Pelemahan KPK

Sekalinya Ngebut Kerja, DPR Malah Revisi RUU KPK yang Memperlemah Pemberantasan Korupsi

Kalau ada lomba lembaga paling bikin frustrasi di Indonesia, DPR RI pasti jadi kontestan berpeluang juara.
Kalau ada lomba kelompok paling bikin frustrasi di Indonesia, DPR RI pasti jadi kontestan terkuat.
Ilustrasi masyarakat menuntut pemerintah tidak melemahkan KPK. Foto oleh Dadang Tri/Reuters

Kita semua pantas curiga ketika DPR 2014-2019, sekelompok orang yang hanya berhasil mengesahkan 26 RUU dari total 189 RUU selama lima tahun masa baktinya, sepakat mengesahkan beberapa RUU dalam rapat kilat berdurasi 20 menit saja. Kejadian langka ini terjadi Kamis (5/9) kemarin. Kecurigaan ini terjawab karena salah satu hasil rapat paripurna “diam-diam” ini adalah revisi UU 30/2002 tentang KPK. Revisi UU KPK dinilai orang-orang dan KPK sendiri berniat melemahkan komisi antirasuah tercinta itu.

Iklan

Penilaian itu diindikasikan oleh, misalnya, niat DPR menjadikan KPK lembaga naungan pemerintah pusat dan mengategorikan pegawainya sebagaiaparatur sipil negara (ASN). Revisi ini bermasalah. Bukan, ini bukan soal pegawai KPK yang terancam punya kebiasaan main Zuma di kantor. Masalahnya, kebijakan ini bakal mengganggu kemandirian KPK kalau-kalau ada kasus korupsi yang melibatkan institusi pemerintah, yang mana,ehem, emang sering terjadi.

Selain itu ruang gerak KPK akan dibatasi melalui beberapa pasal. Misalnya: (1) penyadapan yang dibatasi durasinya cuma boleh 3 bulan, (2) penyidik KPK hanya boleh dari Polri, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), (3) harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung kalau mau menuntut koruptor, (4) tidak bisa melarang terduga koruptor keluar negeri, serta (5) tidak bisa menghentikan transaksi keuangan terduga koruptor. Yang paling ngeselin, akan dibentuk Dewan Pengawas KPK yang anggotanya berasal dari DPR.

Daftarnya tidak sampai di situ. Hendrawan Supratikno, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, masih bertekad membuktikan efektivitas kerja DPR sebelum masa baktinya berakhir. Setelah mengesahkan UU revisi KPK secara singkat, ia ingin UU tersebut disahkan dan disetujui Presiden sebelumpelantikan anggota dewan periode mendatang. Alias waktunya tinggal tiga minggu lagi.

“Kalau tidak (sepakat), ngapain dibawa ke paripurna hari ini? Kalau tidak, kan hanya menambah pekerjaan rumah (DPR periode) yang akan datang,” ujar Hendrawan kepada Kompas. UU KPK hasil revisi DPR selanjutnya memang harus disetujui Presiden Jokowi terlebih dahulu sebelum disahkan, membuat semua perhatian kini tertuju kepada Jokowi.

Iklan

Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR RI, mengklaim Jokowi pada dasarnya sudah setuju soal revisi ini. “Saya sendiri pernah menghadiri rapat konsultasi dengan Presiden, dan Presiden sebetulnya setuju dengan pikiran mengubah UU KPK sesuai dengan permintaan banyak pihak, termasuk pimpinan KPK, para akademisi, dan sebagainya,” ujar Fahri lewat pesan singkat, dilansir CNN Indonesia.

Di tempat terpisah, Jokowi tidak mengonfirmasi maupun menolak klaim Fahri tersebut karena ia belum baca isinya. “Itu inisiatif DPR. Saya belum tahu isinya. Jadi saya belum bisa sampaikan apa-apa,” ujar Jokowi saat ditemui wartawan di Pontianak.

Klaim Fahri soal pimpinan KPK yang meminta revisi juga tidak berdasar. Pasalnya, sesaat setelah UU revisi hasil inisiatif DPR itu disahkan, KPK langsung menggelar konferensi pers menyatakan mereka menolak UU revisi KPK karena berpeluang melumpuhkan fungsi KPK sebagai lembaga independen.

“Dengan segala kejadian dan agenda yang terjadi dalam kurun waktu belakangan ini, kami harus menyatakan kondisi saat ini bahwa KPK berada di ujung tanduk,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo.

Akademisi mana yang dimaksud Fahri dalam pernyataannya juga kurang jelas. Tapi tenang, saya punya pendapat akademisi yang lebih jelas. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menganggap DPR telah melanggar aturan yang dibuatnya sendiri saat mengesahkan revisi UU KPK. Pengesahan ini melanggar hukum karena revisi UU KPK tidak termasuk RUU prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019 yang sudah disepakati DPR dan pemerintah.

"Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa penyusunan RUU dilakukan berdasarkan Prolegnas," kata Direktur Jaringan dan Advokasi PSHK Fajri Nursyamsi kepada CNN Indonesia.

Selain PSHK, pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti memprediksi sejumlah poin yang direvisi berpotensi melemahkan KPK. “Kalau itu terjadi, pemerintahan yang sekarang seperti membunuh KPK, karena KPK jadi nggak ada fungsinya lagi,” kata Bivitri kepada Kompas.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana juga merasa DPR terlihat tidak paham prosedur penyidikan kasus korupsi karena dalam revisi UU KPK terdapat pasal yang menyatakan, apabila dalam tenggat waktu setahun kasus korupsi tidak selesai, penyidikan dihentikan. Nah, loh, jadi akademisi mana yang dimaksud Fahri?

Bener-bener lembaga paling bikin frustrasi ya DPR ini.