Kontroversi UU Cipta Kerja

Kecaman Mencuat ke DPR Karena Edarkan Versi Final Lain UU Cipta Kerja 1.035 Halaman

Publik dibikin bingung karena draf UU Cipta Kerja ada beragam versi. Omnibus law terus menuai protes, menyatukan kelompok anarko, massa progresif, hingga ormas sayap kanan macam PA 212.
DPR Edarkan naskah final UU Cipta Kerja 1.035 Halaman
Potret salah satu demonstran yang menolak UU Cipta Kerja di kota Surabaya. Foto oleh Juni Kriswanto/AFP

Setelah melalui perjalanan berliku dari versi 1.028 halaman, 905 halaman, lalu sempat 1.052 halaman, akhirnya Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menautkan hasil peluh dan kerja keras mereka yang bernama UU Cipta Kerja dalam versi “Hampir-Final-Fix-Banget” ala mahasiswa sedang skripsi, berjumlah 1.035 halaman.

Kepastian adanya naskah terbaru ini dikonfirmasi Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar, yang mengatakan salinan UU Cipta Kerja dengan jumlah halaman tersebutlah yang dikirim ke Presiden Joko Widodo.

Iklan

“Benar, itu yang dibahas terakhir 1.035 [halaman]. Kan hanya format dirapikan, spasi-spasinya kedorong semuanya, [juga] halamannya,” ujar Indra, Senin (12/10), saat dikonfirmasi Tempo. Indra menegaskan, secara substansi tidak ada perubahan isi lagi sejak putusan di tingkat satu, perubahan halaman hanya perkara merapikan dokumen. Badan Legislatif menggelar rapat pleno, meminta persetujuan pimpinan DPR, baru setelah itu menyerahkan draf final omnibus law ke presiden. Naskah 1.035 halaman bisa dibaca masyarakat lewat tautan ini.

Terkait klaim Fraksi PKS yang merasa tidak memiliki draf terbaru UU Cipta Kerja sampai 10 Oktober kemarin, Indra menyebut hal tersebut masih sesuai Tata Tertib DPR RI. Sebab, menurut Indra, pembahasan substansi sudah selesai di tingkat satu dan tidak ada perubahan pada draf-draf selanjutnya.

Pernyataan Indra bertentangan dengan pengakuan Anggota Baleg DPR dari Fraksi PKS Bukhori Yusuf. Bukhori mengaku pihaknya sudah tidak melihat draf UU ini dalam rapat pengambilan keputusan tingkat satu.

“Bahkan, di rapat pengambilan keputusan tingkat I antara pemerintah dan DPR, kami tidak melihat draf RUU itu yang sudah ditandatangani seluruh fraksi, baik yang setuju maupun yang tidak setuju. Harusnya itu ada,” kata Bukhori dalam diskusi virtual “Polemik: Pro-Kontra UU Cipta Kerja”, Sabtu (10/10) lalu, dilansir Kumparan. Bukhori mengatakan, pihaknya sudah mengirimkan surat tertulis kepada pimpinan DPR, meminta draf terbaru UU Cipta Kerja.

Iklan

Pekan lalu, Ketua Panja RUU Cipta Kerja Supratman Andi Agtas menjelaskan bahwa sejak disahkan, DPR punya waktu tujuh hari kerja untuk merapikan dokumen. Ia menyebut saat ini pemerintah dan DPR sudah bekerja sama dengan ahli bahasa terkait hal tersebut.

“DPR itu kan punya waktu tujuh hari [kerja] sebelum naskah resminya kita kirim ke pemerintah. Nah, sekarang itu kita sisir, jangan sampai ada yang salah pengetikan, tapi tidak mengubah substansi. Siang saya undang seluruh poksi-poksi [kelompok fraksi Baleg. Anggota Panja itu datang ke Baleg untuk melihat satu per satu. Karena kan sekarang ini tim dapur pemerintah dan DPR lagi bekerja bersama dengan ahli bahasa melihat jangan sampai ada yang typo,” ujar Supratman kepada Detik. Kalau pengakuan fraksi PKS benar adanya, berarti pembahasan “tim dapur DPR” dengan ahli bahasa ini tidak melibatkan PKS.

Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Jumisih mengecam versi terbaru UU Cipta Kerja sebab membuat masyarakat bingung. “Itu konyol banget, kita dipingpong. Bagaimana kita mau berposisi, situasi terus berubah-ubah itu menunjukkan ada apa? Kita kan curiga. Karena redaksional berubah-ubah itu menunjukkan ketidakprofesionalan DPR itu sendiri,” kata Jumisih kepada Kompas.

Sebelumnya, santer protes kepada polisi yang terus memburu “penyebar berita bohong” seputar UU Cipta Kerja. Sorotan publik ditujukan pada pertanyaan tentang basis draf yang mana yang dipakai polisi dalam menjerat, padahal naskah belum ada yang final.

Iklan

Karo Penmas Divisi Humas Polri Awi Setiyono yang dikonfrontasi langsung dengan pertanyaan ini pada wawancara langsung di Kompas TV tidak mampu memberikan jawaban yang jelas.

Adapun sampai sekarang UU Cipta Kerja terus memicu pro-kontra. Rencana aksi diserukan oleh komunitas dari ragam ideologi politik berbeda-beda. Pekan lalu, massa progresif terdiri dari aliansi buruh, mahasiswa, petani, dan masyarakat adat jadi motor unjuk rasa di 18 kota. Polisi yang terlibat dugaan pemberangusan demonstrasi, menuding sebagian bentrok demo UU Cipta Kerja dipicu provokasi kelompok anarko.

Selain serikat buruh yang berniat kembali menggelar demonstrasi maraton di depan Istana Negara pekan ini, organisasi massa berbasis keagamaan juga berniat menggelar unjuk rasa menolak omnibus law di Jakarta pada 13 Oktober 2020. Salah satunya Persaudaraan Alumni Gerakan 212, biasa dijuluki PA 212. Ormas ini bergabung dalam barisan massa penolak omnibus law yang digalang Aliansi Nasional Anti Komunis (ANAK) NKRI, yang juga melibatkan Front Pembela Islam.

Kelompok yang terkenal karena sukses mendorong pemenjaraan mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama itu mengaku tidak setuju pada beberapa pasal dalam Omnibus Law yang dipromosikan DPR dan Pemerintahan Jokowi karena beleid tersebut dianggap menguntungkan pengusaha besar semata. PA 212 menuntut Presiden Jokowi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), menganulir UU Cipta Kerja yang disahkan buru-buru oleh parlemen.

“Kebijakan penyelengaraan negara telah mendegradasi prinsip kedaulatan rakyat dan paham negara kesejahteraan dengan mengutamakan kepentingan oligarki kapitalis,” kata Ketum PA 212 Slamet Maarif, sembari menargetkan massa aksi bisa tembus lebih dari seribu orang.