FYI.

This story is over 5 years old.

Fenomena Sosial

Melepas Jerat Pulung Gantung, Bola Api di Langit yang Membuat Siapapun Bunuh Diri

Rata-rata terjadi 30 kasus bunuh diri di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta tiap tahun. Fenomena sosial ini diselimuti mitos bola api terbang, diyakini menandakan akan ada orang mati gantung diri. Sebagian orang mencoba melawan mitos itu.
Ilustrasi oleh Adam Noor Iman.

Satu malam pada 2015, saat Bambang* santai menyusuri jalanan dekat rumahnya di Gunung Kidul naik motor, tiba-tiba muncullah clorot melesat di langit. Ia perhatikan bola api yang terbang jauh di atas kepalanya itu, warnanya putih kemerah-merahan, punya ekor layaknya komet. Orang sana menyebutnya clorot. Bambang memacu motornya, memutar gas lebih dalam mengikuti arah si clorot pergi. Sampai ke sawah-sawah ia kejar, tapi bola api itu malah menghilang. Bambang lantas putar arah untuk seterusnya pulang ke rumah. Ia percaya yang barusan terlihat adalah pulung gantung.

Iklan

Di Gunung Kidul, mitos pulung gantung menurut warga sudah muncul berpuluh-puluh tahun lamanya. Dalam bahasa Jawa, pulung bermakna takdir. Pulung gantung berarti takdir orang mati dengan cara gantung diri. Masyarakat di sana percaya peristiwa bunuh diri tidak terjadi begitu saja, ia selalu didahului oleh penampakan bola api yang terbang di langit. Jika ada yang melihatnya, berarti cepat atau lambat akan ada yang mati gantung diri. Mitos itu masih hidup hingga kini, menjalar dari mulut ke mulut, dari generasi satu ke generasi berikutnya.

Keesokan hari setelah Bambang melihat penampakan clorot, muncul perasaan aneh membebani batinnya. Ia bingung, merasa pusing berat. Ia mengalami gangguan pikiran berlebih. Perasaan itulah yang mendominasi sampai akhirnya ia memutuskan untuk menenggak cairan pembersih lantai sebanyak satu botol demi mengakhiri hidup. Setelah tubuhnya bereaksi, Bambang panik. Ia lari ke tetangga dan melaporkan apa yang baru saja ia lakukan. Ia diboyong ke Rumah Sakit dan kemudian selamat. Bambang jadi penyintas bunuh diri.

Di Gunung Kidul, bunuh diri sering sekali terjadi. Saking seringnya, ini topik yang ringan diobrolkan orang. Tingkat bunuh diri di kabupaten termiskin nomor dua di DIY itu sangat tinggi. Jauh lebih tinggi dibanding angka bunuh diri wilayah lain Indonesia. Rata-rata, dalam setahun ada 30 orang tewas di karena bunuh diri. Sebagian besar korban mati memakai metode gantung diri. Tak ada yang tahu pasti kapan mitos pulung gantung lahir. Tak jelas apakah sebelum atau setelah maraknya kasus bunuh diri puluhan tahun lalu.

Iklan

Kami menemui Darmo Supoyo, satu dari sekian tetua kampung yang percaya pada keberadaan pulung gantung. Simbah 85 tahun itu tinggal di Dusun Ngringin, Bejiharjo, Karangmojo. Dulu sekali, ia mengaku pernah melihat pulung gantung. Sewaktu berumur 20 tahun, ia melihat bola berekor berwarna kemerahan bercampur putih meluncur di atas langit sekitar pukul 21.00.

Darmo saat mengingat lagi pengalamannya melihat pulung gantung. Foto oleh penulis.

Darmo waktu itu sedang duduk santai dan mengobrol bersama tiga orang di halaman rumahnya. Matanya seketika tertuju pada benda bercahaya itu. Benda yang Darmo lihat terbang dengan gerakan bergelombang masuk ke Kecamatan Wonosari di bagian selatan Gunung Kidul.

Buat simbah-simbah seperti Darmo, pulung gantung menjadi isyarat genting: akan ada orang yang bunuh diri di desa tempat jatuhnya clorot tersebut. Darmo menyakini bola bercahaya yang jatuh melintasi rumah penduduk desa membuat penghuninya kehilangan pijakan, tak tahu arah, dan kebingungan. “Orang-orang dahulu memperhatikan pulung. Itu kadigdayan,” kata Darmo. Konon kesialan yang dibawa oleh pulung gantung bisa diusir dengan membunyikan kentungan.

Tentu tak semua orang percaya dengan pulung gantung. Termasuk mereka yang pernah mencoba bunuh diri di Gunung Kidul sekalipun, yang ditemui VICE Indonesia.

