FYI.

This story is over 5 years old.

perkara kematian

Ngobrol Sama Perempuan Pendukung Pemakaman Alami Ramah Lingkungan

Sudah sejak lama perempuan menjadi pemain penting dalam bisnis pemakaman. Namun, belakangan ini, perempuan berperan lebih jauh, mendorong industri untuk menemukan praktek pemakaman alternatif yang ramah lingkungan.
Ilustrasi oleh Lia Kantrowitz

Siapapun yang masuk kantor Kerry Potter-Kotecki di Nyack, New York kemungkinan besar akan salah sangka. Tempatnya dihiasi air mancur buatan yang dindingnya dilapisi kerikil. Di langit-langit, pengunjung bisa mendapati sebuah lampu gantung mewah. Mudah berasumsi bahwa kantor Potter-Kotecki adalah sebuah spa mewah.

Namun, kesan itu buyar segera setelah mata pengunjung tertumbuk pada peti mati anyam di satu sisi ruangan. Tak ada yang aneh dengan keberadaan benda ini. Pasalnya, kantor Potter-Kotecki sejatinya memang bukan sebuah spa, melain sebuah butik yang menjajakan jambangan penyimpan abu, peti mati ramah lingkungan dan produk lain yang diperlukan dalam proses pemakaman alami. Gerakan pemakaman alami, yang dikampanyekan oleh Potter-Kotecki, menggunakan peralatan ramah lingkungan guna mendaur ulang tubuh manusia kembali ke Bumi.

Iklan

“Yang penting butik saya sebisa mungkin enggak kelihatan menyeramkan”, kata Potter-Kotecki, yang membuka butiknya Dying to Bloom Februari lalu. Proses pemakaman hijau—yang melarang pembalseman jenazah dan mensyaratkan peti yang bisa terurai—berseberangan dengan pemakaman tradisional yang pernah dihadiri Potter-Konecki saat ibunya meninggal. Selamanya, dia mengenang proses pemakaman ibunya sebagai pengalaman yang menyeramkan.

“[Hari ini], ketika saya menengok kuburan ibu, kompleks makamnya penuh dengan gundukan yang dihiasi batu nisan marmer atau granit. Ukuran kuburannya sama, rumputnya dipotong sempurna, dan sepertinya dirawat dengan bahan kimia,” kata Potter-Kotecki. “Beda banget dengan kuburan ‘hijau’ yang tampak alami.”

Potter-Kotecki merupakan salah satu dari banyak perempuan yang membawa perubahan bagi industri pemakaman di Amerika, atau setidaknya mengubah sistem kerjanya dalam rentang beberapa abad belakangan. Sarah Chavez, direktur utama organisasi Order of the Good Death, mengatakan bahwa publik selama ini menganggap kalau acara pemakaman adalah tugas perempuan karena dikerjakan di rumah.

“Banyak orang bilang kalau ini pertama kalinya perempuan bekerja di industri pemakaman. Itu tidak benar,” kata Chavez. “Perempuan sudah lama terlibat dalam bidang ini.”

Posisi perempuan semakin tersingkir oleh laki-laki terdidik ketika acara pemakaman menjadi tren bisnis yang menjanjikan. Praktik pengawetan mayat mulai dikenal sejak Perang Saudara. Pada 1882, Joseph Henry Clarke mendirikan Cincinnati School of Embalming, yang sekarang bernama Cincinnati College of Mortuary Science. Berkat sekolah ini, Clarke mendapat gelar “Bapak Sekolah Pengawetan Mayat di Amerika.”

Iklan

Perempuan yang terlibat dalam industri pemakaman semakin bertambah jumlahnya. Pada 1996, perempuan yang lulus dari sekolah-sekolah American Board of Funeral Service Education hanya ada 40 persen. Jumlahnya meningkat jadi 62 persen pada 2015. Broadly mendapatkan data statistiknya dari ABSFE.

Perempuan bukan sekadar menjadi direktur pemakaman. Menurut narasumber Broadly, sebagian besar perempuan membuat industri pemakaman menjadi lebih modern dan ramah lingkungan.

Sebagai contoh, pemakaman alami dapat menghentikan praktik pengawetan, yang biasanya menggunakan formaldehida yang karsinogenik. Praktik ini memastikan kalau tubuh akan sepenuhnya membusuk. Itu artinya tubuh mayat tidak akan diawetkan dan menggunakan peti mati yang bisa terurai. (Orang Yahudi telah melakukan ini selama berabad-abad.)

Potter-Kotecki membuka Dying to Bloom yang menjadi pusat pendidikan pemakaman alami. Meskipun begitu, dia tidak selamanya mempromosikan pemakaman ramah lingkungan. Kedua orang tuanya meninggal ketika dia masih berusia 20-an. Jasad mereka diawetkan dan dimakamkan dalam kuburan yang diberi semen, mengikuti tradisi pemakaman di Amerika.

Satu dekade kemudian, Potter-Kotecki mengunjungi kuburan ramah lingkungan pertamanya.

