FYI.

This story is over 5 years old.

Musik

Tawaran Musik Eksperimental ‘Easy Listening’ oleh Zatua

Kolektif digawangi Dea Barandana, musisi asal Bali, akan menggelar konser di Goethe-Institut serta bersiap merilis album perdana mereka tahun ini.
Semua foto oleh Regan Reuben.

Dea Barandana, musisi asal Bali, kembali mengulang kolaborasi bersama Goethe-Institut Indonesia. Februari lalu, Dea menampilkan pentas urban string bersama Ensemble Resonanz, kolektif musisi dari Hamburg yang difasilitasi oleh Goethe. Konser itu memadukan musik elektronik dan klasik serta merupakan bagian dari rangkaian konser bertema "Anders Hören" ("Mendengar Dengan Berbeda"). Kali ini Dea kembali lagi dengan project band-nya yang baru bernama Zatua.

Iklan

Zatua didirikan setelah jamuan makan malam istimewa ketika Dea bekerja sama bareng Ensemble Resonanz. Zatua saat ini tengah menggarap album pertama mereka yang akan dirilis di bawah naungan label Second Circle, label asal Belanda.

Berikut percakapan singkat VICE Indonesia bersama Dea Barandana, konseptor Zatua, di tengah persiapan latihan mereka menjelang konser.

Bagaimana awal mulanya project Zatua digagas?
Awal mulanya saya diminta Goethe Institut untuk mengundang beberapa musisi yang saya rekomendasi untuk event mereka "listening" yang berbeda. Berawal dari jamming bareng teman-teman di studio saya dan tercetus ide untuk bentuk sebuah band, dan kebetulan Adra Karim yang mengisi 'keys' untuk single yang akhirnya menjadi Zatua. AKhirnya dari teman-teman itu hanya Adra yang ikut band ini.

Seberapa eksperimental sebetulnya sound yang ditawarkan Zatua?
Sound kita bermacam-macam, ada sedikit unsur electronic dengan pengaruh besar dari world music dan jazz, ada juga yang lebih lo-fi electronic, atau disco. Menurut saya Zatua tidak terlalu eksperimental, masih masuk dalam kategori easy listening, hanya sedikit improvisasi yang bebas atau bisa disebut dengan eksperimental.

Siapa saja musisi yang ikut dalam project ini?
Inti anggotanya Adra Karim di keys, Rafi Muhamad pada drum, Harsya Wahono di synthesizer sequencer gitar, saya sendiri ditambah anggota additional Evan Storn yang lebih membantu di produksi album, serta Ade Koestomo di cuban percussion. Saya memilih mereka karena secara musikalitas mereka versatile banget, banyak yang multi instrumentalist. Kita masing masing bisa terlibat di proses songwriting dan aransemen.

Iklan

Instrumen apa saja yang akan digunakan saat konser?
Berbagai macam synthesizer dan keyboard, seperti Mini Moog, ada juga synthesizer polyphonic Prophet. Kami juga ada custom modular dari Storn System pake mini moog, Nord Electro, Noise Euro Rack Modular, beserta bass dan drum.

Bagaimana proses dalam pembuatan musiknya?
Biasanya saya buat sequence-nya dari situ saya berbagi refrensi-referensi seperti apa saya inginkan. Rafi dan Adra juga banyak kasih masukan, intinya lebih improvisasi yang simpel.

Adakah musisi yang jadi acuan saat menggarap Zatua?
Sebenarnya tidak ada satu grup atau produser yang menjadi patokan referensi. Mungkin lebih ke produksi music di koleksi piringan hitam saya.

Adakah rencana jangka pendek untuk Zatua?
Prioritas kami sekarang menyelesaikan album, mudah-mudahan rilis sebelum akhir tahun.

Zatua konser music eksperimental diadakan Rabu, 17 Mei 2017 di Goethe Institut, Jakarta Pusat, pukul 20:00 WIB. Info lebih lengkapnya, klik di sini.