Di halaman belakang rumah yang dikitari pohon jati, Aan* pernah mencoba bunuh diri. Kejadiannya pada 26 Desember 2017 lalu. Tak ada sinar pada sepasang bola mata seorang remaja bertubuh kurus dan jangkung itu. Ia pucat pasi, lunglai, dan tak mau bicara, sesekali hanya mengangguk dan menggelengkan kepala saat bertemu anggota keluarganya. Dia berusaha bangun dari kasur dengan sisa-sisa tenaga.

Iklan

Remaja 18 tahun itu mengambil pisau dari dapur, ke halaman belakang, lantas menusukkan benda tajam itu dadanya. Simbahnya, Marni, berusaha merebut pisau darinya sang cucu yang hendak dijemput maut. Tapi, Marni tak kuasa, ia malah terjengkang. Pisau yang biasa Marni gunakan untuk mengupas buah menghujam tubuh cucunya. Darah muncrat. Aan lalu mencabut pisau dari tubuhnya dan melemparkannya.

Marni berteriak sekeras-kerasnya meminta tolong ke tetangga kanan kiri. Bantuan pun datang menghampiri Aan yang terkapar dalam dekapan kakeknya, Notowiyono. Tetangga membawanya ke rumah sakit terdekat. Aan selamat. Tapi setelah kejadian, ibu Aan ambruk tak sadarkan diri. “Dia pingsan dan selama lima hari tak mau makan dan minum,” kata Marni.

Aan bersama sang ibu sebulan setelah percobaan bunuh diri. Foto oleh penulis.

Aan segera saja jadi berita. Sejumlah media massa lokal mengabarkan Aan bunuh diri karena putus cinta. Sebagian mengaitkannya dengan rumor pulung gantung. Tapi, persoalannya tentu tidak sesederhana itu. Saya menemui Aan dan keluarganya di rumah mereka di Dusun Ngelo, Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul. Sebulan setelah percobaan bunuh diri, keluarganya berjibaku mengurus Aan. Kepada saya, Sukamti, sang ibunda, menuturkan peristiwa yang hampir menelan nyawa anaknya itu.

Sukamti adalah ibu tunggal dua anak yang tabah dengan segala daya. Perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai buruh cuci ini merawat kedua anaknya seorang diri setelah ditinggal suaminya yang hijrah ke Jakarta sekitar 10 tahun lalu. Demi mengurus anaknya, ia sementara berhenti bekerja sebagai buruh cuci. Sukamti tak percaya pulung gantung punya andil dalam percobaan bunuh diri anaknya. Masalah yang dihadapi Aan dan keluarga lebih kompleks dari mitos itu.

Iklan

Gantung diri adalah cara yang paling banyak dipilih untuk mengakhiri hidup warga Gunung Kidul. Kepolisian Resor setempat mencatat pada 2017 saja terdapat 34 kasus upaya bunuh diri. Sebanyak 30 orang tewas dan empat selamat. Dari total korban tewas, 29 orang gantung diri. Sisanya, termasuk yang selamat, ada yang masuk sumur, ada yang minum obat batuk dicampur sabun cuci, juga ada yang menusukkan pisau ke tubuhnya, yakni si Aan. Tahun sebelumnya, terdapat 33 orang bunuh diri: 28 gantung diri, 2 masuk luweng (goa bawah tanah), satu masuk sumur, dan dua mencoba bunuh diri tapi gagal. Mengapa orang Gunung Kidul memilih mati gantung diri? Banyak yang bilang karena mereka sangat akrab dengan tali. Mereka beternak sapi dan memanen sayur menggunakan tali.

Ida Rochmawati, Psikiater Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari, telah menghabiskan waktu 17 tahun bekerja di Gunung Kidul, sempat melakukan riset kecil-kecilan mencari tahu apa sebenarnya musabab fenomena ini. Suatu masa ia ditugaskan bekerja sebagai dokter di Polres Gunung Kidul selama hampir dua tahun. Ia keliling dan mendapati warga Gunung Kidul melihat bunuh diri sebagai suatu fenomena yang lumrah. “Saya heran karena keluarga seolah-olah memperlakukan bunuh diri sebagai hal yang biasa,” kata Ida.

Ia pernah mendapati seorang anak kecil nyaris tewas gara-gara meniru-nirukan gaya orang gantung diri. Si anak kecil menganggap itu sebagai sebuah permainan belaka. Peristiwa itu membekas dan menimbulkan keresahan di hati Ida.

Iklan

Ia kemudian terus mencari informasi dan bertemu dengan sejumlah wartawan lokal Gunung Kidul. Ida mencari data kasus bunuh diri 20 tahun lalu yang ia bandingkan dengan tahun-tahun sekarang. Angkanya tak bergerak dari 20-30 kasus. “Tragis sekali. Ini artinya pemikiran bunuh diri telah diwariskan ke generasi selanjutnya,” kata dia.

