Pelanggaran HAM

Demonstran yang Fotonya Memegang Bendera Viral, Mengaku Disetrum Polisi Selama Interogasi

Luhtfi Alfiandi masih ditahan karena terlibat demonstrasi pelajar STM September 2019. Diduga mengalami interogasi sadis, ia dipaksa mengaku melempari polisi dengan batu saat demo.
Lutfi Alfiandi Pembawa Bendera Demo STM yang Fotonya Viral Mengaku Disetrum Polisi Selama Interogasi
Mahasiswa yang terlibat demonstrasi depan DPR melindungi diri dari gas air mata menggunakan bendera merah putih. Foto oleh Adek Berry/AFP

Luthfi Alfiandi memutuskan buka suara di persidangan. Pemuda yang fotonya viral karena membawa bendera merah putih di tengah tembakan gas air mata ini, mengaku dianiaya polisi saat diinterogasi penyidik Polres Jakarta Barat. Gambar ikonik tersebut diambil oleh jurnalis foto Kompas Gerry Lotulung.

Oleh polisi, Lutfi diminta mengaku telah melempar polisi dengan batu saat aksi demo pelajar STM.

"Saya disuruh duduk, terus disetrum, ada setengah jam lah. Saya disuruh ngaku kalau lempar batu ke petugas, padahal saya tidak melempar. Karena tertekan, makanya saya bilang akhirnya saya lempar batu," ujar Luthfi kepada Kompas. "Saat itu, kuping saya dijepit, disetrum, disuruh jongkok juga. Waktu itu polisi nanya, apakah benar saya yang fotonya viral. Terus pas saya jawab benar, lalu mereka berhenti menyiksa saya."

Iklan

Lutfi telah menjadi tahanan sejak September 2019 dengan tuduhan melanggar KUHP Pasal 212 juncto 214 tentang tindakan melawan aparat, Pasal 170 tentang merusak fasilitas umum, dan Pasal 218 karena tidak pergi dari kawasan demonstrasi meski sudah diminta polisi membubarkan diri.

Terkait penyiksaan oleh polisi yang digaungkan Luthfi, musisi dan aktivis Ananda Badudu ikut angkat bicara. Di akun Twitter-nya, ia langsung flashback tentang apa yang terjadi padanya saat ditangkap polisi September lalu dengan dakwaan sebagai penyandang dana demonstrasi. Dalam cuitannya di Twitter, ia mengaku dipukul, dipiting, dijambak, ditendang, dan dikeplak berkali-kali oleh penyidik. Sama seperti Luthfi, sikap polisi melunak ketika sadar penangkapan Nanda jadi topik viral di medos dan media massa.

Kasus polisi mengambil jalan pintas dengan kekerasan untuk mendapatkan informasi yang dipaksakan sudah sering terjadi. Pada kasus penangkapan pengamen Cipulir pada 2013, polisi dilaporkan telah melakukan penganiayaan kepada para pengamen yang baru berusia 13-17 tahun. Udahlah menganiaya, belakangan pengadilan memutuskan mereka korban salah tangkap pula. Padahal perkara yang dituduhkan sangat serius: pembunuhan berencana.

"Habis dari Polsek dibawa ke Polda saya diinjak [badannya]. Dibawa ke lapangan. Setelah itu dibawa ke TKP di kolong jembatan. Itu saya dikemplangin kepala. Dikerubutin polisi,” ujar Ucok, salah satu pengamen korban salah tangkap, dilansir CNN Indonesia.

Iklan

Menurut pengakuannya, penyiksaan itu berlanjut selama proses pengaduan, mulai dari pemukulan, penyetruman, dan pemasangan lakban pada wajah agar para pengamen mau mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya. Menurut Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indari, polisi dilarang keras menginterogasi terduga pelaku lewat jalan-jalan kekerasan.

Kalau penyiksaan terjadi, korban disarankan segera melapor kepada Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam). Propam inilah yang akan mencari tahu apakah benar telah terjadi penyiksaan oleh aparat penyidik. Kalau terbukti, polisi yang bersalah tidak hanya diberi sanksi disiplin, kasusnya pun bisa diproses secara pidana.

"Dalam melakukan interogasi tidak boleh ada penyiksaan untuk memaksa orang untuk mengaku. Sebagai terperiksa, yang bersangkutan dapat meminta untuk didampingi pengacara," ujar Poengky kepada Tirto.

Poengky menjelaskan aturan penyelidikan, penyidikan, penangkapan, dan penahanan diatur dalam KUHAP dan Peraturan Kapolri No. 8/2009. Di sana disebutkan polisi harus menerapkan prinsip dan standar HAM dalam melakukan tugasnya, termasuk saat fase penyidikan.