FYI.

This story is over 5 years old.

Kebebasan Berpendapat

Walau Ada UU MD3, Satu Seniman Bersumpah Tidak Akan Berhenti Mengejek DPR

Andrew Lumban Gaol dari Anti-Tank Project rutin menghina parlemen. Pengesahan UU MD3 yang rentan mengekang kebebasan berpendapat tak menyetop aksinya di masa mendatang.
Ilustrasi racun tikus DPR dari arsip pribadi Andrew Lumban Gaol. Diunggah atas seizin Andrew.

Di perempatan salah satu ruas jalan sibuk di Yogyakarta enam tahun lalu, mata pengendara motor maupun mobil yang berhenti pasti akan tertuju pada poster ukuran lebih dari 5 meter persegi tertempel di dinding bangunan reyot. Poster tersebut menampilkan badut hitam putih memakai jas dan berdasi. Sebuah kalimat menohok tampil dalam huruf ekstra besar. “Butuh Badut Lucu? Hubungi Senayan.” Otak di balik sentilan brutal terhadap parlemen Indonesia itu adalah Andrew Lumban Gaol.

Iklan

Bagi Andrew, jalanan adalah medan pertempuran politik terbaik. Pria Batak, yang lebih dikenal berkat nama alias Anti-Tank Project tersebut, percaya jalanan bisa melahirkan kekuatan besar membawa perubahan. Lewat Anti-Tank Project, Andrew kerap menggulirkan kritik terhadap sistem pemerintahan melalui media poster dan grafiti di sudut-sudut jalanan Yogyakarta—kota yang sudah ditinggalinya selama lebih dari satu dekade. Andrew percaya karya seni jalanan bisa meninggalkan kesan bagi memori kolektif, jauh lebih efektif dibandingkan karya seni tinggi yang dipajang di galeri dan hanya bisa dinikmati oleh segelintir kalangan.

Poster, mural, ataupun graffiti dari Andrew sebetulnya dikemas tak berlebihan, namun seringnya jadi berhasil mencolok di antara tempelan iklan rokok dan iklan panggung festival yang semua bersaing minta perhatian. Anti-Tank berulang kali membuat kritik keras bernada merendahkan pada DPR maupun lembaga negara lainnya, khususnya saat terjadi kisruh nasional mengundang perhatian Andrew. Contohnya saat pemerintah dianggap gagal menyelesaikan permasalahan Papua, kisruh sumber daya tambang, sampai membiarkan sekian jilid perseteruan KPK vs Polri.

“Masyarakat kita mudah menyerap komedi,” kata Andrew saat dihubungi VICE Indonesia. “Sementara kita tahu fungsi pemerintahan seperti di DPR tidak berjalan ideal. Kemuakan kolektif tersebut akhirnya saya parodikan.”

Andrew, yang kini 33 tahun, tidak terjun begitu saja di dunia aktivisme dan seni rupa. Saat masih tinggal di kota asalnya Pematang Siantar, Sumatera Utara, pada medio 2000'an, Andrew menyelami kultur punk. Kesadaran politiknya tumbuh alami berangkat dari hal komunitas yang dia geluti. Berkat punk, ia belajar tentang dasar gerakan politik dan prinsip kesetaraan.

Iklan

Ia kerap menjadi bulan-bulanan polisi, yang sering tanpa alasan kuat merazia bocah punk yang nongkrong di jalanan. Ia mulai memakai moniker Anti-Tank Project sebagai alteregonya pada 2004 demi menyalurkan keresahan pribadi, Baru pada 2008, ketika kuliah di Yogyakarta, Andrew menemukan momentum berkarya lebih luas. Karya-karyanya jauh lebih berani menyitir ketimpangan sosial. Tidak ada basa-basi. Berkat tempaan Yogya, Andrew tak hanya mengandalkan seni urban buat melakukan perubahan. Andrew pun aktif mendampingi masyarakat Kendeng melawan pabrik semen dan melawan penggusuran warga untuk lahan bandara Kulon Progo.

Apa yang dilakukan oleh Andrew, dan banyak seniman lainnya di negara kita, sebetulnya sangat wajar. Itulah diskursus politik. Namun perubahan dalam lanskap hukum dan politik sejak pekan lalu berpotensi membungkam kebebasan berekspresi lebih jauh lagi. Ketika membuat meme saja bisa berujung pada pidana penjara, kini masyarakat diyakini harus lebih berhati-hati lagi ketika menyampaikan kritik terhadap DPR setelah Revisi Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) disahkan awal pekan ini.

