dan awal Desember lalu. Edhy, politisi Gerindra, menjadi tersangka dalam kasus suap ekspor benur (benih lobster). Sementara Juliari, anggota PDI Perjuangan, memakai rompi oranye KPK karena diduga menerima suap bansos penanganan pandemi Covid-19.

Jokowi mengatakan dirinya tidak akan melindungi para menterinya yang terlibat korupsi--sebuah pernyataan sikap yang tidak perlu dianggap spesial sebab memang ini yang semestinya ia lakukan. “Kita semua percaya KPK bekerja secara transparan, secara terbuka, bekerja secara baik, profesional, dan pemerintah akan terus konsisten mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi,” kata Jokowi, seperti dalam keterangan pers yang dirilis oleh Istana Kepresidenan.

Meski desakan mulai menguat, tetapi sejauh ini belum ada tanda-tanda akan ada reshuffle kabinet yang terjadi. Kantor Staf Presiden (KSP) menjelaskan Jokowi tidak bisa ujug-ujug mengutak-atik kursi menteri hanya karena dua pembantunya diduga korupsi.

Iklan

“Kalau reshuffle lebih luas itu saya kira tergantung dari evaluasi Presiden terkait kinerja menteri,” kata Tenaga Ahli Utama KSP Donny Gahral Adian. Artinya, ia menambahkan, dua kasus korupsi saja tidak cukup jadi alasan untuk merombak isi Kabinet Indonesia Maju.

Dalam dua kasus terbaru, anggota partai yang menjabat sebagai menteri kembali terkait kasus korupsi. Hal ini melahirkan pertanyaan apakah sebaiknya presiden perlu memikirkan ulang proses seleksi pejabat setingkat menteri. Ketua Pusat Kajian Antikorupsi UGM (Pukat UGM) Oce Madril mengatakan kepada VICE, bahwa masalah utamanya bukan pada menteri dari partai politik, melainkan cara menyeleksinya.

“Sebenarnya itu debatable soal orang partai dan nonpartai, karena tidak ada jaminan, tidak ada rumus, dan tidak ada studi yang meyakinkan yang bicara soal apakah dia dari partai atau bukan,” ujarnya. “Kalau dia dari partai, tapi track record-nya bagus, tentu tidak ada persoalan. Jadi, memang berkaitan dengan sosoknya.”

Oce menuturkan selama ini praktik yang diwajarkan adalah partai-partai pendukung menyodorkan nama anggota mereka sebagai calon menteri, tanpa presiden memanfaatkan hak prerogatif untuk menolak. Alhasil, proses seleksi seakan-akan diserahkan kepada partai. 

Iklan

Ini membuat standar atau kualifikasi mereka dipertanyakan. Tak jarang, justru persyaratan bagi mereka lebih longgar dibandingkan untuk yang berasal dari kalangan profesional.

“Ketika sudah ada pembagian jatah kursi-kursi menteri kepada partai, sebenarnya sudah enggak ada prerogatif Presiden. Jadi, sudah kayak dikavling dari partai itu,” kata Oce.

Padahal, seorang presiden semestinya mempertimbangkan risiko mengangkat menteri dari partai. Oce menjelaskan, politisi memiliki kewajiban untuk berkontribusi terhadap partai yang menaunginya, salah satunya dalam bentuk finansial. 

Potensi konflik kepentingan pun jadi lebih tinggi. Maka, seleksi oleh tim kepresidenan seharusnya jauh lebih ketat, terutama soal integritas. Ini menggarisbawahi sebuah fakta lain. Reshuffle tidak akan secara magis membuat kabinet bebas dari korupsi, sebab akar masalahnya adalah seleksi menteri itu sendiri.

Sikap Jokowi yang seolah lepas tangan ketika menterinya menjadi tersangka juga layak dikritik. Dalam sebuah pernyataan resmi usai Juliari ditahan di KPK, ia mengatakan: “Saya sudah ingatkan sejak awal, menteri di Kabinet Indonesia Maju jangan korupsi. Sudah sejak awal.”

“Yang namanya pimpinan kabinet kan presiden. Jadi, Presiden sebagai atasan, dalam administrasi, sedikit banyak bertanggung jawab,” kata Oce. “Jangan mau bicara yang enak, Presiden semuanya. Tapi, begitu ada problem, Presiden enggak mau tanggung jawab.”

Iklan

Dia menambahkan, “Tentu presiden bisa menegur [menteri]. Presiden bisa melakukan intervensi, memveto, memberhentikan sebuah kebijakan. Misalnya, ekspor benur. Itu sudah lama diperdebatkan. Kan Presiden bisa hentikan itu.”

Selain Edhy dan Juliari, ada dua menteri berlatar anggota partai lain di periode pertama pemerintahan Jokowi sudah diringkus KPK. Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi ditangkap dan divonis tujuh tahun penjara. Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu terbukti bersalah dalam kasus suap pengurusan proposal dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). 

Idrus Marham, pendahulu Juliari di Kementerian Sosial, juga harus mendekam di balik jeruji besi setelah dinyatakan terlibat suap proyek PLTU Riau-1. Ia hanya dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun dan baru saja bebas. Rendahnya vonis yang dijatuhkan oleh hakim kepada politisi Golkar itu sempat dikritik oleh aktivis anti-korupsi karena tak memberikan efek jera.

Tak hanya di era Jokowi, menteri-menteri ditangkap karena korupsi seperti menjadi cerita lama yang terus berulang. Sejak KPK berdiri pada 2003, ada 13 menteri yang diciduk. Tidak semuanya dibawa oleh KPK ketika masih duduk di kursi empuk kementerian.

Ada beberapa yang ditangkap ketika sudah berstatus mantan menteri. Ini lantaran perbuatan haram mereka baru terungkap setelah meninggalkan posisi tersebut. Yang pertama ditangkap adalah Rokhmin Dahuri ketika menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan pada masa Presiden Megawati Sukarnoputri. Ia juga merupakan anggota PDIP yang masih aktif.

Ketika Susilo Bambang Yudhoyono naik sebagai RI-1, KPK menyeret Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng ke meja hijau karena terlibat kasus korupsi Hambalang. Kader Partai Demokrat itu sekarang sudah bebas dan berniat kembali ke dunia politik.