FYI.

This story is over 5 years old.

Film Sci-fi

1997 Adalah Tahun Terbaik Untuk Film-Film Sci-Fi Distopia

“Gattaca” dan “Starship Troopers” masih menjadi kegemaran banyak orang bahkan setelah lewat 20 puluh tahun sejak pertama kali ditayangkan. Film-film ini juga masih relevan, lho.
dikolase oleh Lia Kantrowitz

Musim gugur 1997 adalah salah satu musim terbaik bagi penggemar film: Boogie Nights, Jackie Brown, The Sweet Hereafter, Wag the Dog, Eve's Bayou, Good Will Hunting, The Ice Storm, Amistad, As Good as It Gets, Gattaca, dan lain-lain. Sebuah film yang tayang pada musim itu kemudian menjadi film dengan pemasukan tertinggi sepanjang masa: Titanic . Artikel ini mencoba mengulas film-film sci-fi pada tahun tersebut dan menjabarkan titik kemajuan film pada era itu. Dua film fiksi ilmiah yang tayang pada musim gugur 1997, dirilis dengan jeda dua minggu, sangat berbeda. Gattaca besutan Andrew Niccol adalah perkawinan antara fiksi ilmiah, drama, dan thriller. Sebagai ilustrasi, film ini dibuka dengan ayat Injil (Ecclesiastes 7:13) dan Gore Vidal berada pada urutan ke lima bagian kredit. Starship Troopers besutan Paul Verhoeven, di sisi lain, adalah kartun aksi futuristik, yang mendramatisir pertarungan melawan serangga raksasa dari luar angkasa. Film ini penting, mengingat film sebelumnya, besutan sang sutradara, adalah drama stripper 1995 berjudul Showgirls. Meski demikian, kedua film ini membuktikan memiliki bobot lebih rumit ketimbang yang dipasarkan. Dan kedua film ini kurang lebih memprediksi masa depan semesta masing-masing. Gattaca menyorot yang disebut "masa depan yang tidak jauh-jauh amat." Pada saat film ini tayang, serial Mystery Science 3000 sudah tayang sebanyak tujuh musim. Film ini berisi imajinasi tentang sebuah dunia di mana pengujian DNA telah begitu maju sampai-sampai "genetic quotient" seseorang adalah faktor penentu tempat mereka. Sampai-sampai, para perawat membacakan harapan hidup dan kemungkinan penyakit seseorang dalam ruangan bersalin, saat si bayi baru saja dilahirkan. Hasilnya, masyarakat kaya raya terlibat dalam pembuatan genetik prenatal untuk memastikan kesuksesan calon anak. Mereka yang orang tuanya miskin? Ya, selamat bekerja keras deh.

Iklan

Namun terkadang, ada saja yang bisa lolos dari jeratan kehidupan. Sebagaimana pencerita futuristik yang baik, penulis/sutradara Niccol menjabarkan kisah ini dengan terminologi dan mitologi, sehingga kita menemukan bahwa Vincent Freeman (Ethan Hawke) adalah seorang "invalid" yang menggunakan identitas seseorang yang "valid" untuk mendapatkan kenikmatan hidup tertentu. Setiap pagi, dia menjalani proses supaya bisa berubah menjadi orang lain, secara genetis; dia menyeka sisa kulit dan rambutnya, menyiapkan sampel urine dan darah, lem untuk sidik jari, dan sejumput ketombe, kotoran, dan lain-lain.

