FYI.

This story is over 5 years old.

Terorisme

Aparat Makin Agresif Menangkap Tersangka Terorisme, Padahal Jumlah Lapas Tak Memadai

UU Antiteror baru membuka peluang banyak orang ditahan, namun tak ada lapas ataupun rutan yang layak untuk melakukan deradikalisasi. Peluang mereka kembali ke jaringan teror jadi membesar.
Foto ilustrasi kondisi penangkapan narapidana hendak kabur dari Lapas Sialang Bungkuk yang kelebihan kapasitas. FB Anggoro/Antara Foto/via Reuters.

Kerusuhan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok yang meletus pada 8 Mei adalah sebuah bom yang bisa meledak sewaktu-waktu. Kerusuhan yang melibatkan hampir sekira 30 tahanan terorisme itu bukan pertama kali terjadi. Pada November 2017, kerusuhan juga pecah di rutan Mako Brimob. Kesimpulannya: aparat menangkap banyak tersangka kasus terorisme, namun tidak punya tempat menampungnya. Bahkan, ketika mereka akhirnya terbukti bersalah, nyaris tak tersedia ruang memadai di lembaga pemasyarakatan Tanah Air.

Iklan

Persoalan itu tercermin dalam laporan terbaru dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC). Diketahui bahwa jumlah teroris yang ditangkap dalam periode Januari 2017 hingga Agustus 2018 mencapai 400 orang. Sementara hanya 70 orang narapidana teroris yang dibebaskan dalam periode tersebut. IPAC juga mengkhawatirkan banyaknya terduga teroris yang ditangkap di bawah UU anti-terorisme yang baru dapat membebani sistem peradilan.

Mako Brimob, contohnya, tidak pernah dirancang untuk menjadi rumah tahanan bagi lebih dari 150 narapidana/tersangka terorisme. Kini ketika UU anti terorisme yang baru telah berhasil menjaring hampir 300 terduga teroris dalam kurun dua bulan saja, pemerintah kembali dihadapkan dengan masalah klasik: apakah jumlah penjara di Indonesia mampu menampung para terduga maupun narapidana teroris tersebut.

Saat ini jumlah narapidana terorisme yang menjalani hukuman mencapai 289 orang yang tersebar di 113 lapas di Indonesia, menurut kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius.

“Jika penangkapan terus meningkat di bawah UU anti-terorisme yang baru dan tersangka dipidana dengan hukuman penjara lama,” tulis IPAC dalam laporan tersebut, “Beban sistem pemenjaraan dapat mencapai puncaknya, meski saat ini penjara dengan keamanan maksimum sedang dibangun.”

Tanpa peningkatan jumlah narapidana terorisme pun Indonesia sebenarnya tengah mengalami krisis sistem pemenjaraan. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan saat ini jumlah narapidana yang tersebar di seluruh Indonesia mencapai 230 ribu orang. Sementara saat ini Indonesia hanya memiliki 512 penjara. Itu belum termasuk jumlah sipir penjara yang cuma berjumlah 14.600 orang. Itu berarti satu sipir harus menjaga 20 orang tahanan.

Iklan

Tonton dokumenter VICE menyorot solusi deradikalisasi untuk anak-anak terpidana terorisme di Sumut, agar tak mengikuti jalan hidup orang tuanya:

Saat ini Indonesia memiliki lima buah lapas keamanan maksimum di Nusakambangan dan Gunung Sindur, Bogor. Jumlah tersebut menurut pemerintah masih dianggap kurang, kendati Nusakambangan saat ini dihuni hanya sekira 100 narapidana terorisme. Rata-rata lapas dengan keamanan maximum memiliki kapasitas menampung 120 narapidana. Napi yang dianggap berbahaya menempati sel isolasi dan tidak memiliki akses ke dunia luar serta hanya dapat dikunjungi oleh keluarga dekat. Salah satu napi yang menempati lapas maximum security adalah Iwan Darmawan Muntho, terpidana mati kasus bom Kedubes Australia 2004.

Sistem penjara konvensional oleh para pengamat justru dinilai sebagai tempat untuk ajang perekrutan, penyebaran ideologi ekstremisme, dan mengkoordinasi serangan teror. Hal tersebut lantas memicu wacana perlunya sistem rehabilitasi alih-alih hukuman penjara.

Kepala lembaga riset terorisme dari Rajaratnam School of International Studies Rohan Gunaratna yang telah meneliti sistem rehabilitasi teroris mengatakan bahwa Indonesia perlu membangun sebuah program rehabilitasi nasional yang menyeluruh dan berkesinambungan. Rohan mengatakan Indonesia saat ini tidak memiliki sistem rehabilitasi yang terstruktur dan hanya mengandalkan program deradikalisasi yang setengah-setengah.

