Diskriminasi

Potret Kompleks Jongaya, Kampung Penderita Kusta yang Berdiri Sejak Era Kolonial Belanda

Lepra menghancurkan tubuh orang-orang di kampung Kota Makassar ini, Mereka juga dikucilkan banyak orang. Tapi semua tragedi tidak sampai merenggut semangat hidup mereka.
Potret Kompleks Jongaya Makassar, Kampung Penderita Kusta yang Berdiri Sejak Era Kolonial Belanda
Salah satu penderita kusta bersantai di depan rumahnya, kawasan Kampung Jongaya Makassar. Semua foto oleh penulis.

Akibu menyandarkan badannya pada kursi kayu kusam di teras rumahnya. Kacamata berbingkai kotaknya seperti tak mampu menyembunyikan raut muram wajahnya. Jelas ada yang mengganggu pikirannya. Sejenak dia melempar pandangan ke arah sekumpulan anak muda yang asyik bercengkrama sore itu. Sejenak kemudian dia menerawang kosong.

Sejak bakteri mycobacterium leprae menyerang kulit hingga sarafnya 30 tahun lalu, Akibu merasakan menjadi orang yang paling kesepian. Rumah tangga yang ia bangun bersama Buanatan, istrinya, hancur karena penyakit Hansen, nama lain dari penyakit kusta.

Iklan

Dulu Akibu adalah pekerja kantoran di Palu, Sulawesi Tengah. Sekejap dia merasakan kebahagiaan rumah tangga layaknya pasangan muda. Pernikahannya dengan Buanatan dikarunia dua orang anak laki-laki: Arifin dan Taufik. Semua berubah ketika penyakit lepra datang secara tiba-tiba. Akibu lumpuh terbaring di rumah selama dua tahun. Awalnya dia berpikir terkena guna-guna. Maka dia memutuskan pergi ke Tenggarong, Kalimantan Timur buat berobat ke dukun yang dikenalnya.

Akibu menghabiskan tiga minggu di Tenggarong. Tabungan hasil jerih payah habis buat pengobatan. Namun pengobatan dukun itu tak membawa hasil. Malahan dia divonis terjangkit penyakit kusta saat berobat ke sebuah rumah sakit di sana. Tak punya pilihan, Akibu memutuskan pulang ke Palu. Malang, Istri dan kedua anaknya—yang kala itu berusia enam dan dua tahun—memilih hengkang dari rumah begitu mendapat kabar soal penyakitnya.

"Rumah yang saya beli untuk istri dan anak-anak terpaksa saya jual. Saya memilih pergi ke Makassar untuk melakukan pengobatan," kenang Akibu yang kini berusia 60 tahun.

1574224183434-Jongaya-Kusta-for-Vice4

Potret Arsyad dengan kondisi Bangsal yang sudah menjadi rumahnya sejak puluhan tahun.

Pindah ke Makassar adalah keputusan yang bakal mengubah hidupnya selamanya. Sebab bukannya mendapat pengobatan layak, Akibu malah terdampar di kompleks Jongaya yang terletak di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, bersama ratusan penderita kusta lainnya.

Sejarah kompleks Jongaya bisa ditarik lagi sejak masa penjajahan kolonial Belanda. Pada 1934 pemerintah Belanda dan Kerajaan Gowa menghibahkan tanah buat mengkarantina—sekaligus mengucilkan—penderita kusta atas dasar ketakutan jika wabah penyakit menyebar. Penyakit kusta kala itu dianggap sebagai kutukan, sebuah hukuman dari Tuhan atas dosa.

Iklan

Kampung itu kini dihuni 800-an kepala keluarga, yang datang dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Penderita kusta maupun yang sehat kini berbaur tanpa sekat. Kendati begitu, bayang-bayang diskriminasi masa lalu akibat stigma masih menggelayuti benak penderita.

1574224681962-Jongaya-Kusta-for-Vice16

ibu penderita kusta dan anak-anak berkumpul saat sore hari di kompleks Jongaya.

Arsyad masih ingat betul bagaimana dia harus mengubur mimpinya menjadi seorang guru agama setelah terserang penyakit kulit aneh yang belakangan dia tahu adalah kusta. Arsyad adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara. Bapaknya seorang petani miskin di desa Sandrobone, Kabupaten Takalar. Masa kecilnya dihabiskan untuk bersekolah sembari menggarap lahan pertanian.

