Kanjeng Notonegoro pangeran keraton yogyakarta dulu bekerja di PBB
Kanjeng Noto berfoto di depan ruang kerjanya, di Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Semua foto oleh Umar Wicaksono.
Profesi Unik

Mengintip Hidup Pangeran di Balik Tembok Keraton, Lewat Sosok KPH Notonegoro

Ketika rakyat jelata menjadikan titel "Anak Sultan" sebagai guyonan, kami ngobrol sama pangeran betulan untuk tahu kehidupannya di istana. Hidup mereka justru tak berisi pesta-pesta.

“Mana ada pesta-pesta, berkuda, minum teh, enggak ada itu. Saya ini kerja, kerja, kerja,” ujar Kanjeng Noto, sapaan akrab Kanjeng Pangeran Haryo Notonegoro, disambung tawa lepas. Ia adalah suami GKR Hayu, anak ke-4 Sri Sultan Hamengkubuwono X, menantu raja Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang bergelar seorang pangeran.

Wong kadang Sabtu-Minggu aja saya itu jarang libur lho. Dulu kerja di luar saya masih bisa cuti, jadi pangeran itu tidak ada cutinya,” lanjutnya.

Iklan

VICE menemui Kanjeng Noto di kantornya di Kawedanan Kridho Mardowo. Dengan blankon dan beskap lurik biru tua, hari itu ia tak berbeda dari abdi dalem Keraton lain. Sebilah keris terselip di bagian belakang jariknya. Penampilan ini kontras dengan gayanya belasan tahun lalu, saat masih kuliah di New York dan bekerja sebagai Management Specialist di UNDP, lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kini karier internasionalnya ia tinggalkan menjadi pangeran Keraton Yogyakarta.

Bukan berarti ia berhenti bekerja. Gelar pangeran justru membawanya ke banyak posisi di Yogyakarta. Di keraton, ia diamanahi posisi Penghageng alias kepala Kawedanan Kridho Mardowo, departemen yang mengurusi seni tradisi keraton. Di luar itu, ia juga menjabat sebagai anggota dewan kebudayaan Yogya, ketua DPD LPM 1 Yogyakarta, dan juga Pembina Tagana (Taruna Siaga Bencana). Ragam pekerjaan ini membuatnya jauh dari gambaran umum tentang pangeran yang hidup berleha-leha. “Pangeran itu ada yang punya jabatan fungsional, ada yang diberi gelar saja,” tandasnya.

Saat kami masuk ruang kerjanya, Notonegoro sedang memutar lagu “Tiga Malam”, yang baru saja dirilis Keraton Yogyakarta pada 28 Januari 2021. Program merilis lagu adalah salah satu ide baru yang ia bawa. Jarinya menjentik mengikuti alunan lagu dari speaker di pojok ruangan. Meski sebuah mesin espresso terpajang di pojok lainnya, ia mengaku lebih suka menyeruput teh.

Iklan
KPH Notonegoro bersila menghada meja kerjanya.jpg

KPH Notonegoro bersila menghadap meja kerjanya.

Sebelum menikahi putrinya, sultan memberinya gelar pangeran. Nama kecilnya, Angger Pribadi Wibowo, diganti KPH Notonegoro. “Awalnya saya sempat tidak mau nama ini, karena bayangannya Notonegoro itu pasti orangnya gendut,” ia tertawa, “tapi ternyata tidak bisa dialihkan, Ngarso Dalem membacakan nama itu saat saya di wisuda jadi pangeran”.

Tak seperti keluarga keraton lain yang lebih tertutup, Kanjeng Noto terbilang populer di kalangan anak muda. Di akun instagramnya, ia kerap mengunggah video-video komikal, yang kontras dengan stereotipe unggah-ungguh keraton adiluhung. Cuitannya pun sempat viral karena menanggapi tweet Anya Geraldine. “Dikomentarin saya pake lu-gue, lha itu kan bahasa pertama saya, wong saya lahir di Jakarta,” belanya.