Beberapa pasal dalam UU tersebut memang problematis. Salah satunya pasal 122 huruf K yang memperbolehkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk, “mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.”

Iklan

Sontak berbagai lapisan masyarakat mengecam UU tersebut. Banyak yang menyebutnya sebagai upaya agar DPR menjadi lembaga superbody karena mendapat imunitas sekaligus sebuah usaha untuk membungkam kritik. Bahkan, tiga hari setelah disahkan, beleid tersebut langsung digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh lembaga swadaya masyarakat.

Niat mengekang kebebasan rakyat berpendapat segera dibantah beberapa pimpinan DPR. Wakil ketua DPR Fadli Zon, misalnya, menyebut pasal 122 bukan cermin bahwa DPR anti terhadap kritik, semangatmnya cuma "semata-mata melindungi kehormatan dewan dari hinaan." Sementara demi membuktikan DPR bukan lembaga antikritik, Ketua DPR Bambang Soesatyo malah bikin sayembara bagi masyarakat agar memberi kritik terbaik, yang dijanjikan berhadiah besar.

DPR boleh saja berkilah. Faktanya definisi kritik dan hinaan di Indonesia seringkali kabur, menurut Yohanes Sulaiman, pengamat politik dari Universitas Jenderal Ahmad Yani. Sulaiman menyatakan adanya pasal tersebut dapat berbahaya bagi perkembangan demokrasi, karena definisi kritik dan hinaan tergantung interpretasi penerimanya, sehingga amat mungkin disalahartikan.

“DPR bisa dengan bebas menafsirkan sendiri apakah sebuah kritik itu memang murni kritik atau penghinaan? Kita tidak akan pernah tahu. Tidak ada jaminan bahwa kritik itu akan diterima sebagai kritik. Jadinya publik akan takut untuk bersuara,” ujarnya.

Sulaiman kembali mengingatkan bahwa di Indonesia dalam lima tahun belakangan sudah banyak preseden orang dipenjarakan terkait pencemaran nama baik. Total ada enam pasal di KUHP dan UU ITE yang bisa menjerat siapapun yang disangkakan pencemaran nama baik. Itu berarti seseorang yang dianggap menghina DPR bisa dikenakan pasal berlapis. Pasal di KUHP dan UU ITE bisa kena, pasal 122 huruf K UU MD3 juga bisa kena. Sudah jatuh tertimpa dua tangga pula.

Iklan

Pengamat politik dari Universitas Padjajaran, Muradi, mengatakan hal yang sama. Menurutnya pemberian hak imunitas anggota DPR dalam UU MD3 tidak bisa dianggap kompatibel dengan semangat demokrasi. Ia mengatakan para anggota DPR saat ini terkesan ingin berlindung dari serangan lawan politik saja melalui beleid tersebut.

“Hak imunitas tersebut sudah mulai ngawur,” ujar Muradi. “Langkah tersebut terlalu jauh, hak imunitas tidak boleh digunakan seolah-olah anggota DPR tidak tersentuh hukum.”

Enam tahun sejak poster Badut Senayan mejeng di tembok-tembok, bagaimana Andrew menyikapi isi poster yang bisa dianggap sebagai hinaan kepada DPR jika merujuk pada UU MD3 saat ini?

“Bisa jadi itu adalah hinaan,” kata Andrew. “Tapi saya juga tidak secara eksplisit merujuk poster tersebut pada DPR. Senayan luas maknanya.”

Bagi Andrew, yang entah sudah menelurkan berapa karya, situasi politik ini membuatnya harus mencari cara lain. Seniman jalanan veteran macam dirinya mengaku sedikit terbersit rasa khawatir. Ia menganggap pasal tersebut sebagai sinyal bahaya—walau dia optimis tidak akan berhenti menghasilkan karya-karya sarkas hingga parodi menyentil lembaga negara. “Situasi ini menjadi tantangan. Bahaya itu selalu ada. Namun saat ini yang paling penting adalah mencari cara lain yang lebih efektif dalam berpendapat,” ungkapnya.

Andrew menganggap poster tersebut tetap relevan selama sistem legislatif tidak dibenahi dan tidak ada niat dari wakil rakyat membela hajat orang banyak.

“Melihat kinerja DPR yang tidak menunjukkan keseriusan, maka karya itu makin relevan,” ujar Andrew. “Seperti badut, ia punya keahlian sulap dan bertingkah bodoh.”