JAD Resmi Dilarang Pemerintah, Sayang Putusan Ini Diyakini Tak Akan Melemahkan Jaringan Teror
Aman Abdurrahman (baju biru) selaku ideolog JAD, dikawal ketat aparat setelah memperoleh vonis mati oleh majelis hakim PN Jakarta Selatan pada 22 Juni lalu. Foto oleh Darren Whiteside/Reuters.

FYI.

This story is over 5 years old.

Terorisme

JAD Resmi Dilarang Pemerintah, Sayang Putusan Ini Diyakini Tak Akan Melemahkan Jaringan Teror

"Pendukung JAD sejak awal sudah tidak terlalu peduli dengan organisasi."

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hari ini membekukan serta menyatakan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan semua afiliasinya sebagai korporasi terlarang yang mendukung terorisme. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan JAD terbukti bertanggung jawab atas aksi teror yang dilakukan anggotanya di berbagai kota Indonesia. Selain membekukan aset dan semua jenis aktivitasnya di ruang publik, Majelis hakim juga mewajibkan JAD membayar denda Rp5 juta. Vonis tersebut sesuai tuntutan jaksa.

Iklan

Rangkaian sidang tersebut dimulai sejak pekan lalu. Pengadilan sempat menghadirkan amir pusat JAD Zainal Anshori sebagai terdakwa yang mewakili organisasinya. Mengenakan baju koko berwarna coklat muda dipadu dengan celana katun hitam dan kopiah putih, Anshori menerima putusan tersebut dan tidak akan mengajukan banding. Februari 2018, Anshori terlebih dulu divonis tujuh tahun penjara karena terbukti menyelundupkan senjata api dari Filipina Selatan yang digunakan dalam serangan Thamrin 2016.

Pengacara JAD Asludin Hatjani, dalam pembelaannya, mengatakan aksi terorisme dilakukan perorangan, tanpa membawa nama JAD. Asludin bilang JAD murni terbentuk untuk membantu para pendukung khilafah ISIS berangkat ke Suriah.

"Sesuai fakta hukum yang terungkap di persidangan jelas sekali terdakwa (JAD) tidak mengetahui dan tidak terlibat dalam perkara tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anggotanya," ucap Asludin dalam pembelaannya pekan lalu.

JAD adalah organisasi teroris kedua di Indonesia, setelah Jemaah Islamiyah (JI), yang diadili sebagai kelompok terlarang. April 2008 majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan JI bersalah atas serangkaian kasus terorisme dan menghukum denda Rp10 juta. Kala itu Abu Dujana yang divonis 15 tahun penjara dalam kasus serangan bom Bali dihadirkan sebagai terdakwa.

Organisasi JAD dibentuk pada November 2015 menyusul digelarnya pengajian di Batu, Malang yang dihadiri 30 orang. Dalam pengajian tersebut, mereka sepakat menyatukan pendukung khilafah dalam satu wadah yang bertujuan untuk membantu perjuangan ISIS di Suriah. Dalam dokumen persidangan, terungka pendanaan JAD berasal dari infak para pendukungnya di seluruh Indonesia. Selain infak, sokongan dana juga datang dari anggota ISIS asal Indonesia yang bermukim di Suriah.

Iklan

Tonton dokumenter VICE mengenai jalannya pertempuran melawan ISIS di Marawi, Filipina:


Pembekuan JAD sebagai korporasi teror adalah langkah lebih lanjut dalam pemberantasan terorisme menyusul serangan bom di Surabaya dan Sidoarjo yang menewaskan 28 orang serta melukai 57 orang Mei lalu. Juni lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis ideolog JAD Aman Abdurrahman dengan hukuman mati.

Meski upaya untuk membekukan jaringan terorisme merupakan cermin komitmen tegas pemerintah yang disambut dengan positif, pengamat menilai langkah pembekuan tersebut bukan merupakan akhir dari ekstremisme.

Pengamat jaringan terorisme Adhe Bakti mengatakan bahwa putusan majelis hakim tersebut bisa menjadi dasar untuk menangkap para anggota atau simpatisan JAD yang mungkin masih berkeliaran. Asumsinya, kata Adhe seorang yang terbukti berafiliasi dengan JAD bisa dikenakan pasal berlapis; bergabung dengan organisasi terlarang serta menebar teror. Adhe buru-buru menambahkan JAD bukanlah satu-satunya organisasi teroris yang ada di Indonesia. Ia mengatakan masih ada faksi-faksi kecil yang mungkin tidak terhubung dengan JAD.

Menurut Adhe, orang-orang yang mendukung terorisme tidak melulu memerlukan suatu organisasi dengan struktur kaku. Dalam artian, kata Adhe, mereka bisa bergerak secara independen tanpa harus mengambil bagian dalam tugas-tugas di dalam organisasi. Adhe berkata kelompok teroris lebih merasa disatukan oleh satu ideologi dibandingkan disatukan oleh sebuah organisasi.

"Para pendukung JAD sejak awal sudah tidak terlalu peduli dengan organisasi, mereka bisa bergerak tanpa ada organisasi juga," kata Adhe. "Tapi ada kemungkinan vonis ini akan memunculkan sentimen negatif terhadap negara. Masalah mereka akan melakukan apa nantinya, itu yang menjadi tantangan."

Pernyataan Adhe tersebut sudah terbukti di lapangan pada 2010 ketika petinggi JI Para Wijayanto, veteran militan asal Kudus, Jawa Tengah, mencoba mengaktifkan kembali organisasi pimpinan Abu Bakar Basyir yang bisa dibilang porak poranda pasca serangan bom Bali. Dari laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Wijayanto telah menunjuk beberapa amir untuk mengembangkan sayap militer dan dakwah JI yang berpusat di kota-kota Jawa.

Dari laporan tersebut, setidaknya dapat diambil kesimpulan bila pembekuan sebuah organisasi teror sulit serta merta menghentikan sebuah aksi terorisme. Pilihannya bisa ada dua, para pendukung terorisme bisa dengan mudah mendirikan sebuah organisasi baru atau bergerak dalam sel-sel kecil independen.