FYI.

This story is over 5 years old.

holy cow

Pemerintah India Menyensor Semua Kata 'Sapi' Dari Film Dokumenter

Film ekonom peraih Nobel Amartya Sen menjadi korban kebijakan politik sayap kanan Hindu yang kini menguat di Negeri Sungai Gangga.

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard.

Lagi-lagi, negara demokrasi dengan populasi terpadat di dunia mencoba mengekang kebebasan berucap dan beragama. Central Board of Film Certification di India—badan pemerintah utama yang mengurus perfilman dalam negeri—melarang edar dokumenter dari ekonom Harvard dan pemenang Nobel Amartya Sen. Menurut sang sutradara, CBFC masih melakukan banyak sekali penyensoran. Anggota dewan meminta sutradara Suman Ghosh, seperti disampaikan kepada wartawan, agar menyensor semua kata "sapi", dan juga semua adegan yang menampilkan ideologi Hindutva (Hindu sayap kanan). Dokumenter itu sebenarnya bakal dirilis dalam waktu dekat. Diberi judul The Argumentative Indian, diproduksi berdasarkan buku Amartya Sen bertajuk sama. Topiknya mengangkat kekuatan wacana publik dan pluralisme di India. Ironis. Film yang mencoba memuji praktik demokrasi di India justru memperoleh sensor oleh badan negara dengan ideologi ultrakonservatif. Penyensoran macam ini adalah serangkaian serangan pada kebebasan berekspresi oleh ultra-nasionalis sayap kanan Hindu, nyatanya memang didukung oleh pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi, yang terpilih pada 2014. Modi adalah petinggi partai Bharatiya Janata yang sangat Hindu. Sapi—hewan sakral dalam tradisi Hinduisme—telah memecah belah warga terutama di negara beragam ini. Beberapa pemerintah daerah telah memboikot daging sapi, meski India adalah negara sekular di mana Muslim, Kristiani, dan banyak komunitas lainnya telah mengkonsumsi daging selama berabad-abad.

Iklan

"Jenis penyensoran baru ini membuat satir tidak diperlukan lagi—menyensor kata 'sapi' itu bullshit lah," ujar Karuna Nundy, pengacara berbasis Delhi yang telah membela kasus-kasus kebebasan berekspresi di Mahkamah Agung India. "Menurut pandangan saya, ini adalah pelanggaran berat terhadap kebebasan berujar."

Saat ini, bahkan membicarakan soal sapi dan daging sapi bisa membuat orang kena masalah. Ketika Keetrai Hansda, profesor drama di Jharkhand, menulis status Facebook sepanjang dua kalimat berisi mencari "beef party", kelompok sayap kanan marah, menurut Scroll. Anggota Kongres Anak Muda di Kerala, daerah India dengan mayoritas penduduk Kristiani dan ateis, juga ditangkap karena mengadakan festival daging sapi. Dokumenter Sen bukan satu-satunya penyensoran pada medium film. Kata 'daging sapi' ditimpa dengan suara 'bip' pada episode Friends yang tayang di televisi India pada 2015, bersamaan dengan kata 'ballsy', 'butt' dan 'condom', menurut Public Radio International. Dewan bahkan mencoba menghentikan film Bollywood Udta Punjab—dengan premis masalah heroin Punjab sebagaimana di kehidupan asli—namun ditolak oleh pengadilan tahun lalu setelah hakim menolak tuduhan bahwa hal tersebut mempertanyakan kedaulatan India karena menyoroti negara tersebut di sisi yang negatif.

"Menyensor kata 'sapi' itu bullshit lah."

Meski India tergolong negara konservatif, namun mereka cenderung liberal dalam hal perfilman dan seksualitas. Kata-kata kasar dan gambar telanjang mudah ditemukan di internet. Karenanya, pemerintahan konservatif saat ini mengeluarkan kebijakan moral yang membuat banyak warga liberal dan moderat marah. Hal ini juga menyusup ke dalam sistem negara, dari perdagangan hingga pendidikan.

Nundy berkata keputusan-keputusan Mahkamah Agung India sebelumnya mungkin membantu pembela hak berekspresi, dan sineas seperti Gosh, membela pesan melawan penyensoran. Pada 1971, ada putusan yang mendukung sineas menampilkan adegan kemiskinan yang parah: "Standar yang kita buat untuk penyensoran harus memiliki substansi yang mendukung kebebasan sehingga memberikan ruang bagi seni kreatif untuk menginterpretasi kehidupan dan masyarakat dengan segala yang suram dan bahagia." "Absurditas telah memicu Mahkamah Agung memandang kemampuan Dewan untuk memerintahkan sensor semacma itu. Kita perlu memikirkan apakah hal tersebut sesuai dengan standar kebebebasan berekspresi," ujar Nundy.