Menyepelekan Penonton

Absurdnya Abadi, Begini Komentar Masyarakat Soal Rezim Sensor Film dan TV Indonesia

Benarkah menyensor puting susu sapi, tokoh kartun, hingga memangkas plot cerita film di bioskop akan melindungi moral penonton di Tanah Air?
Absurdnya Abadi, Begini Komentar Masyarakat Soal Rezim Sensor Film dan TV Indonesia
Kolase oleh VICE. Cuplikan adegan "Spongebob Squarepants" [kiri] NICK.COM; ilustrasi patung pusing di Paris via Wikimedia Commons/lisensi CC 3.0

Masihkah kalian mengingat sebuah polemik yang muncul menjelang program promosi 12.12 dari Shopee di akhir 2018. Clue-nya: Blackpink, rok mini, aurat. Sudah bisa menebak?

Iklan 12.12 Shopee Birthday Sale mendapat teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) karena pakaian para personel Blackpink di iklan itu yang dianggap “tidak pantas” disaksikan anak-anak. Saat diwawancara Deutsche Welle, Ketua KPI Yuliandre Darwis menyangkal tuduhan bila keputusan KPI didasari oleh tekanan petisi online dari sekelompok masyarakat yang menilai iklan Shopee dapat merusak moral kaum muda karena penuh tontonan aurat.

Iklan

Tapi kiprah KPI tentu saja tidak berhenti di sana. Yang terbaru, KPI melayangkan surat teguran tertulis untuk empat belas program di berbagai lembaga penyiaran. Termasuk dalam konten siaran yang kena semprit KPI adalah program acara Big Movie Family: The SpongeBob Squarepants Movie di Global TV serta trailer promosi Gundala, film karya Joko Anwar. Sepanjang 2019, KPI juga sempat memicu perdebatan publik lewat wacana pengawasan konten di sejumlah platform digital seperti Netflix, Youtube, dan Facebook, meski kemudian mengurungkannya.

Di sisi lain, industri perfilman kita juga tak luput dari pengawasan yang dijalankan oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Setiap produsen yang ingin filmnya tayang di pemutaran arus utama, mesti bersedia menyerahkan filmnya untuk “diteliti” terlebih dahulu oleh LSF.

Meski LSF tak lagi punya kuasa buat menggunting adegan seperti dulu, demi mengantongi izin dari LSF, banyak produsen film yang pada praktiknya, dengan ikhlas maupun enggak, memotong sendiri bagian film mereka yang berpotensi melanggar kriteria LSF. Contoh terbarunya adalah pemangkasan Midsommar dan Hellboy di pertengahan tahun ini, yang menyebabkan banyak penonton ngomel karena jadi bingung sama alur ceritanya.

Sebenarnya persoalan tentang sensor di Indonesia sendiri adalah problem lama yang sudah ada sejak zaman buyut kita hidup di masa kolonial dulu. Rupanya, seabad lebih kemudian, ketika negara kita sudah menjalankan demokrasi, sistem sensor terhadap media masih dipertahankan. Eksistensi sistem sensor didukung dengan dalih untuk mewujudkan komitmen negara dalam melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film—atau dalam konteks penyiaran, untuk menjaga moral bangsa dari pengaruh buruk media.

Iklan

"Melindungi" seakan jadi kata kunci yang selalu ditekankan. Tetapi, benarkah bahwa publik, sebagai subyek yang berusaha dilindungi oleh kebaikan dan kebijaksanaan lembaga pemerintah, memandang keberadaan rezim sensor diperlukan?

VICE meminta berbagai pendapat dari sejumlah orang untuk mendengar apa kata mereka tentang sensor dan ragam kasus penerapannya pada konten media selama beberapa tahun terakhir.

Atantya Wimbari, 20 tahun, Mahasiswi

VICE: Halo. Apa kasus sensor di media penyiaran atau film yang pernah kamu tahu? Apa pendapatmu tentang kiprah KPI,LSF, dan swasensor stasiun TV?
Atanta: Kalau di televisi, aku tahu kasus tentang Sandy yang lagi pakai bikini di serial kartun SpongeBob itu di-blur. Terus, pernah ada tayangan memerah susu sapi yang juga di-blur. Ketika sampai puting sapi atau pakaian atlet renang di-blur oleh stasiun televisi, aku merasa sistem sensor yang dijalankan sudah sedikit berlebihan jatuhnya.

Menurutmu, ketika perempuan yang ditampilkan media menggunakan pakaian yang terbuka namun sesuai dengan konteks hiburan dari program terkait, apakah tetap termasuk bentuk obyektifikasi?
Justru kebalikannya, sih. Sistem sensor itu sendiri yang pada akhirnya secara nggak langsung menyiratkan bentuk objektifikasi terhadap wanita. Jadi, sensor yang dilakukan seakan malah semakin menguatkan pesan kalau tubuh wanita itu memang dianggap objek seksual semata.