“Tidak seperti kuburan pada umumnya. Kompleks makamnya seperti padang rumput terbuka yang dipenuhi kupu-kupu, burung, margasatwa, dan pepohonan. Udaranya juga segar,” katanya. “Saya membatin, ‘Banyak sekali kehidupan di sini. Pemandangannya sangat indah dan tidak seperti ini. Kuburan seharusnya seperti ini.’”

Iklan

Kuburan seperti ini bisa menghemat lahan. Sarah Wambold, direktur pemakaman di Austin, Texas, telah melakukan proyek Conservation Burial sejak 2015. Proyek ini merupakan pembangunan kompleks makam yang berdekatan dengan taman nasional.

Mereka berencana membangun kompleks makam pada lahan yang sensitif secara ekologi. Texas Parks & Wild Department, yang bermitra dengan Conservation Burial, lalu mengurus selebihnya. Proyek ini bisa melindungi lahan dari pembangunan dan menjaga kebersihan kompleks makam.

“Kuburan akan ada selamanya. Kalau pemilik lahannya pergi, kompleks makam bisa terbengkalai dan tidak terurus. Saya rasa ini bukan pilihan bagus,” kata Wambold.

Kuburan hijau memang belum ada, tetapi Texas memiliki banyak lokasi indah yang bisa digunakan untuk ini. Akan tetapi, semuanya tergantung di mana mereka menemukan keluarga yang bersedia melakukan praktik pemakaman alami.

Persetujuan dari keluarga dalam acara pemakaman sangatlah penting. Chavez terlibat dalam urusan pemakaman sebagian karena neneknya.

“Nenek sering ngomongin kematian dan rencana pemakamannya,” katanya. “Saya harus kasih ide juga ke nenek kalau ingin menghentikan percakapannya. Padahal rencana nenek sudah banyak banget.”

Nenek Chavez yang menginspirasinya dalam gerakan positif ini. Gerakannya membantu keluarga untuk menerima kematian sebagai hal yang wajar dalam kehidupan—menghilangkan ketabuan terkait kematian di Amerika. Sebagai direktur utama Order of the Good Death, Chavez memimpin sekelompok tenaga profesional dalam industri pemakaman, akademisi, dan seniman yang ingin membicarakan kematian layaknya sesuatu yang biasa saja.

Iklan

Chavez menyadari kalau jumlah perempuan semakin meningkat dalam industri pemakaman, dan dia ingin memamerkan hasil kerja dan sejarah mereka. Dia mendirikan Death & the Maiden bersama dengan peneliti yang mendalami kematian. Namanya berdasarkan motif dalam karya seni Renaissance.

Situs web ini melihat kematian dari sisi feminis. Mereka ingin mengangkat kisah perempuan-perempuan dalam urusan kematian. Selain itu, mereka juga ingin melawan cara pengawetan mayat yang mengikuti stereotip maskulinitas dan femininitas. Chavez menyebutkan gambar klasik jasad Ophelia yang rambutnya dibentuk menyerupai halo. Contoh ini menggambarkan seksualitas terhadap mayat.

Body positivity seharusnya tidak berhenti setelah kita mati,” kata Chavez. “Standar kecantikan masih saja berlaku saat proses pemakaman. Mayat diawetkan dan didandani supaya tetap terlihat sempurna. Mayat tampak seperti orang tidur biasa karenanya. Dengan praktik pemakaman alami, kita bisa membiarkan tubuh kita sesuai dengan yang kita inginkan, baik itu tidak dicukur atau membiarkan jasad membusuk alami. Menurut saya, hal ini sangat mendukung pandangan feminis. Sangat penting bagi kita untuk mencintai tubuh apa adanya.”

Beberapa teori menjelaskan alasan perempuan menjadi pembawa perubahan dalam industri pemakaman. Wambold mengatakan kalau industri ini terasa alami karena perempuan dipaksa memikirkan tubuhnya sejak dulu.

“Kami harus berurusan dengan menstruasi, aborsi, kehamilan dan keguguran.” Dia menambahkan kalau dia sering menangani pasien perempuan yang ingin mengatasi kesedihannya setelah ada kerabat atau keluarga yang meninggal. “Perempuan sudah lama berurusan dengan kematian, jadi bukan masalah besar kalau mereka ingin terlibat dalam industri pemakaman.”

Menurut orang-orang yang Broadly ajak bicara, tidak semua orang setuju dengan praktik pemakaman alami—begitu juga dengan kuburan yang diberi semen. Setiap orang punya pilihan dan caranya masing-masing. Yang penting keluarga sama-sama menyetujuinya.

“Pandangan kami terhadap kematian sudah berubah. Kematian bukanlah hal tabu dan bisa menyadarkan kita kalau manusia tidak akan hidup selamanya,” kata Potter-Kotecki. “Pemikiran ini bisa menginspirasi kita untuk hidup sebaik mungkin dan tidak takut mencoba hal baru. Selain itu, kita bisa menjadi pribadi yang lebih pemaaf dan rendah hati.”