Sambil merokok dan minum teh yang tekonya dipanasi nyala lilin di meja kerjanya, Kanjeng Noto bercerita banyak soal rutinitas, tanggung jawab, dan hidupnya di balik tembok Keraton Yogyakarta. Termasuk proyeksi dirinya di karakter novel favoritnya, A Song of Ice and Fire (yang diadaptasi jadi series Game of Thrones). “Waw, pertanyaanmu lho,” jawabnya spontan lalu tertawa. Dua detik kemudian, setelah sejenak hening, ia menjawab, “Saya paling suka Jon Snow sih,”

Iklan

VICE: Anda tidak berasal dari lingkungan keraton. Setelah menikah dan masuk keraton, ada culture shock tidak?
KPH Notonegoro:
Setelah menikah 2013, kan Jeng Ratu [istri] saya boyong ke New York karena beliau juga sedang S2. Lalu sempat tinggal di Samoa, belum terlalu terasa waktu itu. Setelah itu saya dipanggil Ngarso Dalem [julukan resmi Sultan HB X] untuk pulang.

Jadi baru Januari 2019 ketika saya mulai fulltime di keraton itu culture shock. Pertama dari sisi bahasa, saya belajar Bahasa Jawa secukupnya saja, tapi begitu jadi Penghageng, abdi dalem ekspektasinya saya berbahasa jawa yang bagus, lha pangeran kok.

Belum lagi tanggung jawabnya. Saya itu biasa mengurus krisis, balik kesini jadi ngurusi sinden, wayang, dan berbagai dinamikanya. Saya harus belajar banyak. Lalu karena tradisinya centralized, kalau butuh keputusan, harus yang pucuk. Kalau Ngarso Dalem tidak ada, larinya ke saya. Jogetnya gimana, busananya gimana, estetika gendingnya gimana, aduh berat [tertawa]. Aku ngerti apa, tapi buat mereka, yang mutusi harus pangeran. Tapi kalau sekarang sudah berani.

Kira-kira apa alasan Anda dipilih mengurusi Kridho Mardowo?
Saya kurang tahu, tapi Ngarso Dalem mulai berpikir kesenian yang ada di keraton juga harus dikembangkan sesuai kondisi masyarakat sekarang. Ada kebutuhan supaya keraton tetap relevan. Ndilalah dari anak mantu, yang masih seneng gamelan cuma saya. Makanya saya olah promosi, bikin flashmob, rilis lagu, dan hasilnya luar biasa. Dulu itu pas “Subali Leno”, udah dirubung kayak boyband korea, itu luar biasa.

Iklan

Saya kira ada relevansi misalnya, menjadikan kesenian tradisi sebagai resolusi konflik?
Sebenarnya begitu juga. Setelah berkembang kita lihat peluang, kesenian ini bisa jadi sarana mengembalikan nilai luhur, kayak gotong royong, tepo seliro. Dari sisi desain, kesenian kita tidak individualis. Di orkestra barat, tiap instrumen bisa main sendiri, tapi kalau Gong misalnya, main sendiri meh ngopo? [tertawa], jadi mewajibkan orang menyamakan rasa. Nah nanti kalau anak muda mau menekuni itu lagi, harapannya cara pikir mereka juga akan berubah. Seni pertunjukan itu kalau di kita bukan sekedar tontonan, tapi tuntunan.

Apa perubahan mendasar yang Kanjeng bawa untuk Kridho Mardowo?
Pertama saya buat beberapa divisi baru yang dulu tidak ada. Misalnya divisi produksi, jadi kalau pentas ada yang ngurusi. Sekarang manajerial saya benahi, abdi dalemnya yang memang mendalami tata kelola seni. Terus divisi promosi, menyiapkan poster, konten, sosial media, dan lainnya. Ketiga ada riset, karena untuk promo butuh bahan dan butuh narasi.

