FYI.

This story is over 5 years old.

prison

Tren Warga Korsel Sengaja Masuk Penjara Palsu Buat Kabur Dari Rutinitas Sehari-hari

Lelah kerja? Mending masuk penjara saja. Layanan di Korsel ini menarik juga ya...
Gavin Butler
Melbourne, AU
Perempuan di Korsel duduk dalam penjara
Foto via YouTube/BBC Reel

 

Ribuan orang Korea Selatan memanfaatkan penjara sebagai pelarian. Sejak 2013, lebih dari 2.000 orang memasukkan dirinya sendiri ke rumah tahanan Prison Inside Me di timur laut Hongcheon. Prison Inside Me sebenarnya bukan penjara, melainkan tempat penginapan yang mirip seperti penjara sungguhan.

Para “narapidana” yang ada di Prison Inside Me mengenakan seragam biru. Ponsel mereka disita selama ditahan. Menurut Reuters, mereka hanya diberikan matras yoga, perlengkapan minum teh, pulpen dan buku tulis. Napi juga dilarang berbicara dengan tahanan lain. Makanan yang disediakan pun sangat sederhana, termasuk bubur untuk sarapan dan ubi kukus untuk makan malam.

Iklan

Korea Selatan dikenal memiliki budaya gila kerja. Para napi yang ditahan di Prison Inside Me datang atas kemauannya sendiri. Sebagian besar pengunjungnya adalah karyawan dan pelajar yang ingin beristirahat dari kesibukan sehari-harinya yang amat melelahkan. Fasilitas penjara ini dianggap mampu menyelamatkan banyak nyawa apabila kita melihat durasi kerja yang panjang dan tingkat bunuh diri yang tinggi di Negeri Ginseng.

Menurut survei dari Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), pekerja di Korea menghabiskan total 2.027 jam hanya untuk bekerja pada 2017. Jumlah ini membuat mereka menjadi warga negara yang paling lama bekerja ketiga setelah orang Meksiko dan Kosta Rika. Berkeley Political Review menyebut kultur bekerja dan bersekolah yang kompetitif ini sebagai “berbahaya dan mematikan.”

Pakar psikologi meyakini bahwa hal tersebut berkontribusi terhadap tingkat stres dan bunuh diri yang tinggi di Korea Selatan. Laporan World Health Organisation pada 2017 menunjukkan bahwa tingkat bunuh diri di KorSel menjadi kedua tertinggi di dunia, dengan rata-rata 28,3 orang per 100.000 yang bunuh diri pada 2015.

Karena alasan itulah Prison Inside Me dibuka. Co-founder Noh Ji-Hyang mengatakan bahwa penjara palsu ini terinspirasi oleh suaminya yang bekerja sebagai jaksa. Suaminya terpaksa bekerja 100 jam per minggu.

“Dia bilang lebih pilih dipenjara sendirian selama seminggu supaya bisa beristirahat dan merasa lebih baik,” katanya. “Ini awal mulanya.”

Iklan

“Saya merasa lelah secara fisik dan mental, tapi saya tak cukup berani untuk berhenti kerja,” kata Kwon Yong-seok, suami Noh, kepada Al Jazeera. “Saya bingung harus bagaimana. Dari situ saya kepikiran hidup di penjara selama seminggu. Saya tahu akan pergi ke mana tanpa ada rokok, minuman keras, interaksi sosial, bos, dan pekerjaan yang melelahkan.”

Ketika lelah, ratusan warga Korea Selatan saat ini memilih memenjarakan dirinya sendiri dalam sel enam meter persegi selama satu atau dua hari penuh. Tak ada jam dinding dan cermin di ruangan itu. Yang ada hanyalah sebuat toilet kecil.

“Saya merasa lebih bebas berkat penjara ini,” kata Park Hye-ri, pegawai kantoran berumur 28 tahun, kepada Reuters. “Saya terlalu sibuk kerja. Seharusnya saya enggak di sini sekarang karena pekerjaanku sangat banyak. Tapi, saya memutuskan untuk rehat sebentar dan berefleksi diri supaya bisa hidup lebih baik lagi.”

Park membayar sekitar 1,2 juta Rupiah untuk menghabiskan waktu seharian di dalam penjara palsu. Dia hanyalah salah satu penduduk KorSel yang tertarik dengan jenis ‘retret mental’ baru ini. Menurut Noh, dikurung sendirian tak ada apa-apanya dibanding kehidupan di dunia nyata. Bagi beberapa orang, penjara palsu menjadi pilihan tepat untuk menghindari ini.

“Konsepnya yaitu kamu ditahan seperti di penjara sungguhan,” katanya. “Akan tetapi, pengunjung mengatakan kalau mereka merasa bahagia dan bebas di sini. Sebagian besar dari mereka awalnya enggan mencoba karena dibilang ini penjara. Tapi setelah menginap, mereka menyebut kalau dunia luar yang kecil bukan penjaranya.”


Follow Gavin di Twitter atau Instagram

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Australia