Dunia Kerja

Penyebab Loker Mencari Calon Karyawan 'Palugada' Marak di Internet

Loker programmer yang sekalian bisa edit video viral diolok. Ternyata iklan serupa ada banyak. Kami ngobrol sama praktisi HRD untuk cari tahu apakah perusahan kayak gitu niatnya emang cari romusha.
penyebab iklan lowongan kerja mencari karyawan IT serba bisa PT KIMA Makassar dikritik netizen
Kolase oleh VICE. Ilustrasi CV untuk mencari kerja [kiri] via Getty Images; Foto ilustrasi pening oleh Anh Nguyen via Unsplash

Cindy Mutiara sedang menikmati suasana hari Minggu saat pesan WhatsApp dari temannya masuk. Kawannya itu mengirim sebuah tautan berisi lowongan pekerjaan di sebuah perusahaan swasta ibu kota. Harap-harap cemas, Cindy membukanya. 

Sudah sekitar dua bulan dia menganggur karena perusahaan lamanya gulung tikar. Tetapi setelah membaca persyaratan dan tanggung jawab dari posisi tersebut, perempuan 32 tahun itu seketika ciut.

Iklan

“Yang dicari kan sekretaris pengalaman minimal lima tahun, aku memenuhi tuh. Cuma kok ada syarat harus bisa desain dan nanti ditugaskan mengurus media sosial juga. Kan beda banget dari role seorang sekretaris gue tahu dan jalani selama ini,” tuturnya. “Ya udah, enggak jadi apply.”

Cerita Cindy semakin jamak terjadi di dunia kerja. Media sosial mendorong keterbukaan, di mana mulai banyak orang mengkritik kualifikasi dalam suatu lowongan pekerjaan karena dinilai tak masuk akal. Salah satunya iklan kesempatan kerja di PT Kawasan Industri (Kima) Makassar yang sempat viral.

Perusahaan pelat merah itu mencari kandidat IT Programmer, tetapi persyaratan dan tugas yang disebutkan menyulut rasa heran sebagian netizen. Selain harus menguasai delapan bahasa pemrograman, kandidat yang bakal diterima wajib mahir menyunting video dan grafik memakai perangkat lunak Adobe Photoshop, Corel Draw, After Effects, serta Adobe Premier.

Screen Shot 2021-08-10 at 17.45.34.png

Netizen lantas dengan sarkas (karena kesal) mengolok-olok, mengatakan semestinya kandidat yang dicari perusahaan itu sekalian saja bisa “membelah lautan” dan “berbicara dengan hewan”. Menurut Aditya Rizki, seorang IT Programmer di Mojok.co, kritik serta olok-olok netizen lumayan bisa dipahami.

“Kualifikasi yang ditawarkan itu bidangnya terlalu palugada, apa yang elo mau gue ada,” ujarnya kepada VICE lewat pesan singkat. “Untuk kualifikasi sebanyak itu bisa dipegang oleh empat orang berbeda, misal Frontend Developer [kualifikasi nomor dua], Backend Developer ]kualifikasi nomor tiga dan empat], Ahli Jaringan [kualifikasi nomor lima], dan Video Creator [kualifikasi nomor enam],” urai Adit.

Iklan

Profesi sebagai IT Programmer sendiri sudah penuh tekanan yang sering mengakibatkan burnout antara lain karena bekerja dengan pihak kedua yang tak jarang menetapkan tenggat waktu terlalu singkat. Di beberapa perusahaan swasta, seorang bos bisa memaksakan suatu produk untuk rilis sesegera mungkin tanpa mempertimbangkan sumber daya manusia (SDM) yang ada.

Salah seorang Developer dengan pengalaman 10 tahun di sebuah perusahaan swasta punya pendapat serupa. Daftar hard skill yang tertera di loker PT Kima jauh dari tanggung jawab ideal. Apalagi pemberi kerja juga mencantumkan syarat bersedia bekerja di luar jam kerja normal yang mengindikasikan potensi eksploitasi. “Cari Developer atau Superman?” celetuknya.

Praktisi Human Resources Samuel Ray menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa lowongan pekerjaan seperti milik PT. Kima Makassar itu bisa muncul.

Satu yang paling umum adalah karena HR (Human Resources Department) tak punya pengetahuan soal suatu profesi. Sedangkan user atau kepala divisi yang mencari kandidat hanya menyebutkan kualifikasi sesuai kehendaknya.

“Kadang-kadang HR tuh enggak punya expertise yang sama dengan user. Jadi ketika user-nya [ngomong] ‘gue mau dong spesifikasinya satu, dua, tiga, empat, lima’, HR mungkin cuma ngerti satu atau dua,” kata Samuel kepada VICE. 

“Jadi, dia [HR] enggak bisa push back, enggak bisa fight bahwa ‘apa yang kamu cari itu enggak mungkin ada’ atau ‘dengan budget segitu kamu enggak mungkin bisa dapat yang kamu mau’.” 

Iklan

Faktor lain adalah user yang tidak paham kandidat seperti apa yang secara realistis ada dan sesuai kebutuhan. “Dia bisa aja copas (copy-paste) job ads random dari internet, kemudian dia tambahin sendiri. Dia bisa juga enggak mau tahu, langsung nyerahin ke HR,” imbuhnya.

