FYI.

This story is over 5 years old.

News

Jepang Pertahankan Praktik Sterilisasi Paksa Terhadap Warga Transgender

Mahkamah Agung di Tokyo menolak menganulir aturan diskriminatif dan melanggar HAM tersebut.
Bendera Pelangi LGBTQI dan Bendera Jepang
Ilustrasi oleh i-D Staff

Tahukah kamu kalau warga negara Jepang baru diakui hukum sah berganti jenis kelamin sesuai pilihannya apabila sudah disterilisasi? Mengejutkan ya, tapi faktanya praktik ini masih berlaku di 2019. Tak hanya itu, anggota komunitas LGBTQ yang memilih ganti kelamin juga harus memenuhi persyaratan seperti: "tak punya kelenjar reproduksi (atau tak berfungsi), dan bentuk kelaminnya sama dengan lawan jenis."

Iklan

Takkakito Usui adalah transgender asal Kota Okayama yang ingin secara legal mengubah jenis kelaminnya tanpa operasi. Dia mengajukan banding ke pengadilan Jepang, berharap bisa mengalahkan undang-undang 2003 yang sangat ketinggalan zaman itu. Sayang, permohonannya ditolak oleh Mahkamah Agung pekan lalu dengan alasan aturan tersebut masih sesuai konstitusi.

"Saya hanya tidak habis pikir kenapa masih ada saja hukum yang mewajibkan seseorang untuk operasi kalau ingin ganti kelamin," kata Tomoyasu Oyama, selaku pengacara Usui, saat ditemui media. "Ketika undang-undangnya dibuat 15 tahun lalu, komunitas LGBTQ di Jepang harus mengambil keputusan pahit dan memenuhi persyaratannya agar bisa mengubah jenis kelamin mereka secara sah. Dengan keputusan ini, saya harap legislatif akan mengubah undang-undangnya untuk mendukung keinginan kelompok LGBT."

Suki Chung, manajer kampanye Amnesty International untuk kawasan Asia Pasifik, menganggap Mahkamah Agung Jepang telah "melewatkan kesempatan untuk mengatasi diskriminasi yang dihadapi komunitas transgender."

Lebih mengejutkan lagi, Pengadilan HAM Eropa baru menyatakan bahwa sterilisasi paksa pada orang yang ingin mengubah jenis kelaminnya secara legal termasuk ke dalam pelanggaran hak asasi manusia pada 2017. Setelah diberlakukannya keputusan itu, 22 negara Eropa yang tadinya berpartisipasi pada kekejaman ini—termasuk Belgia, Swiss, Yunani dan Finlandia—langsung mengubah undang-undangnya.

Iklan

Saat itu, Stonewall melaporkan bahwa mereka menyambut keputusannya, tetapi juga “kecewa karena pengadilan tidak melakukan hal yang sama pada pemeriksaan medis dan diagnosis kesehatan mental." Pada Oktober 2018, mereka mengambil langkah lebih lanjut dengan bekerja sama bareng VICE dalam kampanye Recognise Me yang mengajak siapa saja yang peduli pada hak-hak kaum LGBTQI untuk menuntut penyempurnaan Undang-Undang Pengakuan Jenis Kelamin.

Sikap resmi Jepang jelas mengganggu. survei baru menemukan bahwa setidaknya 1 dari 11 orang Jepang mengidentifikasikan dirinya sebagai lesbi, gay, biseksual, atau transgender. Kabar baiknya, hasilnya juga menunjukkan bahwa semakin banyak orang yang menghormati dan memperjuangkan komunitas LGBTQI di Jepang.

Mio Sugita, anggota parlemen Jepang dan sekutu Perdana Menteri Abe, sebaiknya mempertimbangkan ini. 2018 lalu, dia berkomentar jika pasangan sesama jenis "tidak memproduksi anak. Dengan kata lain, mereka kurang produktif dan tidak berkontribusi pada kemakmuran bangsa."

Yah, andai saja hukum negaranya tidak menyulitkan pasangan sesama jenis untuk mengadopsi dan melakukan inseminasi buatan, serta tidak melakukan sterilisasi paksa, sebetulnya komunitas LGBTQI bisa berpartisipasi meningkatkan kemakmuran bangsa lho.

Artikel ini pertama kali tayang di i-D UK