Iklan

“Rehabilitasi memungkinkan komunikasi dengan teroris,” kata Rohan kepada VICE Indonesia. “Dengan pendekatan tersebut kita dapat memerangi terorisme tanpa harus menggunakan cara-cara militeristik. Namun perlu diingat bahwa rehabilitasi adalah proses yang panjang dan membutuhkan kesabaran dan dedikasi.”

Menurut Rohan pemerintah harus memahami konteks bagaimana para teroris mempraktikan ajaran Islam dalam kerangka budaya, ekonomi, politik, dan sosial, karena faktor-faktor tersebut mempengaruhi cara mereka memandang dunia dan pemerintahan demokrasi. Sehingga tantangannya, menurut Rohan, pemerintah tidak bisa memukul rata dan memasukkan para narapidana terorisme dalam satu program yang saklek.

“Tidak ada satu model program rehabilitasi yang bisa dijadikan standar,” kata Rohan. “Pemerintah bisa saja mengembangkan suatu model program rehabilitasi, tapi itu tidak bisa dijadikan pegangan untuk seluruh kelompok teroris. Setiap program rehabilitasi seharusnya hanya bergerak dalam konteks komunitas.”

Program rehabilitasi, lanjut Rohan, harus dilakukan saat pertama kali teroris ditangkap untuk meminimalisir potensi penyiksaan demi mengorek keterangan. Sistem isolasi juga tidak efektif, lantaran para narapidana tersebut akan kembali ke tengah masyarakat pada saat bebas. Sehingga pemerintah perlu membuat lingkungan yang kondusif untuk berdialog dengan para narapidana, ujar Rohan.

“Kebanyakan penjara dan rutan tidak memiliki ruang rehabilitasi,” tutur Rohan. “Mereka yang perlu menjalani rehabilitasi harus ditempatkan dalam sebuah fasilitas rehabilitasi yang terbuka dan merefleksikan kehidupan bermasyarakat.”

Iklan

Belajar dari kasus kerusuhan Mako Brimob dan serangan bom Thamrin, penjara tidak lantas serta merta menghentikan interaksi antar napi terorisme. Menurut IPAC, para napi terorisme di sejumlah lapas masih dapat mengakses aplikasi pesan instan lewat ponsel yang diselundupkan dari luar. Sebuah video berisi ajakan untuk menyerang Mako Brimob yang disebarkan para napi terorisme saat kerusuhan terjadi membuktikan bahwa kelengahan dalam penjagaan bisa berakibat fatal.

Video tersebut lantas direspon para pendukung ISIS yang mencoba merapat ke Mako Brimob untuk membantu para napi, meski belakangan semua dapat digagalkan termasuk upaya dua perempuan yang hendak menyerang aparat Brimob dengan menggunakan gunting.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai ujung tombak mitigasi teror sejak pertama kali didirikan pada 2010 sudah membangun sebuah fasilitas rehabilitasi dan deradikalisasi di kawasan Sentul, Bogor. Fasilitas yang dibangun pada 2013 tersebut memiliki 48 bilik yang masing-masing mampu menampung tiga orang narapidana. Saat ini fasilitas tersebut telah digunakan untuk mengkarantina para WNI yang kembali dari Suriah. Namun peran fasilitas tersebut dinilai belum maksimal lantaran masih memiliki kekurangan dari segi infrastruktur dan sistem penjara.

Dari data BNPT sepanjang kurun 2010 hingga 2015, ada sekira 800 narapidana terorisme. Sebanyak 600 orang bebas pada kurun 2014 - 2015. Diperkirakan 115 orang merujuk angka se terindikasi kembali ke ideologi radikal atau terlibat aksi terorisme.

Segala kekurangan tersebut akhirnya berimbas pada implementasi program deradikalisasi itu sendiri. Yudi Zulfahri, salah seorang mantan narapidana terorisme yang terlibat pelatihan militer di kamp Jalin Jantho, Aceh, mengatakan program deradikalisasi tidak memiliki menyentuh aspek kontra-ideologi. Pemerintah, menurutnya, hanya fokus kepada bantuan wirausaha yang bersifat sementara.

“Deradikalisasi ini adalah untuk mengubah paham radikal, tapi praktiknya itu lebih banyak dengan bantuan wirausaha dan lain-lain. Ideologi tidak pernah disentuh,” kata Yudi. “Tidak bisa BNPT datang, lalu berusaha mengubah pemahaman, pasti ditolak. Semua pihak yang berseberangan tentu dianggap musuh oleh mereka (teroris). Maka keterlibatan ormas Islam itu sangat diperlukan.”