Sektor IT bahkan sejatinya mempunyai perekrut kandidat tersendiri yang disebuut sebagai Tech Recruiter mengingat banyak kemampuan teknis spesifik yang dilibatkan dan harus sesuai kebutuhan. Jika perusahaan tidak mempunyai SDM khusus untuk ini, Samuel menyarankan HR belajar memperluas wawasan.

“Alangkah baiknya kalau company yang mulai melek digital, HRD-nya juga melek digital. Jadi tahu bahasa pemrograman yang dibutuhkan, requirement yang dibutuhkan,” kata dia.

Selain itu, Samuel juga berpendapat PT. Kima Makassar tidak semestinya mencantumkan hanya mencari kandidat laki-laki karena melanggar Pasal 32 Undang-undang Ketenagakerjaan. 

“Kita enggak boleh mendiskriminasi gender, agama, dan suku. Itu enggak boleh. Jadi, sebenarnya apa yang dilakukan oleh job poster ini adalah act of discrimination. Dia minta pria,” tuturnya.

Bukan hanya lowongan sebagai sekretaris maupun IT Programmer yang menuntut kandidat memiliki kemampuan-kemampuan tanpa batas. Posisi sebagai penulis atau Copywriter pun seringkali mengharuskan calon penerima kerja untuk bisa berbagai macam keahlian yang semestinya dikerjakan oleh lebih dari satu orang.

Iklan

Ini yang dalam sebulan terakhir ditemui Stella Azasya di sejumlah situs lowongan kerja. Perempuan yang berprofesi sebagai penulis kreatif di sebuah media online itu mengaku satu dari tiga iklan kesempatan kerja yang dia baca berisi persyaratan dan tugas yang terlalu luas.

Misalnya, untuk posisi Copywriter di salah satu perusahaan, kandidat selayaknya mendemonstrasikan kemampuan untuk mengurus media sosial dan optimalisasi SEO (Search Engine Optimization). Padahal, ada profesi sebagai Social Media Manager dan SEO Specialist yang mempunyai tugas berbeda.  

Ada efek negatif dari lowongan pekerjaan dengan kualifikasi dan tanggung jawab terlalu luas. Antara lain adalah membuat kian banyak orang enggan melamar dan menciptakan citra buruk terhadap organisasi yang memberi kerja. 

Berdasarkan survei pada 2014 yang diterbitkan Harvard Business Review, sebanyak 46,4 persen laki-laki dan 40,6 persen perempuan tak mau memasukkan lamaran jika mereka percaya tak bisa memenuhi kualifikasi. Artinya, semakin terlalu luas kualifikasi yang diinginkan, potensi semakin sedikit yang mendaftar lebih besar. 

Saat bicara gender, lowongan kerja lebih berdampak terhadap perempuan ketimbang laki-laki. Hewlett Packard menemukan laki-laki akan mendaftarkan diri untuk sebuah posisi ketika yakin memenuhi 60 persen kualifikasi, sedangkan perempuan cenderung memastikan mereka 100 persen sesuai dengan persyaratan. Konsekuensinya tentu saja jumlah pekerja perempuan di suatu posisi bisa jomplang dibandingkan laki-laki.

Iklan

“Misalnya, fifty-fifty atau kebanyakan job desc aku enggak bisa, aku enggak akan apply walau role-nya Writer atau Copywriter,” kata Stella. “Takutnya kalau aku apply, yang mereka butuhkan aku enggak bisa provide. Aku akan apply kalau merasa bisa ngerjain itu.”

Tetapi, bahkan sebelum berbicara tentang kapabilitas melakukan pekerjaan ketika diterima, dia mengaku tetap mempertimbangkan kemungkinan tidak dipanggil wawancara, karena apa yang dia deskripsikan lewat resume tidak seluruhnya cocok dengan persyaratan. 

“Jadi, pas aku apply, aku bisa prediksi aku akan dipanggil [wawancara] atau enggak,” lanjutnya.

Cindy pun punya keyakinan yang sama. “Kalau katakanlah dari lima persyaratan gue enggak bisa memenuhi dua aja, gue langsung skip karena pasti percuma ngasih lamaran, enggak akan diundang interviu juga. Apalagi kalau yang dicari kudu bisa ini-itu, yang menurut gue gila, elo bisa kasih gaji berapa? Kerjaan dua atau tiga orang, tapi elo mau digarap satu orang aja,” ujarnya.

Bagi pencari kerja, Samuel mendorong agar mereka tidak putus asa ketika mendapati diri berada dalam situasi ini. Pilihannya adalah antara tetap percaya diri untuk melamar atau mencari lowongan lain. Tidak diterima oleh suatu entitas pemberi kerja tidak lantas menjadikan seseorang sebagai manusia gagal.

“Kalau kamu cari kerja, kalau enggak lolos juga enggak apa-apa lho,” kata dia. “Bisa jadi karena memang enggak cocok.”

Sementar untuk praktisi HRD lain agar terhindar dari olok-olok netizen karena dianggap mencari calon karyawan palugada (atau malah diejek “pencari romusha”), Samuel menyarankan perlunya memperluas wawasan dan meningkatkan komunikasi dengan user.

“Dia harus paham dulu apa yang dicari sama user, baru dia bisa bilang ‘iya ada orang kayak gitu gue bisa cariin’ atau ‘enggak, elo ngawur, enggak ada manusia sehebat itu’,” tandasnya.