FYI.

This story is over 5 years old.

VICE Votes

Mengenal Sistem Noken Papua, Satu-Satunya Metode Pemilu 'Tak Demokratis' di Indonesia

Anak muda Papua beda pendapat menyikapi praktik titip suara pada kepala suku ini. Sebagian menolak, ada yang memaklumi. Dalam pemilu 2019, sebanyak 12 kabupaten di Papua masih menerapkan noken.
Penyebab Sistem Noken yang 'Tak 'Demokratis' Terus Berlaku di Papua
Anggota salah satu suku di Pegunungan Tengah Papua berkumpul. Foto oleh Frans Hubby via Wikimedia Commons. Lisensi CC 3.0

Dua kali berpengalaman ikut pemilihan umum, Julio Reinner Lambert Pussung tak pernah mengunjungi Tempat Pemungutan Suara (TPS). Tapi dia tetap menggunakan hak konstitusionalnya. Cerita macam ini hanya bisa terjadi di Papua, satu-satunya provinsi yang masih menerapkan sistem noken bagi warga setempat untuk memberikan dukungan pada para politikus tertentu.

Ini kali kedua Julio ikut pemilu. Lima tahun lalu anak muda 24 tahun asal Tembagapura, Mimika, itu merasa sekadar ikut-ikutan. Sekarang persiapan Julio lebih matang. Sejak awal tahun ini dia rajin mencari info seputar sebelum mendukung wajah calon anggota legislatif dan calon presiden di surat suara. Julio hanyalah satu dari 63 juta pemilih muda yang suaranya bakal menentukan di pemilu nanti.

Iklan

Sekilas tak ada yang berbeda dari cerita Julio. Namun jika penduduk wilayah lain di Tanah Air terbiasa mencoblos surat suara, Julio memakai sistem noken menyumbang suaranya. Medan yang berat, meski dekat dengan tambang Freeport, membuat Tembagapura sulit dijangkau distribusi kotak suara. Total ada 12 Kabupaten masih memakai sistem noken dalam pemilu 2019. Alasan KPU, karena sulitnya distribusi kotak suara ke pegunungan tengah Pulau Papua.

Noken sebetulnya sebutan untuk tas berbahan kulit kayu, anyaman tradisional khas Papua. Tapi ketika diucapkan satu tarikan napas dengan pemilu, noken berubah makna menjadi sistem pemberian suara lewat perwakilan suku.

Metode noken jadi tradisi sejak pemilu pertama digelar di Provinsi Papua (waktu itu masih disebut Irian Jaya oleh Orde Baru) pada 1971. Dalam sistem tersebut, cara yang populer adalah warga mendukung pilihan kepala sukunya yang selanjutnya menetapkan sikap lewat surat suara yang dimasukkan pada noken. Cara kedua, pemilih bisa memasukkan sendiri surat suara ke dalam noken, dikoordinir kepala suku.

"Hampir sama seperti pemungutan suara di daerah daerah lainnya, tapi tanpa bilik suara," kata Julio saat berbincang bersama VICE. "Tentu pilihan kita dapat mempengaruhi orang lain yang belum memiliki pilihan pasti."

1554982850074-788px-Membuat_noken

Beberapa mama di Papua sedang merajut tas noken dari kulit kayu. Foto oleh Keenan63/Wikimedia Commons. Lisensi CC 4.0

Sistem tersebut terus menjadi perdebatan hingga kini. Di satu sisi, noken dianggap sebagai praktik yang tidak demokratis, lantaran pilihan seseorang tak lagi menjadi rahasia. Kepala suku juga dapat mempengaruhi pilihan seseorang.

Iklan

Julio paham jika noken dan suasana pemilihan yang tak tertutup, dapat mempengaruhi pilihan politik seseorang. Kendati begitu dia yakin sistem tersebut tak berlawanan dengan semangat demokrasi. Tapi ia sadar bahwa seharusnya ada sistem pemungutan suara yang lebih baik.

"Saya mengakui pemilu yang seharusnya rahasia tidak tercerminkan dari sistem noken ini," kata Julio. "Sayangnya tak ada pilihan lain. Medan yang berat menyulitkan distribusi keperluan pemilu dan saya rasa masyarakat Papua yang memiliki budaya bergantung pada musyawarah dan kepala suku."

