FYI.

This story is over 5 years old.

#NamaBaikKampus

Jalan Panjang Meliana Membuka Diri, Demi Penyintas Kekerasan Seksual di Kampus Lainnya

Ada banyak risiko dihadapi korban kekerasan seksual di kampus, termasuk Agni dari UGM tempo hari, saat berbagi kisahnya pada publik. Meliana dari Bali, berkukuh memilih jalan tidak mudah itu dalam dokumenter baru VICE.
Jalan Panjang Meliana Membuka Diri, Demi Penyintas Kekerasan Seksual di Kampus Lainnya
Foto oleh Yudistira Dilianzia

Meliana berharap dunia mengetahui kisahnya dan ada yang tergerak untuk bertindak. Ini kisahnya menjadi korban pelecehan seksual mantan dosen di tempatnya dulu menuntut ilmu.

"Enggak apa-apa [menampilkan identitas dan wajah di depan kamera]. Aku bukan orang jahat di sini, ngapain gue mesti malu gitu loh?!" ujarnya kepada VICE.

Sejak Januari 2019, reporter kami, Arzia Wargadiredja, berkorespondensi dengan Meliana yang tinggal di Bali. Tekadnya bulat. Dia merasa harus ada korban pelecehan seksual di kampus secara terbuka bersuara menceritakan pengalaman secara gamblang. Kekerasan maupun pelecehan seksual sebetulnya marak terjadi di banyak kampus Indonesia, tapi jarang dibahas mendalam oleh media. Lebih-lebih ditangani serius oleh para pemangku kebijakan—baik itu petinggi universitas, pemerintah, serta aparat hukum.

Iklan

Cerita Meliana sempat diungkap beberapa media tahun lalu, termasuk oleh rekan kolaborasi kami, reporter Tirto.id Aulia Adam, yang turut membantu kami mempersiapkan dokumenter ini lewat beberapa petunjuk awal. Saat itu kesaksiannya menggunakan nama samaran. Setelah cerita Meliana tayang, tak banyak pihak yang tergerak. Berita itu, khususnya di Bali, hanya menjadi narasi kriminalitas biasa. Topik kekerasan seksual di kampus baru memicu perbincangan publik setelah terkuak skandal yang dialami mahasiswi peserta kuliah kerja nyata (KKN) periode Juni 2017 Universitas Gadjah Mada di Maluku—dan kemudian beritanya mencuat November 2018.

Karena itulah sejak awal korespondensi, Meliana meminta kami agar membuka identitasnya dalam laporan dan video dokumenter VICE, yang menjadi bagian dari kolaborasi #NamaBaikKampus bersama Tirto.id dan The Jakarta Post. Kami khawatir, mempertimbangkan konsekuensi hukum maupun sosial yang sangat mungkin dia terima. Redaksi sempat bimbang, karena sekali Meliana mengungkap identitasnya, maka jejak digital itu akan terus bertahan apalagi jika sudah menyebar di media sosial.

Redaksi meminta masukan dari Vany Primaliraning dari LBH Bali, yang banyak mendampingi korban kekerasan berbasis gender. Vany mendampingi Meliana berdiskusi soal berbagai kemungkinan hukum ketika dia melepas hak untuk anonim yang dia miliki.

"Orang-orang juga udah pada tahu [kasusnya] dan aku kan enggak bisa menjelaskan satu demi satu ke mereka. Jadi yah tetap ada whispering 'eh ini meli ya yang di kasus ini'," ujarnya pada VICE dalam diskusi 14 Maret lalu. "Jadi enggak usah sembunyi-sembunyi ngomongin. Gue enggak salah kok, gue jelasin sekalian ke seluruh dunia."

Iklan

Vany mengingatkan Meliana, bahwa masyarakat Indonesia masih patriarkis, sehingga keputusan membuka identitas bisa berdampak pada masa depannya ketika ingin berkeluarga bahkan mungkin saat hendak mencari pekerjaan. Kepada VICE, setelah berdiskusi panjang, Vany menyatakan bahwa Meliana mengaku tetap memilih opsi membuka identitas, walau memang dia sudah membayangkan ada potensi kesulitan mencari kerja. Alasan dia berkukuh membuka diri, agar banyak penyintas kekerasan seksual lain—terutama yang muasalnya dari lingkungan kampus—tidak merasa sendirian dan berani memperjuangkan keadilan.

Terkait bullying online, Meliana mengaku sudah memperolehnya kecaman, cercaan, dan komentar bernuansa menyudutkan di media sosial jauh sebelum kasusnya masuk persidangan. Komentar macam itu justru datang dari teman-temannya di kampus.

Sempat ada kekhawatiran lain soal dampak melibatkan narasi Meliana dalam dokumenter kami, karena kasusnya masih berlangsung di pengadilan. VICE meminta saran tambahan dari LBH Pers. Gading Yonggar Ditya dari LBH Pers, setelah melihat versi awal video VICE seputar isu kekerasan kampus, menyatakan tak ada substansi kasus yang bisa mengganggu persidangan dan mendukung langkah kami menghormati keputusan Meliana mempublikasikan identitasnya.

Tak kurang Dua Komisioner dari Komisi Nasional Perempuan, yakni Budi Wahyuni dan Venny Aryani, kami mintai pendapat. Setelah berdiskusi, termasuk saat diskusi bersama di Kantor Komnas Perempuan, VICE juga mendapat dukungan mempublikasikan video ini.

