FYI.

This story is over 5 years old.

Film

'Pai Kau' Adalah Representasi Langka Etnis Cina di Film Indonesia, Sayang Masih Ada Stereotipe Klise di Dalamnya

Sebuah film dengan mayoritas pemeran dari etnis Tionghoa tengah beredar di bioskop. Cuma, pilihan kreatif melanggengkan stereotipe membuat hasil akhirnya tak maksimal.

Pai Kau adalah film Indonesia anyar, menceritakan latar belakang budaya Tionghoa dan diperankan oleh aktor dan aktris Indonesia etnis Tionghoa. Pai Kau mulai pekan ini tayang di seluruh jaringan bioskop Tanah Air. Sayangnya, film yang disebut-sebut berupaya memberikan unsur berbeda ini, ternyata sama saja seperti film berlatar belakang budaya Tionghoa Indonesia lainnya.

Menurut sutradara filmnya, Sidi Saleh, Pai Kau adalah sebuah film drama terbaru yang mengisahkan tentang pernikahan dua orang keturunan Tionghoa yang berujung malapetaka. Namun, film ini tidak berhasil menampilkan budaya Tionghoa dari sudut berbeda seperti yang dibangga-banggakan olehnya.

Iklan

Yang jelas-jelas ditampilkan dalam film ini adalah stereotipe-stereotipe yang selama ini telah melekat pada orang WNI keturunan Tionghoa (Chindon). Tokoh Chindon miliarder? Ada. Keluarga Tionghoa yang punya hubungan sama sindikat kejahatan? Ada. Keluarga kaya yang terlibat dalam ketegangan akibat hubungan percintaan tak direstui? Ada.

Jadi, apa sebetulnya yang ingin dicapai oleh Pai Kau? Apakah film ini mematahkan stereotipe atau malah melanggengkannya? Apakah ini film satir yang terinspirasi kehidupan nyata atau malah berniat menggambarkan kesalahpahaman kita tentang Chindon? Kalau niatnya mulia, kenapa film ini hasilnya sangat menggangguku?

Ya, kita tetap patut menghargai usaha yang dilakukan Saleh untuk membuat film ini. Saleh, yang bukan keturunan Tionghoa, memberitahuku bahwa dia telah berkonsultasi dengan kru film yang memang keturunan Tionghoa dan mereka mengizinkannya untuk menggarap Pai Kau. Aku tidak ingat kapan terakhir kali menonton film Indonesia yang pemerannya satu ras denganku. Kendati aku tidak menyukai film yang melanggengkan stereotipe tentang Tionghoa, tetapi aku harus mengakui stereotipe-stereotipe di Pai Kau ada benarnya kok. Beberapa situasi atau dialog benar-benar pernah kualami semasa kecil.

Salah satu cuplikan adegan "Pai Kau." Sumber dari Al images.

Sama seperti tokoh-tokoh dalam film ini, aku besar di keluarga yang bisa berbahasa Indonesia dan Mandarin sekaligus. Aku juga sering makan di restoran Chinese dan mendatangi pesta pernikahan keluarga Tionghoa-Kristen yang serba meriah. Aku pun memahami urusan keluarga dan bisnis yang rumit dan serngkali penuh skandal.

Iklan

Koh Liem, tokoh kepala keluarga di Pai Kau, mengingatkanku pada sosok ayahku sendiri. Dia adalah tokoh ayah yang terlalu protektif, arogan dan terlalu memanjakan anak. Ada satu adegan di mana dia memperingatkan calon mantunya kalau tidak ada yang lebih penting dari keluarga dan martabat. Aku sudah sering mendengar ini sebelumnya. Di adegan lain, Koh Liem bercerita kalau Koh Jun sudah menjadi pengawal anak perempuannya, Lucy, sejak dia masih kecil. Aku jadi teringat pengawal-pengawal kekar yang selalu mengantarkanku ke sekolah Katolik elit yang didominasi oleh Chindon saat masih sekolah dulu. Bedanya, pengawalku berasal dari Indonesia Timur.

Film ini memberikanku perasaan terhibur karena aku bisa menghubungkan beberapa adegan dengan kehidupan nyata. Inilah masalah terbesarnya: Pai Kau tidak memberi penonton konteks sosio-kultural. Film ini menggambarkan budaya Chindon yang seakan lepas sepenuhnya dari segi sejarah, politik dan ekonomi yang dialami komunitas Tionghoa selama ini. Gambaran aktivitas kriminal, melimpahnya kekayaan, dan bisnis berdasarkan garis keluarga jad terkesan macam tiruan film mafia Hong Kong, cuma diganti lokasinya di Jakarta. Tdak adanya gambaran berarti tentang hubungan antar ras dan simbiosis antara etnis Tionghoa dan non-Tionghoa yang menyebabkan stereotipe tersebut berkembang.

