Ekonomi

Panduan Memahami Syarat Karyawan Bergaji di Bawah Rp5 Juta Dapat BLT Rp600 Ribu/Bulan

Kebijakan ini diumumkan Erick Thohir, sehari setelah pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang triwulan II 2020 tercatat minus 5,32 persen. Ekonom berharap UMKM lebih diprioritaskan.
Syarat BLT Rp600 Ribu per Bulan untuk karyawan gaji kurang dari Rp5 Juta menurut Erick Thohir
Ilustrasi uang Rupiah sebagai BLT, oleh Ekoanug/Pixabay

Menteri BUMN Erick Thohir resmi mengonfirmasi pemerintah akan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp600 ribu per bulan dikali empat bulan untuk karyawan swasta bergaji di bawah Rp5 juta.

Sebelumnya, Rabu (5/8) Menkeu Sri Mulyani mengatakan pemerintah masih mengkaji kucuran dana segar untuk 13 juta pekerja ini. Kebijakan BLT dengan kuota anggaran Rp31,2 triliun ini dirilis sebab penyerapan program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) selama ini dirasa pemerintah kurang efisien.

Iklan

“Fokus bantuan pemerintah ini adalah 13,8 juta pekerja non-PNS dan BUMN yang aktif terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan dengan iuran di bawah Rp150 ribu per bulan atau setara dengan gaji di bawah Rp5 juta per bulan,” kata Erick dalam keterangan tertulis, dilansir Kompas.

Kalau disingkat, maka syarat mendapatkan santunan kira-kira begini: Pertama, Anda bukan PNS dan bukan pula karyawan BUMN. Kedua, bantuan difokuskan kepada mereka yang belum kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Ketiga, daftar penerima akan diambil pemerintah dari data BPJS Ketenagakerjaan yang menurut Erick “valid dan konkret”.

Karena data BPJS udah punya nama, alamat, sampai nomor rekening pekerja, maka para penerima bantuan enggak perlu melakukan tindakan administrasi apa pun untuk melakukan klaim. Setidaknya, itulah yang dikesankan pemerintah sampai hari ini.

Para karyawan bergaji di bawah Rp5 juta ini akan otomatis dikirimi BLT untuk empat bulan, yang per bulannya sebesar Rp600 ribu. Nah, uang total Rp2,4 juta ini akan ditransfer dua kali, janjinya sih dimulai September nanti. Pemerintah berharap, stimulus tunai ini bisa mendorong konsumsi masyarakat di tengah pertumbuhan ekonomi kuartal II tahun ini yang baru saja diumumkan berada di angka minus 5,32 persen, terburuk sejak 1999.

Lalu, bagaimana nasib pekerja yang udah kena PHK? Bukankah mereka juga butuh bantuan? Jangan khawatir, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menenangkan kita dengan bilang, korban PHK akan dibantu dengan program Kartu Prakerja.

Iklan

“Jumlah terdampak [PHK] dari data Kemenaker ada 2,1 juta orang, ini diselesaikan melalui Kartu Prakerja. Jadi, prioritasnya itu dulu baru program lanjutan,” sebut Airlangga dilansir CNN Indonesia.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira mengapresiasi inisiatif BLT ini. Ia menjelaskan, pendekatan bantuan melalui transfer tunai memang lebih efektif. Uang tunai bisa langsung dikonsumsi masyarakat miskin dan rentan miskin sesuai kebutuhannya masing-masing. Namun, ia punya catatan terkait kebijakan tersebut.

“Pertama, siapa yang menerima subsidi gaji ini? UMKM, sebagai salah satu sektor paling terpukul akibat pandemi, bisa jadi prioritas. [Subsidi gaji] diperlukan untuk menahan PHK lanjutan,” tutur Bhima kepada VICE. “Kedua, terkait besarannya. Kalau cuma Rp600 ribu masih sangat kecil. Dengan asumsi satu pekerja menanggung tiga orang dan garis kemiskinan Rp440 ribu, idealnya nominal bantuan ada di angka 1,2 juta ke atas.”

Saat ditanya nasib para korban PHK yang malah harus menerima takdir dikasih program penuh polemik bernama Kartu Prakerja sebagai solusi, Bhima memberikan saran tegas: korban PHK butuh bantuan tunai, bukan program pengasahan kemampuan.

“Saya usulkan anggaran Kartu Prakerja dialihkan karena enggak bermanfaat sama sekali. Anggarannya bisa dipakai untuk memberikan santunan kepada korban PHK. Kebijakan subsidi gaji tetap perlu, tapi bagi yang sudah telanjur di-PHK, maka lebih baik anggaran program Kartu Prakerja diubah jadi sistem transfer tunai. sehingga sembari menunggu pesangon, korban PHK bisa tetap memenuhi kebutuhan hidupnya. Ini dua hal yang harus dilakukan secara paralel,” tambah Bhima.

Bhima berpendapat, sebelum bikin program baru, sebaiknya kasus penyerapan anggaran yang lambat dari para kementerian/lembaga terkait harus diperiksa dulu. Apabila dirasa emang tidak sanggup mengeksekusi, program atau lembaga tersebut bisa dibubarkan dan anggarannya bisa dialokasikan untuk bantuan tunai seperti ini.

“Saya melihat bahwa Bu Sri Mulyani sepertinya tidak mampu melakukan koordinasi atau mengendalikan menteri-menteri teknis terkait dengan alokasi anggaran sehingga mencoba untuk membuat program baru. Nah, ini jadi salah satu masalah lagi,” tutup Bhima.