Hukum Indonesia

Perlukah Kita Dukung Gugatan Grup MNC Agar UU Penyiaran Atur Konten di Internet?

Salah satu konglomerasi media besar di Indonesia ini menilai konten siaran digital seperti YouTube dan Netflix bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila. Kata pengamat, masalah di UU-nya lebih pelik dari itu.
RCTI iNews TV gugat ke MK YouTube dan Netflix diatur UU Penyiaran
Ilustrasi menonton konten berbasis internet di TV. Foto via Pxhere

Melihat kenyataan kini banyak orang lebih doyan nonton Netflix, Viu, atau YouTube ketimbang televisi, dedengkot media berbasis frekuensi publik merespons baik. Dari situs Mahkamah Konstitusi tercatat masuk gugatan yang diajukan RCTI dan iNews, bagian dari konglomerasi media MNC Group milik Hary Tanoesoedibjo, terhadap Undang-Undang (UU) Penyiaran.

Gugatan di MK ini mendesak agar regulasi penyiaran turut mengatur media berbasis internet. Alasan penggugatan, grup MNC khawatir konten yang ditampilkan media internet bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila apabila tidak diatur seperti televisi.

Iklan

Gugatan didaftarkan Kamis (28/5) atas nama Dirut iNews TV David Fernando Audy dan Direktur RCTI Jarod Suwahjo, seperti dilansir Detik. Perwakilan dua media tersebut meminta MK melakukan judicial review atas UU Penyiaran Pasal 1 ayat 2. Soalnya, ayat tersebut menjelaskan cakupan regulasi UU hanya mengatur media yang menggunakan spektrum frekuensi gelombang (radio dan televisi). Idealnya, menurut mereka, ayat tersebut diperluas cakupannya dengan memasukkan media berbasis internet.

"Konsekuensinya [kalau media berbasis internet tidak diatur] bisa saja penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak berasaskan Pancasila, tidak menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, tidak menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa. Bahkan, yang tidak kalah berbahaya, bisa saja penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet memuat konten siaran yang justru memecah belah bangsa dan mengadu-domba anak bangsa," demikian bunyi alasan gugatan seperti dikutip dari berkas di MK.

Reaksi netizen sejauh ini tidak berpihak pada penggugat. Banyak yang heran mengapa stasiun televisi yang masih doyan nayangin sinetron enggak bermutu malah meminta media berbasis internet tunduk pada UU Penyiaran.

Direktur eksekutif lembaga pemantau media dan televisi Remotivi, Yovantra Arief, berpendapat UU Penyiaran sejak awal mengatur industri yang spesifik. Kurang kontekstual jika UU ini dipaksa untuk ikut mengatur produk internet.

Iklan

"Hampir seluruh pengaturan di UU itu sudah tidak mengikuti perkembangan industri penyiaran. Ketimbang ubah pasal satu-satu, mending sekalian kita rombak aja UU-nya kan? UU Penyiaran adalah produk historis dengan konteks teknologi dan industri yang spesifik. Internet punya konteks yang lain lagi. Mungkin di mata orang MNC sama ya, sama-sama audiovisual dan sama-sama bisnis konten," ujar Arief kepada VICE.

Arief juga melihat bisnis TV konvensional emang jadi terganggu sama bisnis konten online. Alasan ini, bagi Arief, masih lebih bisa diterima sebagai landasan melakukan gugatan dibandingkan pakai alasan nasionalis dan moralis. "Dalam jangka panjang, TV bisa mati kalau konteks regulasinya tidak berubah. Tapi, solusinya bukan dengan membuat UU hybrid dan tambal sulam. Dua teknologi ini berbeda, model bisnisnya beda, ekosistemnya beda. Kalau yang satu dipaksa ikut yang lain, ya sama-sama membuat playing field-nya tidak seimbang."

Ada beberapa hal yang bisa ditempuh untuk menghadapi isu ini, tambah Arief. Pertama, UU Penyiaran direvisi mengikuti perkembangan industri penyiaran. Kedua, menciptakan UU sendiri untuk industri konten online.

UU ITE sebenarnya UU yang paling dekat untuk mengatur bisnis ini, tapi kalau dilihat dari pasal-pasal yang sekarang ada, mesti dirombak total juga itu UU. "Kelemahan dari skenario ini adalah outputnya akan banyak sekali undang-undang, dan sinkronisasi dari masing-masing undang-undang akan cukup lama," kata Arief.

Iklan

Menanggapi dugaan kecemburuan soal konglomerasi media televisi kepada kemunculan internet sehingga muncul gugatan ini, Arief menilai itu karena bisnis televisi sekarang beririsan dengan konten video di dunia maya. "Sejak 2016, MNC Group [holding company iNews dan RCTI] meluncurkan MeTube.id. Itu platform video-sharing, head-to-head sama YouTube. Pada 2019, mereka juga bergabung sama iQiyi, anak perusahaannya Baidu, untuk bikin layanan video-on-demand di Indonesia, head-to-head sama Netflix. Go do the math."

Upaya pemain media lama untuk mengganggu tatanan dunia baru yang dibangun media berbasis internet bukan pertama terjadi. Masih segar di ingatan gimana tahun lalu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berniat mengawasi konten Netflix dan YouTube demi menjaga moral bangsa. "Kalau generasi digital, digital native yang lahir di era baru ini, mereka sudah lebih banyak mengonsumsi media baru daripada media konvensional. Ini yang perlu diawasi agar sesuai dengan filosofi atau kepribadian bangsa,” kata Ketua KPAI Agung Suprio kepada CNN Indonesia. Ide ini langsung membuat KPAI jadi bulan-bulanan netizen.

Waktu polemik itu lagi hangat-hangatnya, YouTube Indonesia pernah mengatakan bahwa YouTube punya “UU Penyiaran” versi sendiri bernama Pedoman Komunitas. "Kami memiliki Pedoman Komunitas atau Community Guideline. Kami akan menindaklanjuti setiap konten yang melanggar Pedoman Komunitas YouTube dan undang-undang atau peraturan setempat yang berlaku," demikian keterangan tertulis YouTube Indonesia yang dilansir BBC Indonesia.

Terlalu seringnya Lembaga negara berupaya mengintervensi bisnis streaming digital asing di Indonesia telah menjadi berita langganan yang kerap bikin kesal konsumen. Terakhir, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeluarkan peraturan bahwa impor produk dan jasa platform digital akan dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen mulai 1 Juli 2020.

Padahal konsumen merasa masih perlu berjuang untuk bisa mengakses Netflix, salah satu platform nonton film legal yang terus naik daun, karena blokade dari BUMN provider internet Telkom.

Khusus untuk Netflix, berkali-kali dizalimi membuat konsumennya udah kayak SJW. Jadi MNC Group yang gugatan MK-nya juga ngefek Netflix, siap-siap aja nih jadi musuh bersama.