Selama ini, diaspora Cina di berbagai negara Asia Tenggara menjadi kelompok “kapitalis pariah”. Itu istilah yang diciptakan oleh sosiolog Max Weber, untuk menggambarkan orang-orang Yahudi Eropa selama Perang Dunia I. Istilah tersebut sekarang mengacu pada kelompok minoritas imigran manapun yang punya kesempatan memperkaya dirinya sendiri, tetapi tidak diberi keleluasaan berpolitik dan tidak diakui status soialnya oleh pemerintah setempat, sehingga mereka seringkali terpaksa memperkaya diri dari ruang-ruang ekonomi yang abu-abu dalam kacamata hukum.

Iklan

Saya menghubungi Karen Teoh, direktur Studi Asia di Stonehill College, untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendalam tentang posisi unik etnis Tionghoa di Asia Tenggara, maupun Indonesia khususnya. “Secara historis, keturunan Tionghoa digunakan oleh penguasa kolonial dulu sebagai ‘perantara’ mengelola industri gelap, seperti tempat perjudian atau perdagangan candu, sehingga menggambarkan status sosio-ekonomi keturunan Tionghoa sebagai penguasa bisnis ilegal sampai era pascakolonial,” kata Teoh.

Stereotipe kriminal abu-abu muncul karena ada alasan di belakangnya. Dalam beberapa hal, itu sesuai dengan kenyataan. Memang benar sebagian keturunan Tionghoa terlibat di bisnis illegal di Asia Tenggara. Namun, kita juga harus ingat bahwa pejabat dan jenderal militer di Indonesia, khususnya selama periode Orde Baru yang berasal dari etnis dan agama lain, ikut diuntungkan oleh bisnis-bisnis orang Cina.

Pun, sebagian aspek drama keluarga yang terjadi di Pai Kau berbasis pada kenyataan. Bisnis dan keluarga adalah hal terpenting bagi masyarakat Tionghoa, serta tentunya pernikahan bisa saja dilakukan untuk alasan selain cinta. Beberapa hari yang lalu, temanku bercerita tentang perjodohan adik perempuannya dengan anak dari keluarga yang memiliki bisnis saingan. Tapi, sekali lagi, ini tidak hanya terjadi pada keluarga Chindon.

Kesimpulannya, bagaimana tanggapanku mengenai film ini? Tidak masalah menggunakan stereotipe, tetapi tidak semua orang keturunan Tionghoa seperti yang ada di film Pai Kau. Dimana Chindon dengan aksen Jawa atau Sunda yang kental? Bagaimana dengan mereka yang hanya berasal dari kalangan pekerja biasa? Bagaimana dengan mereka yang memiliki bisnis legal? Atau Chindon yang sukses di bidang politik, akademik, atau yang menjadi atlet?

Iklan

Kalau memang hanya ada sedikit film Chindon di Indonesia, mengapa kita perlu menggunakan stereotipe itu-itu saja? Saya bertanya kepada Saleh apa yang dia pikirkan dengan stereotipe ini. Dia mengatakan kepada saya bahwa karakter keturunan Tionghoa Indonesia dalam filmnya bukanlah korban. Mereka adalah orang-orang jahat dengan senjata dan agen rahasia. Dan yang paling penting, mereka memiliki daya tarik massa.

“Ini adalah film dengan tujuan komersil yang ditujukan untuk penonton umum,” kata Saleh kepadaku. “Tapi kami mengemasnya dengan alur cerita yang padat, akting berkualitas dan sinematografi yang bagus.”

Baiklah. Saya hanya merasa sedikit terganggu melihat stereotipe etnis ini dimunculkan tanpa konteks memadai. Ada risiko potret keluarga Cina Indonesia akan tampil satu dimensi saja. Atau setidaknya, saya berharap ada makin banyak film Indonesia selain Pai Kau yang dapat memberi kita gambaran keluarga Tionghoa di Tanah Air—setidaknya tidak sekadar mengangkat cerita keluarga Chindon yang jadi gangster. Makin banyak representasi macam itu akan memperkaya pemahaman awam, bahwa orang Cina di Indonesia bukan sekadar mereka yang 'kapitalis-tertutup'.

Pai Kau barangkali belum sepenuhnya berhasil menerabas stereotipe yang selama ini membelenggu minoritas Tionghoa Indonesia dalam sinema. Namun, upaya langka dari Sidi Saleh dkk tetap patut dihargai.


Pai Kau sejak 8 Februari beredar di bioskop-bioskop seluruh Indonesia.