Kamu mungkin sudah dengar tentang kasus Midsommar dan Hellboy yang banyak dipotong LSF. Kalau ada suatu elemen tabu, tapi itu jadi bagian penting dari cerita, apakah menurutmu sensor tetap diperlukan?
Enggak diperlukan. Soalnya, aku yakin pasti si pembuat film juga sudah memikirkan banyak pertimbangan sebelum membuat karyanya. Kalau sudah banyak yang dipotong, ya jadi enggak utuh lagi filmnya. Lagipula, ada sistem klasifikasi usia yang sebenarnya akan lebih pas untuk diterapkan, kalau misalnya memang dianggap ada bagian film yang dianggap terlalu tabu untuk dilihat kelompok audiens tertentu.

Iklan

Menurutmu apa sih bahayanya jika sensor tetap dilakukan terhadap konten media?
Biasanya, sensor itu kan setahuku dilakukan dengan cara memotong konten atau mengaburkan bagian tertentu dari konten. Bahayanya adalah karena di zaman sekarang, dengan terbukanya akses teknologi buat semua orang, keberadaan sensor ini enggak menjamin perlindungan buat anak-anak dan remaja seperti tujuan yang diharapkan. Yang ada, sensor malah berpotensi bikin mereka semakin penasaran dan akhirnya mencaritahu sendiri lewat internet di luar pengawasan orang tua.

Ahmad Sulhan, 41 Tahun, Pengemudi Ojek Online

VICE: Halo pak. Apa kasus sensor di media penyiaran atau film yang pernah Anda tahu? Bagaimana pendapat Anda tentang itu?
Ahmad: Kalau saya lihat program berita, terkadang ada liputan yang menunjukkan sebuah bagian yang di- blur. Misalnya, kalau berita itu menampilkan aksi pemukulan, kekerasan, semacam itu. Menurut saya, sensor semacam itu bagus juga, sih.

Dalam sudut pandang Anda sebagai lelaki, ketika melihat pengisi acara wanita di televisi yang mengenakan pakaian sedikit terbuka tanpa disertai sensor, sejujurnya apa yang ada dalam pikiran Anda?
Normalnya, sebagai laki-laki ya, pasti timbul hasrat tertentu kalau melihat seperti itu. Itu hal yang normal sebagai manusia. Kalau bagi saya sih, enggak masalah pakaian juga sebenarnya. Emang pada dasarnya mikirnya aja yang seperti itu. Tapi, saat pengisi acara pakai pakaian yang terbuka, itu membuat kita jadi semakin terpengaruh.

Iklan

Apakah Anda memahami kalau pemilihan busana itu bagian dari perencanaan sebuah program acara?
Saya enggak paham sampai yang sebegitu-nya. Yang jelas, saya setuju jika sensor dilakukan pada pakaian pengisi acara yang sedikit terbuka. Lebih baik lagi kalau dari awal, artisnya enggak perlu pakai pakaian yang seperti itu. Mungkin dari KPI bisa mengarahkan stasiun televisi agar memilih pakaian untuk pengisi program acara yang lebih sesuai budaya kita. Walaupun itu dalam acara hiburan, tapi tayangan itu kan ditujukan bagi masyarakat Indonesia juga pada akhirnya, jadi harus sesuai dengan budaya di sini.

Pernah beberapa stasiun televisi melakukan sensor pada sebuah liputan yang memperlihatkan proses memerah susu sapi. Bagaimana pendapat Anda tentang hal ini?
Kalau yang seperti itu enggak perlu, sih. Itu mesti dilihat dulu ya, program acara-nya apa. Kalau misalnya proses memerah susu sapi itu kan biasanya untuk acara anak-anak. Tujuannya pasti bersifat mendidik. Jadi, perlu dilihat juga penempatan sensornya di mana.

Rama Deva, 18 tahun, Pelajar

VICE: (Kami menunjukkan klip dari episode “Dying for Pie” dari serial SpongeBob yang terkena terguran KPI) Kalau kamu menonton adegan ini, apa kesan yang ada di pikiranmu?
Yang terlintas di pikiranku lebih ke lucu, sih.

Apakah kamu memandang ada unsur kekerasan atau tindakan berbahaya yang berpotensi untuk ditiru oleh anak-anak atau remaja yang menontonnya?
Menurutku, adegan tadi itu biasa saja, sebenarnya. Kalau diperhatikan jalan ceritanya, dalam cuplikan itu, SpongeBob enggak benar-benar bermaksud jahat sama Squidward. Kue itu kan terlempar ke muka Squidward secara tidak sengaja karena SpongeBob tersandung batu.

Iklan

Apa pendapatmu soal swasensor TV yang dilakukan pada beberapa tokoh kartun, seperti pada Shizuka, Sandy, atau sensor adegan ciuman di antara dua tokoh kartun dalam serial Shaun the Sheep?
Berlebihan kalau itu, ya. Soalnya, kan kita juga bisa tahu kalau mereka semua cuma tokoh kartun yang penggambarannya enggak terlalu realistis.