Ida mendapatkan data-data termasuk foto tentang orang yang bunuh diri dari berbagai macam umur dan dengan sebab-sebab yang kompleks. Penyebab bunuh diri tak bisa serta-merta ditimpakan pada satu sumber masalah. Memang daerah ini sempat jadi daerah termiskin dibanding empat kabupaten lain di Yogyakarta. Selalu susul-menyusul dengan Kabupaten Kulon Progo soal tingginya angka kemiskinan. Faktor ekonomi, kendati selalu jadi pemicu, tapi tak pernah jadi faktor tunggal.


Baca juga liputan VICE mengenai tabunya pembahasan bunuh diri yang justru merugikan masyarakat:

Maraknya kasus bunuh diri juga membuat Yayasan Inti Mata Jiwa (Imaji) bergerak lebih aktif mencegah bunuh diri. Organisasi Non-Pemerintah ini kerap diundang memberi masukan dan membagi pengalaman bagaimana melakukan advokasi terhadap para penyintas yang gagal bunuh diri.

Ketua Imaji, Jaka Yanuwidiasta, mengatakan timnya terus berupaya mengikis mitos pulung gantung yang dipercaya sebagian orang sebagai penyebab bunuh diri. Masyarakat Gunung Kidul hingga kini menurutnya terbelengggu dengan mitos itu sehingga menjadi pembenaran bunuh diri. Mengikis mitos itu perlu agar upaya pencegahan bunuh diri bisa tepat sasaran. Mitos bisa membuat orang terdistraksi dari usaha mencari pendorong utama orang bunuh diri.

Iklan

Masalahnya, di Gunung Kidul mitos itu ditabalkan secara turun temurun dari mulut ke mulut. mitos ini kemudian mengakar di masyarakat. Di sejumlah acara kumpul penduduk, misalnya pelayatan, pulung gantung menjadi pembicaraan. “Padahal, cerita-cerita tentang pulung gantung kebanyakan merupakan pembenaran yang tak bisa dibuktikan kebenarannya,” kata Jaka.

Seorang penyintas yang gagal bunuh diri adalah Sugeng. Dia termasuk anak muda Gunung Kidul yang tak percaya mitos pulung gantung. Kamis sore hari, 21 Januari 2016 menjadi hari gelap dalam hidup Sugeng. Sore itu dia memilih mati, daripada menjadi pengangguran dan mengidap epilepsi.

Sugeng, penyintas upaya bunuh diri dari Desa Beliharjo, bersama sang ibu di halaman belakang rumah mereka. Foto oleh penulis.

Ia putus asa, merasa menjadi beban ibunya dan tak punya masa depan. Frustasi Sugeng bermula ketika ia bekerja sebagai pekerja toko alat tulis di Kota Yogyakarta. Ia lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan tahun 2014. Epilepsinya sering kambuh ketika ia bekerja di toko selama setahun. Sugeng keluar dari pekerjaannya dan menganggur.

Ia hidup bersama ibunya yang hanya seorang petani gurem. Sang ayah meninggalkan keluarganya saat Sugeng bocah. Sugeng tiga bersaudara. Dua saudaranya tinggal di Kota Yogyakarta. Pemuda Desa Bejiharjo, Karangmojo ini mengunci kamar dan memasang tali pada tiang lampu. Ia kalut, mengalungkan lehernya pada tali. Kayu pengait di langit-langit kamar patah.

Tubuhnya terjatuh di lantai kamar. Ia selamat. Jerat tali membekas pada lehernya. Ia pingsan. Tetangga bersama ibunya mendobrak pintu kamarnya dan membawanya ke rumah sakit. “Saya bersyukur punya kesempatan kedua untuk hidup,” kata dia.

Iklan

Selepas menjalani perawatan di Rumah Sakit Gunung Kidul, Sugeng menginap di Rumah Sakit Jiwa Grhasia, Sleman selama 10 hari. Dokter mewajibkan Sugeng meminum obat seumur hidup dalam jumlah banyak secara rutin. Sugeng takut obat itu akan merusak ginjalnya. Ia kemudian bertekad untuk sembuh. Ibunya, teman, dan tetangga terus memberi dukungan.

Sugeng bangkit dari keterpurukan setelah enam bulan berlalu. Ia berinisiatif mendaftar penerimaan perangkat desa. Tetangga dan teman-temannya lah yang mendorongnya untuk ikut mendaftar dan ia diterima sebagai Kepala Seksi Kesejahteraan Desa Bejiharjo. “Seburuk apa pun masa lalu, saya berhak punya masa depan yang lebih baik,” kata dia.


*Nama narasumber diubah untuk melindungi privasinya.

Jika kalian mengenal seseorang yang sedang tertarik atau memiliki gagasan bunuh diri, luangkan waktu sejenak membantu mereka. Arahkan kawan atau saudara kalian itu kepada beberapa aktivis yang bisa menolong untuk curhat dan konsultasi lebih lanjut.

Salah satunya adalah komunitas Into the Light, yang dapat dikontak melalui saluran ini. Kementerian Kesehatan juga memiliki saluran telepon untuk konseling masalah kejiwaan selama 24 jam, sila kontak di nomor 021-500-454.