Dari manajerial, saya menegaskan kualitas tidak boleh dikorbankan. Kami kan setahun ada beberapa pentas, kalau wiyaga yang bagus itu-itu saja ya sudah. Hitungannya bukan pemerataan, tapi kualitas. Kompetensi, bukan dibagi rata. Kan kita ini bukan paguyuban di desa, kalau di desa kan yang penting guyub, enggak pinter nggak apa-apa. Di sini tidak. Dari dulu sih harusnya kami ini profesional.

Iklan

Selama ini ada anggapan keraton terlalu eksklusif, saya mau hapus itu. Jadi misalnya mau milih penari bedoyo sapto, ayo audisi terbuka. Ini 2021, enggak bisa kalau modelnya eksklusif, anak-anak muda enggak mau.

Kanjeng Noto menunjukan rilisan terbaru grup musik binaannya yang berjudul 'tiga malam'. .jpg

Kanjeng Noto menyaksikan rilisan terbaru grup musik binaan keraton berjudul 'Tiga Malam'

Hubungan menantu-mertua selalu menarik. Bagaimana rasanya punya mertua seorang raja?
Kita harus bisa membedakan ya, beliau itu orangtua buat saya, tapi juga guru, dan juga raja. Nah itu kan ada waktu-waktunya. Kapan beliau sebagai raja, sebagai orang tua. Tapi kadang-kadang sudah jelas, kalau acara resmi, beliau miyos sebagai raja, saya mendampingi sebagai ajudan. Tapi kalau di rumah, ya enggak masalah bersenda gurau. Beliau kan orangnya humoris, banyak ndagel, ya walaupun beda generasi, kadang dagelan bapak-bapak gitulah.

Bagaimana memaknai pergantian nama dari Angger Pribadi Wibowo jadi KPH Notonegoro, apakah lalu meninggalkan segala kehidupan lalu?
Kalau orang Jawa, seharusnya itu bukan hal aneh. Tradisi kita zaman dulu ganti nama itu biasa. Eyang-eyang dulu kalau nikah ganti nama, bukan masalah. Nama itu berkaitan dengan kedewasaan, atau menduduki jabatan tertentu. Yang repot kita mengadopsi sistem administrasi barat, saya butuh satu tahun untuk ganti semuanya, KTP, paspor, rekening bank, sampai email, ganti semua.

Bagaimana dengan kehidupan sosial?
Dengan teman-teman lama di Yogyakarta masih kontakan, dan sekarang ngaturi [manggil] saya ya kanjeng, awalnya canggung tapi lama-lama terbiasa.

Iklan

Jarang ada keluarga keraton yang aktif main sosial media, sementara Kanjeng Noto bisa dibilang sekarang ini jadi selebgram. Kenapa?
Tidak ada niat seperti itu. Awalnya dulu kan itu buat promosi poster-poster kegiatan keraton, dari situ terus menempel predikat saya dan kesenian tradisi keraton. Sebenarnya agak males ya ngetop di sosmed, karena mengundang komentar macam-macam. Tapi di sisi lain, kalau banyak followers kan ketika saya pakai promosi kegiatan keraton akan sangat menguntungkan. Jadi ya sudah dilakukan saja, tap tidak lalu diatur gitu, tidak pernah ada misalnya diskusi konten.

Kapan hari lalu, Kanjeng Noto viral karena menanggapi tweet Anya Geraldine. Apa tanggapan Anda?
Itu kan joke, ada yang nganggep lucu atau garing, enggak masalah. Yang penting yang saya sampaikan bukan kebohongan. Lho memang istana, tapi kan bukan berari istana megah-megah, keraton ini lho umur gedungnya sudah beratus tahun. Dinding rumah saya wis kudu ambrol, tapi kan ya tetap istana. Kalau dibilang bangga, saya bangga karena tidak semua orang bisa. Tapi bukan berarti saya sombong.