Hal ini bekerja. Dia akan pergi ke sebuah misi ke salah satu bulan Saturnus. Namun seorang supervisi ditemukan meninggal dunia dan para polisi menemukan kelopak mata yang cocok dengan seorang "invalid", yang ternyata milik si Vincent. Fotografi yang penuh bayangan, detektif yang mengenakan fedora, dan elemen "laki-laki bersih yang dituduh bersalah" menempatkan Gattaca tidak di masa depan, melainkan di masa lalu, yang membawa kembali kejayaan films noir. Namun ada twist di sini: Vincent adalah laki-laki bersih yang dituduh sesuai tindakannya. Dia bersalah, bukan atas pembunuhan, melainkan atas penjiplakan identitas. Sebagaimana di kehidupan nyata, tindakan tersebut merupakan kriminal berat dalam semesta film. Dan sebagaimana kisah-kisah kebanyakan, ada seorang perempuan (diperankan Uma Thurman) yang menelusuri kembali tindakan Vincent sambil memendam kekaguman. (Ada juga semacam tabrakan dengan heroin khas Hitchcock—dan, ya, Uma Thurman bakal cocok banget sih jadi heroin di film Hitchcock.) Dalam urusan desain produksi dan penceritaan yang penuh nostalgia, Gattaca memang patut diacungi jempol. Beberapa tahun sebelumnya, peradilan O.J. Simpson mengklarifikasi konsep DNA bagi sejumlah orang yang belum pernah membaca atau menonton Jurassic Park. Soal masa depan, seseorang mengetes sehelai rambut calon kekasihnya tidak terasa begitu jauh dari algoritma layanan kencan online hari gini. Namun ide-ide paling menarik dari Gattaca adalah ide-ide yang tak lekang waktu. Saat bos Vincent memuji kualitas kerjanya ("Not one error in a million keystrokes," katanya) hal ini mengingatkan kita pada etos kerja "bekerja dua kali lipat lebih keras" yang harus dilakukan orang-orang non-kulit putih selama berabad-abad. Saat Vincent's "ladder" Jerome (diperankan oleh Jude Law) pertama kali berjumpa dengannya, keculasannya khas kulit putih mencuat ke permukaan: "Apa yang bikin kamu berpikir kamu bisa jadi seperti saya?" Jerome hampir tidak terjekut saat wawancara kerja Vincent berisi serangkaian tes darah: ya begitulah adanya, karena dia memiliki hak-hak istimewa bawaan lahir. Dan saat ini AS sedang dipimpin oleh presiden yang mendukung supremasi kulit putih, yang sering pamer soal "gen bagus" yang dimilikinya, dan yang menurut anak-anaknya dia percaya "teori ras kuda balap." Jadi, Gattaca bisa dibilang tepat dalam memprediksi masa depan.

Bintang Breaking Bad Dean Norris muncul sebentar dalam Gattaca, sebagai polisi yang mengasari Jerome; dia memiliki peran yang lebih besar di Starship Troopers, sebagai petugas komandan bintang Casper Van Dien, yang disebut dengan paggilan "Johnny Rico." Dia dan sejawatnya "Carmen Ibanez" dan "Dizzy Flores," diperankan oleh bintang kulit putih Denise Richards dan Dina Meyer, hidup dalam sebuah versi Buenos Aires yang ternyata telah mengalami gentrifikasi sepenuhnya. Pada adegan-adegan awalnya, Troopers pada dasarnya adalah film SMA yang bodor, lengkap dengan kisah cinta segitiga, pertandingan olah raga, dan pesta dansa sekolah (yang diikuti oleh ewita-ewita). Namun setelah kelulusan, para tokoh utama mendaftar pada "Federal Service," yang ditugaskan (mungkin lewat DNA?) untuk menjadi petugas kepolisian, ilmuwan, atau dalam kasus Johnny dan Dizzy, anggota militer. Setelah mereka memulai pelatihan, dengan machismo berlebihan, ini semua menjadi satir; sutradara Paul Verhoeven mengisi film ini dengan anggukkan dan kedipan mata, seperti video Johnny "letter home" yang bahkan mencakup seorang pemain bola kesepian, seperti The Civil War-nya Ken Burns saja. Kesuksesan Verhoeven diawali dengan Robocop, sebuah film aksi besar dengan perspektif yang luar biasa getir, dan Troopers tampaknya menjadi percobaan untuk menciptakan ulang kesuksesan tersebut setelah kegagalan Showirls. Adegan-adegan terbaik dalam Starship Troopers adalah yang bernada humor, menyamai distopia metropolitan dalam Robocop. Film ini dimulai dengan iklan rekrutan militer berbunyi "Join Up Now!", lengkap dengan anak kecil Hitler Youth, dan dibumbui parodi jenaka soal film-film propaganda PD I, salah satunya dijuduli Why We Fight. Namun Troopers juga dapat memprediksi masa depan. Serangan besar yang membuat perang meledak ("Goddamn bugs whacked us, Johnny") diamati lewat sebuah kumpul-kumpul besar, ala 9/11, di televisi; "hitung mundur kemenangan" ditampilkan lewat laporan berita yang flashy dan sangat grafis, sehingga mirip sekali dengan liputan Fox dan CNN pada hari itu. Elemen-elemen lain juga menghantui kita semua. Militerisme dan fasisme dalam kisah itu, yang katanya disiratkan dalam novel orisinal Robert A. Heinlein, dipertanyakan dan direngkuh oleh interpretasi Verhoven (dan penulis naskah Robocop, Edward Neumeier). Dalam sebuah adegan kelas, kita—lewat sebuah kuliah untuk tokoh-tokoh utama film—dibilangin "veterans imposed the stability of the current civilization" dan beroperasi di bawah dogma otoritarian, di mana kekerasan adalah "kekuasaan asal segala kekuasaan." Dan pada adegan yang sama, kita belajar bahwa ada perbedaan di antara "civilian" dan "citizen", dan di Gattaca, beberapa orang diciptakan dan diperlakukan lebih setara dibandingkan yang lainnya. Duh, untung deh ada film-film kayak gini.