FYI.

This story is over 5 years old.

Budaya Pop

Para Pembenci 'Game of Thrones' Beberkan Alasan Kenapa Mereka Gembira Serial Ini Berakhir

Maaf-maaf saja. Tidak semua orang menyukai serial TV yang penuh intrik, naga, dan pembunuhan antar anggota kerjaan ini.
Jon Snow dan Daenerys Targaryen, tokoh utama serial Game of Thrones
Arsip foto oleh HBO

Musim kedelapan Game of Thrones (GoT) yang menjadi musim terakhir serial TV HBO mulai tayang Senin (15/4) pagi, waktu Indonesia. Di musim terakhir ini, para penggemar setia bakal disuguhi 432 menit adegan penuh intrik menegangkan, naga, dan kekerasan brutal. (Episode terakhirnya dikabarkan berdurasi 2 jam. Itu berarti kalian harus siap-siap pakai popok buat jaga-jaga kebelet di tengah jalan.)

Serial drama fantasi ini enggak dapat dihindari sejak pemutaran perdananya pada 2011. Setiap kali buka internet, kalian akan menemukan postingan tentang GoT. Kalian mainan Twitter? Temanmu di sana pasti sedang sibuk bahas episode terbarunya. Situs kuliner juga sering bikin artikel tentang makanan yang GoT banget. Intinya, ke mana pun kalian pergi, Game of Thrones akan selalu menghantuimu.

Iklan

Seperti kebanyakan acara populer lainnya, banyak orang yang bersyukur film TV ini segera berakhir. Alasannya pun bermacam-macam. Ada yang capek ngikutin jalan ceritanya, ada juga yang malas dengan adegan penyiksaan dan kekerasan seksual yang sering muncul. Aku sendiri suka menonton GoT, tapi enggak kuat menyaksikan adegan penuh darahnya. Aku mesti tutup mata pakai jari atau ngumpet tiap kali adegan seperti itu muncul.

Berdasar sekian alasan tersebut, aku jadi penasaran ingin tahu apa pendapat orang soal musim terakhir GoT. Aku bertanya kepada mereka yang secara terbuka mengaku tidak menyukai serial ini lewat medsos, dan inilah jawaban mereka:

"Akhirnya, aku enggak perlu lagi berpura-pura tertarik dengan teori penggemar dari orang-orang yang enggak aku sukai." - Abi, 25 tahun.

"Jujur saja, kru GoT berada dalam situasi yang sangat buruk. Mereka terjebak antara penonton yang suka karena ‘cewek bugil dan naga’ dan mereka yang selalu bilang ‘cerita di buku lebih bagus daripada filmnya’ tapi sudah enggak ada buku lain yang bisa memperkuat ekspektasi mereka yang enggak realistis. Kru GoT sudah gagal sejak adegan pembuka musim keenam. Mereka enggak mampu mempertahankan logika paling dasar yang membuat acara ini menarik dari awal. Aku sedih GoT bakalan berakhir, tapi aku sudah mengucapkan selamat tinggal sama serial ini sejak 2016." - Erik, 36 tahun.

"Aku benci Game of Thrones. Serialnya penuh kekerasan seksual, dan perlakuan yang melecehkan perempuan. Aku paling enggak suka sama drama fantasi yang seperti ini. Aku sebenarnya suka para pemerannya, tapi ogah banget nonton betapa rendah perempuan diperlakukan di musim-musim awal." - Courtney, 24 tahun.

Iklan

"Orang-orang paling membosankan di dunia ini akhirnya harus mencari serial baru untuk mengisi kekosongan. Mamam!" - Hari 32 tahun.

"Menurutku, acara yang mempertontonkan perempuan disiksa enggak menghibur. Ini bukan eskapisme sama sekali." - Samantha, 24 tahun.

"Aku bersyukur acaranya akan berakhir karena itu artinya aku enggak perlu lagi bilang ke orang-orang kalau aku enggak suka GoT. Kedengarannya tuh kayak aku berusaha jadi ‘edgy’ banget. Padahal sebenarnya aku sudah beberapa kali nonton, tapi ujung-ujungnya ketiduran enggak lama kemudian. Aku enggak tertarik dengan naga dan darah. Satu-satunya alasan aku tertarik nonton karena katanya ada perkumpulan orang yang enggak punya penis. Dan ternyata masalah mereka cuma karena enggak punya penis. Membosankan banget." - Sam, 29 tahun.

"Aku enggak sabar bisa berhenti pura-pura ingat semua karakter. Otakku enggak sampai untuk menghafal semua jalan cerita dan nama-nama aneh itu." - Rian, 24 tahun.

"Aku enggak mau nonton serial TV yang penuh kekerasan seksual, terutama jika kekerasannya dialami oleh tokoh perempuan untuk dijadikan plot bagi pasangan lelakinya. Kepalaku mendidih mendengarkan rekan kerja yang berceloteh tentang GoT selama beberapa tahun belakangan ini.” - Nell, 25 tahun.

Follow Nicole Clark di Twitter.