Di keraton itu banyak orang, privasi sangat terbatas. Yang sana melihatnya sebagai priviledge, saya melihatnya sebagai nasib. Saya tidak nelongso, cuma kalau ada pilihan ya pasti milih tinggal sendiri. Siapa sih yang milih tinggal sama mertua? Kalau ada pilihan, tinggal di rumah kecil kalau milik sendiri akan lebih nyaman. Tapi pilihan itu tidak ada pada saya.

Iklan
Kanjeng Noto berpose di selasar di dalam Keraton Yogyakarta. .jpg

Kanjeng Noto berpose di selasar dalam Keraton Yogyakarta

Anda punya latar belakang karier internasional yang akrab dengan sistem demokrasi, lalu kembali ke Yogya dan hidup di lingkungan yang monarkis. Apakah tidak bertentangan?
Ini memang bertentangan dengan idealisme saya. Kala di UN kita promosi hak asasi manusia, demokratisasi, sementara di sini kan tradisinya tidak begitu. Pelan-pelan saya harus menyesuaikan. Tapi sistem ini harus menyesuaikan dengan saya juga. Contohnya di Kridomardowo saya coba pengaruhi lewat audisi untuk pemilihan penari. Karena menurut saya anak-anak muda makin ora iso dijak ngono kui [absolutisme monarki], kalau zaman dulu bisa.

Kalau di konteks kehidupan yang lebih luas?
Untungnya Ngarso Dalem orangnya bisa diajak diskusi, jadi kalau saya matur beliau dengar lalu beri pendapat. Yang susah itu, kebiasaan di sini [Kridomardowo] saat saya buka ruang diskusi, susah sekali karena biasanya apa-apa “nderek dawuh”.

Seperti apa posisi Kanjeng Noto dalam pengambilan keputusan di Keraton secara umum?
Itu tergantung keputusannya ya, kalau yang strategis itu memang hak prerogratif Ngarso Dalem sendiri. Saya tidak ikut campur. Kecuali urusan operasional kegiatan keraton, putro-putro ikut diskusi.

Di sosmed kan banyak sekali kritik ke kebijakan Keraton, Kanjeng Noto sering membaca atau tidak?
Saya tidak terlalu memonitor, karena saya tidak punya kewenangan menanggapi. Dan namanya netizen ya cari masalah. Cuma kalau yang berkaitan dengan saya, misalnya saya bikin flashmob atau film “Marak”, meski yang like satu juta, tetap aja ada yang tidak suka, ya nggak apa-apa. Dan saya enggak merasa perlu menjelaskan.

Kehidupan orang Jawa, terutama di keraton akrab tradisi berbau klenik. Dengan background anda yang modern, bagaimana pengalaman Anda?
[tertawa] Yang jelas menurut saya ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita punya sekarang belum bisa menjelaskan hal-hal itu, mungkin 100-200 tahun lagi bisa. Hal-hal klenik itu bukti empirisnya memang ada ya, tapi memang kalau dilogikakan tidak bisa. Dulu misalnya penyihir pakai bola kristal dibilang klenik, lalu nyatanya kita nemu televisi. Susuk di Jawa juga, konsepnya kan memasukkan barang ke tubuh, lha botox kan seperti itu, atau skincare korea yang pakai bubuk mutiara biar glowing itu, itu kan translasi teknologi zaman dulu.

Bagaimana Kanjeng melihat posisi pangeran ini, sebagai kuasa kultural atau politis?
Kalau politis tidak ya. Saya tidak punya kekuatan itu dan sudah di kraton sebagai Penghageng. Saya tidak punya ambisi untuk bertarung dalam pilkada misalnya, tidak ada.  Yang melekat pada saya betul-betul otoritas budaya di masyarakat yang masih ngugemi keraton. Paling sebagai pangeran, dianggap nyepuhi beberapa hal. Itu saja, tidak politis.


Titah AW adalah jurnalis lepas yang bermukim di Yogyakarta. Follow dia di Instagram