Konflik Papua

Kericuhan Menyebar ke Kota Lain Papua Akibat Lambannya Aparat Tangani Kasus Ucapan Rasis

Pemerintah sejauh ini memilih menambah jumlah personel keamanan dan pemblokiran medsos di Papua. Demo merembet dari Fakfak ke Nabire. Pengamat politik dan HAM menilai itu tak cukup meredakan situasi.
Kericuhan Menyebar ke Kota Lain Papua Akibat Lambannya Aparat Tangani Kasus Ucapan Rasis
Foto kericuhan di Fakfak [kiri] dari akun Twitter Veronica Koman; demonstrasi warga di Mimika via Reuters

Kericuhan di beberapa titik wilayah Papua masih bermunculan. Kerusuhan tersebut adalah imbas unjuk rasa susulan atas kekecewaan masyarakat Papua atas respons pemerintah pusat yang dianggap lamban mengusut dugaan kekerasan dan ucapan yang dilakukan oleh aparat dan ormas terhadap mahasiswa Papua yang terjadi di Surabaya, disusul kemudian Kota Malang, pekan lalu.

Kamis (22/8), demonstrasi diikuti lebih dari seribu orang terjadi di Kabupaten Nabire. Unjuk rasa ini hanya berselang sehari, setelah situasi panas di Kabupaten Fakfak, Papua Barat, mulai mereda. Demonstrasi juga terpantau muncul di Maybrat dan Biak.

Iklan

Mengutip laporan CNN Indonesia, Pasar Tumbruni yang berada di kabupaten tersebut dibakar massa, serta terjadi pemblokadean di sejumlah jalan raya. Adapun Tabloid Jubi, salah satu media online terbesar di Papua, menyatakan militer sudah mulai menguasai keadaaan di Fakfak sejak tadi malam waktus setempat.

Menurut, Eko Aristianto, warga Fakfak, pembakaran pasar dipicu oleh kerusuhan yang terjadi sejak Selasa (20/8) sore. Sejak demonstrasi berakhir rusuh, Eko dan sejumlah warga kesulitan mencari bahan pangan. Hingga artikel ini dilansir, perekonomian Kabupaten Fakfak belum normal kembali.

Kerusuhan meluas ke Mimika, Papua Barat. Berdasarkan laporan Tribun, ribuan aksi massa yang berunjuk rasa di halaman gedung DPRD Mimika memblokade jalan dan merusak berbagai fasilitas umum, mulai dari gedung DPRD hingga kendaraan yang berada di jalanan. Awalnya aksi Massa di Mimika ini berlangsung tertib. Namun, beberapa saat kemudian massa terbawa emosi dan menjadi beringas, beberapa massa bahkan melempari aparat polisi dan TNI yang mengawal aksi.

Menanggapi kerusuhan yang terjadi di beberapa titik tersebut, Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Mohammad Iqbal mengklaim pihaknya berupaya mengendalikan massa dengan cara persuasif, melalui komunikasi dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat.

"Kepolisian, TNI, mengedepankan upaya-upaya persuasif komunikasi dengan di-support penuh oleh seluruh tokoh agama, tokoh sentral di sana, tokoh masyarakat untuk kembali melakukan pemahaman agar untuk apa melakukan kegiatan anarkis tersebut, toh merugikan semua pihak," ujarnya.

Iklan

Sebelumnya, kerusuhan lainnya terjadi di Sorong pada Selasa (20/8) pagi. Aksi yang semula berjalan kondusif, berubah menjadi ricuh ketika aparat kepolisian berusaha mencegat massa agar tidak kemana-mana. "Kami mencegat massa agar kerusuhan tidak melebar kemana-mana, utamanya tidak ke arah obyek vital," ujar AKBP Mario Christy P Siregar selaku Kapolres Sorong Kota, seperti dikutip melalui BBC Indonesia.

