LGBTQ

Pemikir Abad Pertengahan, termasuk Bangsa Muslim, Kerap Membahas Lesbianisme

llmuwan seperti al Kindi dan petinggi gereja kuno penasaran kenapa perempuan memiliki hasrat terhadap sesamanya. Buat mereka, hubungan ini bahkan lebih bermasalah dari cinta sejenis lelaki.
lukisan perempuan lesbi karya Jacob van Loo
Lukisan Jacob van Loo, ‘Amaryllis Crowning Mirtillo’ (1660) menggambarkan lesbianisme di Abad ke-15

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Australia

Dokter Yunani kuno Galenus berpendapat perempuan menjadi lesbi karena “labianya terus terasa gatal”. Rasa gatalnya baru bisa dihentikan jika mereka menggesekkannya ke labia perempuan lain.

Sangat sulit menemukan bukti sejarah perempuan yang hidup sebagai lesbian. Sekalinya ada yang membahas, pasti tujuannya untuk mengutuk mereka. Atau justru menyebutnya fenomena fisik aneh—seperti rasa gatal yang dijelaskan di atas.

Iklan

Untuk sebagian besar sejarah yang tercatat, ketertarikan perempuan sesama jenis berarti ada yang cacat dari dirinya. Suatu penyimpangan. Di era Kristen, perempuan menjadi lesbi karena imannya lemah. Mereka dianggap melakukan perbuatan dosa.

Pemikir abad pertengahan khususnya mempermasalahkan lesbianisme. Selain didorong oleh nafsu, seks sesama jenis tidak bisa membuahkan anak. Ini merupakan penghinaan serius bagi gereja. Kemarahan tersebut dapat dirasakan dalam puisi Prancis abad keenam:

“You, strange mixture of the female gender, Whom driving lust makes a male, Who love to fuck with your crazed cunt. Why has pointless desire seized you… You service a cunt.”

Gereja pada abad pertengahan menyatakan penyimpangan seksual tidak bisa dibiarkan dan harus ditangani dengan cepat. Pada abad ketujuh, Penitential of Theodore (buku pegangan pelanggaran) mengharuskan perempuan yang “berzina dengan sesama jenis” melakukan penebusan dosa selama tiga tahun. Hukumannya akan lebih panjang jika mereka melakukan seks oral. Sebagaimana dikatakan dalam penitensi Irlandia:

Bagi siapa saja yang melakukan cunnilingus atau percabulan oral, wajib menebus dosa selama empat tahun jika pertama kali melakukannya. Tujuh tahun jika sudah terbiasa.

Terlepas dari kepercayaan religius bahwa seks hanya untuk membuat anak, teori kedokteran abad pertengahan mengklaim perempuan bisa mati jika mereka kurang berhubungan intim. Alasannya karena “rahim mereka lemas”. Cara terbaik menghindarinya yaitu bersetubuh dengan suami. Dokter merekomendasikan berbagai penyembuhan, salah satunya masturbasi.

Iklan

Solusi ini sangat bermanfaat bagi para biarawati, yang tidak bisa menikah tapi tidak mau mati. John of Gaddesden, dokter Inggris abad ke-14, menyarankan agar bidan membantu perempuan yang rahimnya sudah lemas dengan “memasukkan jari yang sudah dilumuri minyak bunga bakung, laurel atau spikenard ke dalam rahim dan menggeseknya dengan penuh semangat.”

Gereja menentang solusi ini. Masturbasi adalah perbuatan dosa, terutama jika perempuan menggunakan “alat” (baca: dildo). Pada abad ketujuh, Penitential of Bede (Bede adalah biarawan Inggris) mewajibkan biarawati bertobat selama tujuh tahun jika mereka berhubungan seks dengan sesama “menggunakan alat”. Lalu pada abad kesembilan, Uskup Agung Hincmar dari Rhcims menulis bahwa lesbian: “… menggunakan anggota tubuh untuk sesuatu yang tidak wajar. Mereka dilaporkan menggunakan alat tertentu untuk membangkitkan hasrat.

Bukan cuma biarawati yang menggunakan dildo. Katherina Hetzeldorfer menjadi perempuan pertama yang dieksekusi (ditenggelamkan) karena homoseks. Dia diadili di Jerman pada 1477. Katherina dituduh menyamar sebagai laki-laki, dan bersetubuh dengan perempuan menggunakan penis palsu. Selama persidangan, dijelaskan bahwa: “ Dia membuat alat dari sepotong kulit merah. Bagian depannya diisi kapas, dan tongkat kayu ditempel di dalamnya. Tali dimasukkan, lalu diikat melingkar.”

Pandangan Gereja Barat tentang perempuan dan kehidupan seks mereka dipengaruhi oleh budaya misogini yang telah merasuki pikiran. Pada abad ke-11, penyair dan kepala sekolah Marbod of Rennes menulis: “Perempuan adalah sumber kesengsaraan yang rusak dan jahat. Mereka melahirkan segala macam kebiadaban di dunia.

Iklan

Meskipun demikian, tidak semua masyarakat abad pertengahan membenci ketertarikan sesama jenis pada perempuan. Pemikir Arab pada abad pertengahan tampak lebih menerima gagasan ini (berbanding terbalik dengan sekarang). Filsuf Muslim terkenal pada abad kesembilan, al-Kindi, menganggap lesbianisme disebabkan oleh uap yang membuat labia kepanasan dan gatal ketika mengental. Orgasme dengan perempuan lain dapat menghentikannya.

Dokter lain berteori apa yang dikonsumsi ibu selama hamil dapat menjadikan anak dalam kandungannya “lesbian seumur hidup”. Seledri, arugula, daun melilot, dan bunga dari pohon bitter orange berpotensi membuat anak perempuan menyukai sesama jenis.

Sebenarnya, ada tradisi erotis lesbian di abad pertengahan Arab. Pada abad ke-10, ensiklopedia The Catalogue menyebutkan 12 pasangan lesbi terkenal. Kumpulan cerita, anekdot, dan puisi abad ke-13 berjudul Promenade of the Hearts in What Does Not Exist in Any Book menyinggung “komunitas lesbian” dan “Rose”—yang kemungkinan memimpinnya.

A Promenade of the Hearts juga menyebut seks lesbian sebagai “pijat kunyit”, dan menjelaskan tentang guru lesbi terkenal yang mengajarkan perempuan suara terbaik ketika bersetubuh dengan perempuan lain. (“ Kalian harus mendengus sungguh-sungguh sambil goyang penuh semangat.”) Teksnya melanjutkan, “wheezing, terengah-engah, mendengkur, menggumam, dan mendesah.

Dengan begitu, seksualitas di abad pertengahan berkutat pada falosentris, heteroseksual, dan bertujuan untuk bikin anak. Pandangan itu sama di mana saja kamu berada.

Tidak bisa dibayangkan betapa kesepiannya menjadi perempuan lesbi pada era itu. Istilah “lesbian” saja baru masuk bahasa umum pada abad ke-19. Sudah ada perempuan yang berani (atau mungkin putus asa) untuk merangkul seksualitas terlepas dari sesuatu yang patut dirayakan. Sayangnya bagi sebagian besar lesbian, hasrat dan gairah mereka pada akhirnya “sia-sia”.