Tak semua anak muda sepakat dengan Julio. Beberapa mahasiswa setempat mendesak pemerintah menghapus sepenuhnya sistem noken. "Noken tidak menerapkan praktek demokrasi yang sesungguhnya. Sistem noken membunuh hak perorangan memilih dengan hati nurani," kata Otis Ernest Tabuni, mahasiswa dari Kabupaten Nduga, Papua. "Sistem ini menggunakan big man atau kepala suku, mengklaim suara salah satu kampung dan diberikan ke salah satu calon dari beberapa calon."

Masalah terbesar, menurut Otis, karena sikap kepala suku sudah bisa diketahui jauh-jauh hari. Artinya, sangat mungkin ada suara berbeda dari anggota suku tersebut yang tak dihitung karena kepala suku punya pilihan berbeda.

Sama-sama tinggal di Papua, kondisi berbeda dialami Jovi Prasditifitrah Ramadhana. Pemuda 25 tahun yang tinggal di Kota Jayapura ini juga sudah dua kali melewati masa pemilu. Jovi tak menggunakan sistem noken saat pemilu nanti. Di Jayapura, yang notabene ibu kota provinsi, distribusi surat suara dan kotak TPS jauh lebih baik. Sebagai anak kota, dia pun berharap pemungutan suara dengan noken tak lagi dipakai di Papua.

Iklan

"Noken menurutku bukan bagian dari demokrasi," kata Jovi pada VICE. "Itu seperti membeli suara lewat kepala suku masing-masing kampung. Jadi sebelum pemilu mulai pun sudah ketahuan kampung tersebut memilih siapa karena kepala sukunya memilih mewakili anggota masyarakatnya."

Pemkot Jayapura telah melarang pemungutan suara dengan sistem noken mulai 2019, lantaran dianggap rawan kecurangan. Tapi tarik ulur tentang sistem ini bukan kali ini saja terjadi. Keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan sistem noken masih dianggap sah. Sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) selama ini terkesan tak memiliki ketegasan mengubah metode pemungutan suara tradisional tersebut.

Di satu sisi KPU pernah bilang bahwa sistem noken sah selama pencatatannya jelas, tapi di sisi lain lembaga penyelenggara pemilu ini ingin menghapus sistem noken secara bertahap. Komisioner KPU Papua, Tarwinto saat diwawancarai VOA, mengaku masih butuh waktu lama menghapus sepenuhnya sistem noken. Buat suku yang homogen di pegunungan tengah Papua, noken justru jadi pilihan masyarakat.

"Noken itu sebenarnya sebuah kesepakatan yang terjadi di masyarakat Papua. Bukan hanya Pemilu saja," ujarnya, "dalam pengambilan keputusan apapun di masyarakat wilayah adat, itu menggunakan kesepakatan."

Sayangnya, dalam era demokrasi langsung setelah reformasi, noken rawan praktik politik uang. Jovi kerap mendengar cerita bagaimana caleg atau tim kampanye mempengaruhi kepala suku agar mengajak masyarakatnya memilih tokoh tertentu. Ia akhirnya berkesimpulan, tanpa pengawasan yang baik—sementara pengawasan amat sulit dilakukan di medan pegunungan Papua—maka noken seringkali berujung pada kemungkinan praktik tidak demokratis.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat sistem noken sempat memicu konflik kekerasan di berbagai wilayah Papua, akibat adanya politik uang. Menurut Perludem, sepanjang pilkada 2013-2018 konflik kekerasan di Bumi Cenderawasih memakan korban jiwa hingga 71 orang.

Julio di tengah dilema soal metode pemilihan yang harus dia lakoni, memilih optimis. Dia yakin, suaranya tak akan diselewengkan oleh pemangku adat setempat yang mengedarkan noken.

"Menurut saya sebagai generasi muda papua, tidak ada yang salah dengan penggunaan noken sebagai pengganti bilik suara," kata Julio. "Yang penting masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup tentang siapa caleg dan apa programnya."