Menurut Mario, kerusuhan ini bermula dari aksi lempar batu dan botol oleh massa pengunjuk rasa ke arah Wali Kota Papua Barat dan jajarannya. Masa pengunjuk rasa merasa tidak puas atas tanggapan Wali Kota Papua Barat dalam meresponse aksi protes mereka, sehingga mereka langsung melempari Wali Kota Sorong dengan batu.

Sebagian massa juga sempat menerobos kantor catatan sipil yang bersebelahan dengan kantor Wali Kota Papua Barat, membakar sebagian dokumentasi milik kantor catatan sipil. Massa pendemo juga merusak beberapa fasilitas publik seperti, melempar batu ke Bandar Udara Sorong, dan pembakaran kendaraan. Aksi serupa juga terjadi di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kota Sorong, Papua Barat. Berdasarkan Laporan BBC Indonesia, tercatat 200 orang narapidana berhasil kabur.

"Rangkaian kejadian situasi keamanan di Papua Barat berimbas pada Lapas Sorong, telah terjadi pembakaran dan penjebloan tembok lepas sehingga terjadi pelarian (napi),” ujar Ade Kusmato selaku Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM.

Iklan

Wasisto Raharjo Jati, dari Pusat Penelitian Politik LIPI, menilai eksalasi konflik Papua yang terus menyebar terjadi karena kurangnya upaya komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah kepada tokoh adat Papua sesudah insiden Surabaya.

"Pemerintah hanya melakukan pendekatan represif atau militer untuk meredam konflik Papua ini, padahal seharusnya perwakilan Pemerintah harus turun ke bumi Papua untuk melakukan dialog kepada tokoh adat Papua, sehingga eksalasi konflik tidak terlalu melebar," ujarnya pada VICE. "Contohnya saat kerusuhan mahasiswa Papua di Yogya berhasil cepat diredam karena adanya dialog yang dilakukan oleh perwakilan pemerintah terhadap mahasiswa Papua di Yogya.

Dihubungi terpisah, Usman Hamid selaku Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia mengatakan pemerintahan Presiden Joko Widodo harus segera bertindak untuk menurunkan ketegangan di Papua. Selain itu, penting bagi aparat untuk memfasilitas massa yang ingin menyuarakan aspirasinya secara damai. Kebijakan Kominfo memblokir akses Internet di Papua, atas alasan untuk menyetop hoax, juga memperburuk keadaan karena massa di lapangan rentan terpengaruh desas-desus.

"Sudah menjadi tanggung jawab polisi untuk memfasilitasi dan melindungi pelaksanaan hak untuk berkumpul secara damai sambil memastikan keselamatan semua orang. Petugas keamanan harus menahan diri dari menggunakan kekerasan yang tidak perlu atau berlebihan, memprioritaskan dialog dengan pengunjuk rasa dan tidak menggunakan tindakan kekerasan beberapa orang sebagai alasan untuk membatasi atau menghambat yang lainnya dari menggunakan hak-hak mereka," kata Usman kepada VICE.

Pekerjaan rumah lain yang harus dilakukan pemerintah adalah serius menangani dugaan tindakan rasis dan penggunaan kekerasan secara tidak sah terhadap pelajar Papua di Surabaya, Semarang dan Malang pada akhir pekan lalu. Sejauh ini Polda Jatim menyatakan penyelidikan masih berlangsung. Jika diperlukan polisi mengaku siap berkoordinasi dengan polisi militer Kodam Jawa Timur, mengingat dalam video yang viral terlihat ada personel TNI di tengah makian rasis pada mahasiswa yang bertahan dalam asrama Papua Barat.

Menurut Usman, penting bagi Kepolisian cepat menangani akar penyebab kericuhan ini agar ketegangan di akar rumput mereda. "Polisi sejauh ini gagal melindungi orang Papua dari segala bentuk diskriminasi, mengirimkan pesan yang mengkhawatirkan bahwa tindakan ini ditoleransi oleh pihak berwenang," imbuhnya.