Saat kamu melihat adegan kekerasan yang ditampilkan di media, misalnya tawuran atau semacamnya, itu membuat kamu tergerak enggak sih untuk ikut-ikutan atau mungkin mencobanya di kehidupan nyata?
Enggak. Kalaupun beneran aku sampai terlibat tawuran, yang pasti alasannya bukan karena nonton dari televisi atau film.

Yustinus Kresna, 21 Tahun, Mahasiswa

VICE: Halo Yustinus. Apa yang kamu pikirkan ketika mendengar kata sensor?
Maksud dari sensor itu sebenarnya baik, ya. Tapi di Indonesia, regulasi yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan sensor itu masih butuh banyak perbaikan. Kalau di dunia penyiaran, yang digunakan itu P3SPS kan (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, Red.). Nah, menurutku di dalamnya itu masih menyisakan banyak ruang interpretasi buat para pekerja di industri penyiaran. Bisa dibilang P3SPS itu menggambarkan pasal karet yang enggak dengan detail menjelaskan kriteria sensor. Akhirnya, dalam praktiknya, pemahaman dari stasiun televisi sama KPI tentang suatu hal itu bisa jadi beda begitu. Hal ini yang menurutku perlu dicari solusinya.

Iklan

Apa kasus sensor di media penyiaran atau film yang pernah kamu tahu? Bagaimana pendapatmu tentang itu?
Kasus sensor yang aku paling kecewa banget itu, dan terjadi baru-baru ini, adalah sensor di film Midsommar. Aku penggemar film karya Ari Aster, dan aku juga sudah nonton film-nya yang Hereditary. Aku juga suka sama film-film A24 (Studio yang memproduksi film Midsommar, Red.). Aku datang ke bioskop untuk nonton Midsommar dengan ekspektasi yang tinggi. Tapi, waktu nonton, ternyata banyak adegan penting yang dipotong. Sensor di Midsommar semacam menghilangkan esensi dari film itu. Kecewa parah.

Salah satu bagian dalam Standar Program Siaran (SPS) membatasi penampilan bagian tubuh tertentu, seperti payudara dan paha. Dalam sudut pandang kamu sebagai pria, apakah selama ini visual dari media memang dapat mudah mempengaruhi kamu?
Haha.. menurutku sih, buat sebuah visual sampai bisa menarik hasrat seksual itu enggak segampang itu, ya. Lucu aja kalau stasiun televisi sampai merasa perlu untuk ­ nge-blur gambar Shizuka yang pakai baju renang atau Sandy di SpongeBob yang pakai bikini. Kalau dari sudut pandang pribadi, bahkan waktu beneran nonton konten pornografi, butuh beberapa menit sampai bisa merasa benar-benar terpengaruh gitu. Jadi, kalau ditanya apakah aku akan terpengaruh kalau lihat Shizuka pakai baju renang, mungkin bakal butuh waktu satu tahun.

Kalau blur pada sosok wanita asli, mungkin aku juga bisa salah fokus, kadang. Tapi, aku paham kalau itu bagian penunjang dari acara. Jadi, biasanya perhatianku akan teralihkan oleh hal yang memang jadi fokus dari acara itu.

Bagaimana dengan elemen kekerasan dalam konten media yang juga diatur oleh sensor. Apakah menurutmu tanpa sensor, hal semacam itu dapat mempengaruhimu untuk melakukan hal yang sama?
Aku pribadi sih sadar kalau itu memang bagian dari konten acara atau cerita, jadi enggak serta merta tergerak untuk melakukannya. Tapi menurutku, di posisi audiens awam, ada potensi orang bisa meniru hal yang dia lihat di media. Mungkin kata-kataku ini terdengar kontradiktif sama banyak pernyataanku sebelumnya. Intinya menurutku, masyarakat Indonesia masih belum siap kalau sensor dihapuskan sepenuhnya untuk saat ini. Tapi di masa depan, hal itu sebenarnya bisa diwujudkan, sih. Dengan catatan, harus ada perbaikan juga pada literasi media masyarakat kita.

Nah, itu tadi adalah berbagai pendapat publik soal sensor. Buat kalian yang mendukung agar sistem sensor media di Indonesia dihapus, mungkin sebaiknya mulai belajar menerima kalau hal itu sepertinya enggak akan bisa terjadi dalam waktu dekat. Sebab, jangankan konten media, patung putri duyung telanjang di Ancol pun jadi korban sensor dengan dipaksa pakai kemban. Jadi, daripada capek-capek mengkritik sensor media di Indonesia, mending kita perjuangkan hak patung putri duyung Ancol agar setidaknya lain kali dia bisa pilih warna kemban yang dia suka.