Iklan

Bahkan setelah ada dukungan dari berbagai pihak, redaksi VICE di satu titik sempat mendorong Meliana agar tetap memakai haknya anonim saja di depan kamera. Muncul opsi, nama dan wajahnya disamarkan. Dia tidak bersedia. Dia kembali menyatakan kebulatan tekad untuk blak-blakan menceritakan kasusnya.

"Kalau misalnya aku cabut laporannya itu sesuai permintaan kampus lah, berarti tuh kayak ngasih contoh ke semua orang yang ada di indonesia ini bahwa this is fine. Kamu mau maksa anak didikmu have sex buat kamu itu fine," ujarnya. "Kejadian [kekerasan seksual di kampus] di mana-mana, tapi enggak banyak orang yang berani ngomong. Kalau misalnya bukan aku yang mulai sekarang, siapa lagi yang mau."

Setelah dialog panjang bersama tim hukum VICE di kantor pusat New York selama nyaris dua pekan, termasuk mengkaji ulang semua pilihan gambar dan narasi kami untuk voice over, keputusan Meliana tersebut kami hormati dalam video yang bisa kalian saksikan di tautan atas.

Sedikit pengingat seputar kasusnya, Meliana adalah mahasiswa STMIK Primakara Bali. Pengalamannya yang pahit bermula ketika dia bergaul dengan seorang dosen muda di kampusnya. Dosen ini akrab dan lebih sering berkumpul bersama mahasiswa. Suatu hari dosen E mengajak Meliana ke rumahnya main Xbox. Dia bilang ada dua teman Meliana yang menyusul datang. Hingga malam, teman-temannya tak kunjung datang. Saat itu E mendekatinya, duduk mendekat, dan berusaha merayu Meliana untuk berhubungan seksual dengannya. Dia awalnya menolak dan berhasil pulang. Kejadian serupa rupanya terulang saat Meliana kembali bersedia diajak bermain Xbox di rumah E.

Iklan

"Aku benar-benar enggak mau. Daripada intinya aku diperkosa, mending aku play along. That’s the safest choice,” kenang Meliana. Kejadian tersebut berulang tiga kali. Enam bulan kemudian Meliana menerima ajakan serupa dari sang dosen, yang akhirnya dia tolak tegas.

Penolakan Meliana berbuntut panjang. Jika Meliana tidak mau berhubungan seksual dengannya, E dilaporkan mengancam bakal menyebarkan foto telanjang Meliana dan video saat mereka berhubungan seksual. Foto dan video tersebut diambil tanpa sepengetahuan Meliana. Empat hari kemudian Meliana melaporkan ancaman tersebut ke polisi. Selama dua bulan hingga akhirnya polisi bergerak menahan E pada akhir Agustus 2018, Meliana tetap harus mengikuti perkuliahan dosen tersebut. E ditangkap dan sedang diadili bukan atas delik intimidasi seksual, melainkan atas dakwaan menyebar konten pornografi.

Meliana berinisiatif mengunggah kronologi ancaman dan laporan yang dia buat soal perilaku dosennya ke Facebook. Sesaat setelah E ditahan polisi, Meliana bercerita perwakilan kampus datang ke rumahnya.

"Intinya mereka minta tolong biar ini diselesaikan secara kekeluargaan aja," kenang Meli. “[Kampus] minta tolong agar postingannya itu dihapus biar enggak melebar, biar enggak menyebabkan nama-nama orang lain jelek."

VICE mengklarifikasi keterangan Meliana, apakah benar ada permintaan menghapus postingan dari perwakilan STMIK Primakara. Kampus menolak berkomentar. Pendiri dan Ketua Yayasan Primakara, I Made Artana lewat pesan Whatsapp kepada VICE menyatakan pihaknya memilih tidak berkomentar karena “institusinya sudah sangat terbebani dengan hal ini." Pihak kampus menyerahkan penyelesaian kasus tersebut sesuai hukum yang berlaku pada kepolisian.

Iklan

Dalam keterangan tertulis yang kami peroleh terpisah, STMIK primakara menyatakan kasus Meliana dan dosennya adalah, "masalah dalam ranah pribadi dan lembaga tidak mengetahui permasalahan yang disebutkan dalam postingan."

Meliana belum pasti memperoleh keadilan. Dia merasa sendirian. Respons kampus menurutnya tak membantu sama sekali. Satu-satunya cara agar ada perubahan, bagi Meliana, adalah terus menjalani proses hukum sembari membagikan pengalamannya pada publik tanpa ada yang ditutup-tutupi.

Sebagai penyintas, Meliana merasa keinginan menjaga “nama baik kampus” adalah salah satu penyebab institusi pendidikan di negara cenderung menutupi kasus kekerasan seksual yang dialami mahasiswa atau bahkan tenaga pengajar. Dia berpendapat semestinya petinggi kampus mengubah cara pandangnya, supaya perbaikan sistematis terlaksana. Agar kampus jadi ruang yang aman bagi semua dari potensi kekerasan seksual.

"Aku penginnya itu kalau ada kasus kayak begini dan buktinya sudah jelas, jangan di-cover up lah," ujar Meliana. "Alasan nama baik kampus itu diubah cara pandangnya. Kampus bagus justru yang tidak menolerir kekerasan seksual."


Laporan ini adalah bagian dari seri laporan mendalam #NamaBaikKampus. Seri liputan ini proyek kolaborasi Tirto.id, Jakarta Post, dan VICE Indonesia terkait berbagai dugaan kekerasan dan pelecehan seksual di perguruan tinggi di Indonesia.