"Sejak saya mendapatkan penyakit ini perasaan saya selalu sakit dan merasa tak enak buat sekedar keluar rumah," ungkap Arsyad. "Tatapan orang-orang di sekitar saya terasa aneh dan mereka berusaha menghindar. Kalau mereka melihat saya dari kejauhan, anak-anak mereka disuruh menjauh, tidak boleh dekat-dekat."

Saat Arsyad berobat ke rumah sakit kusta Jongaya pada 1988, dia bertemu seorang kawan di kompleks tersebut. Harapan hidup yang sempat hampir pupus membara kembali setelah Arsyad bertemu orang-orang yang senasib dengan dirinya. Sejak saat itu dia memutuskan pindah dan tinggal di situ, meski harus hidup sebatang kara jauh dari sanak famili.

1574224656032-Jongaya-Kusta-for-Vice14

Hamidin dan istri sama-sama menderita kusta, saat beristirahat di rumah mereka.

Kebanyakan warga pindah ke kampung Jongaya atas dasar suka rela demi menghindari pengucilan keluarga. Itu yang dilakukan Arif Said. Pria berusia 56 tahun tersebut terjangkit kusta saat duduk di bangku SMP di Kabupaten Bone. Keluarganya datang dari kalangan ulama terpandang. Saat tahu Said sakit, keluarganya mengucilkan dirinya.

Iklan

"Saat keluarga saya tahu saya kena penyakit ini, mereka menjadi takut tertular dan malu," kata Said. "Keluarga sempat membahas kondisi saya dalam musyawarah keluarga dan memutuskan untuk membuat tempat pengasingan buat saya di tengah kebun," ungkap Said.

1574224233891-Jongaya-Kusta-for-Vice6

M Arif Said bersama istrinya Hj Sahari Dg Bollo, sesama penderita kusta yang bekerja sebagai pengepul sampah kompleks serta membuka kios.

Said sempat menghabiskan satu tahun berobat di Kampung Lerang, Bone yang kesohor sebagai kampung pengobatan kusta. Setahun berobat, Said sembuh dan pulang ke rumahnya. Namun dia harus kehilangan jari tangan dan kaki. Kondisi itu tak lebih baik, sebab Said kesulitan mencari pekerjaan. Tak ada tempat kerja yang mau menerima kondisi itu.

Pada 1978 Said memutuskan pindah ke Jongaya setelah mendapat ajakan dari sesama penderita kusta. Harapan keduanya sama: bisa mencari nafkah meski serabutan. Kebanyakan berprofesi sebagai pengemis, tukang becak, juru parkir dan pemulung. Said sendiri bekerja sebagai tukang becak, profesi yang dijalani sejak 41 tahun lalu. Kini Said hidup nyaman bersama istrinya Sahari Bollo yang juga pernah menderita kusta. Dia tak kepikiran balik ke kampungnya di Bone.

Dari data WHO, Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan penderita kusta terbanyak. Prevalensinya masih tinggi: 0.70 per 10.000 penduduk. Penyakit ini masih mengintai di sebagian wilayah Indonesia timur. Pada 2017, merujuk pada data terakhir Kementerian Kesehatan, ada 18.242 kasus kusta baru yang dilaporkan.

Kemenkes mengklaim telah mengeliminasi penyakit kusta di 22 provinsi, menyisakan 10 provinsi di Sulawesi, Maluku, Papua, dan Papua Barat. Strateginya, menurut Kemenkes, adalah deteksi dini untuk mencegah kecacatan. Sebab gejala awal kusta kadang disepelekan oleh penderita. Gejalanya meliputi bercak putih atau kemerahan dan mati rasa di kulit, yang disusul dengan demam atau nyeri sendi.

1574224280437-Jongaya-Kusta-for-Vice32

Salah satu penderita kusta di Jongaya bersantai dekat rumahnya sore-sore.

Ketika senja berarak menuju malam, Akibu bangun dari kursinya dan beranjak menyalakan lampu teras. Anak-anak muda masih nongkrong bersenda gurau di depan rumahnya. Dia membayangkan wajah dua anak lelakinya sekarang, yang mungkin telah berkeluarga. Dengan penuh sesal ia mengingat upaya membayar kerinduannya lewat sambungan telepon, setahun lampau, meski gagal.

"Pokoknya saya sudah menganggap mereka sudah tidak ada atau sudah dikubur," tutur Akibu mencoba menutupi penyesalannya. "Nanti ada waktunya mereka yang mencari saya."