Merenungi Kematian

Kenapa Sih, Milenial dan Gen Z Terobsesi Sama Kematian?

Meskipun buat generasi tua dianggap topik tabu, tampaknya anak muda mulai menerima fakta bahwa semua manusia akan mati. Lebih-lebih, perubahan iklim menandai bumi kita juga ikut mati.
AN
Diterjemahkan oleh Annisa Nurul Aziza
Jakarta, ID
Kenapa Sih, Milenial dan Gen Z Terobsesi Sama Kematian?
Cuplikan adegan pemakaman Ariana Grande di serial Scream Queens.

Aku sering memikirkan hari istimewa itu.

Aku memikirkan pakaian yang akan kukenakan dan bunga mawar yang akan menghiasi dinding gereja saat misa pemakamanku. Lagu yang akan diputar termasuk lagu rohani dan beberapa lagu kesukaanku. Saat peti mayatku masuk gereja, aku pengin lagu Stevie Nicks diputar. Suaranya yang merdu pasti bakalan bikin suasananya pas.

Aku sudah memikirkan panjang lebar siapa saja yang bakal hadir di pemakamanku, dan pakaian apa saja yang akan mereka kenakan (syal hitam dan sapu tangan motif bunga buat lap tangisan berbekas maskara). Tapi banyakan teman-temanku tidak pernah memikirkan soal pemakaman mereka sendiri.

Iklan
1566485459080-Screen-Shot-2019-08-22-at-155009

Sejujurnya, pada usia 23, aku justru lebih sering memikirkan pemakamanku ketimbang pernikahanku — padahal perencanaan pernikahan itu hal yang wajar banget. Kematian itu sudah pasti, tetapi siapa bilang kamu bisa menemukan seseorang yang pengin menikahimu? Tetap saja, topik kematian membuat banyak orang merasa kurang nyaman.

Ternyata topik ini cukup jarang dibahas di internet. Oleh karena itu, sebagai seorang jurnalis berbekal metode riset unggul, aku membuat poll di Instagram storyku untuk followersku yang sebagian besarnya Gen Z/sayap kiri/perempuan/laki-laki gay.

Nyaris seperempat responden mengaku pernah memikirkan pemakaman mereka sendiri secara panjang lebar, sementara 64 persen mengatakan pernah iseng memikirkannya, tetapi tidak memikirkan detail-detailnya. Hanya 12 persen mengaku tidak pernah memikirkan soal pemakaman mereka.

Hasil ini tidak begitu mengherankan. Kaum milenial dan Gen Z sangat sadar akan keadaan Bumi dan masa depan yang cukup suram. Pada waktu penulisan artikel ini, aktivis, calon Penghargaan Nobel, dan penulis berusia 16 tahun, Greta Thunberg, sedang berlayar di laut Atlantik menuju ke konferensi PBB demi mengurangi dampak penerbangan terhadap lingkungan. Hanya beberapa bulan lalu, anggota Kongres AS Alexandria Ocasio-Cortez dikritik setelah mengatakan “sudah disetujui komunitas ilmiah bahwa kehidupan anak-anak akan sangat sulit. Oleh karena itu kami harus mempertimbangkan pertanyaan berikut: apakah kita masih boleh beranak?” dalam sebuah video Instagram live. Kaum konservatif mengklaim komentar Alexandra bagaikan kebijakan tanpa anak dan pembunuhan anak; banyak orang muda mempercayai kata-kata Alexandra. 38 persen orang berusia 18-29 mengaku perubahan iklim adalah faktor yang wajib dipertimbangkan ketika ingin beranak.

Iklan

Waktu kita untuk menyelamatkan bumi tinggal sedikit. Kekerasan semakin sering terjadi di berbagai belahan dunia. Ditambah lagi, politik agama juga makin menjadi-jadi. Itu sebabnya tak mengherankan jika anak muda sangat sadar akan kematian dan terkadang suka memikirkan acara pemakaman mereka.

1566485529976-rQGBjWNveVeF8f2PGRtS85w9o9r

Psikolog siber Dr Dawn Branley-Bell punya pandangan lain. Menurutnya, baik generasi tua maupun muda sama-sama terpapar pada kematian. Hanya saja, kaum milenial dan Gen Z memang lebih sering menemukan masalah kematian lewat internet dan media sosial. “Perilaku dan komunikasi online umumnya mencerminkan topik (dan perilaku) yang biasanya hanya dibagikan kepada teman, keluarga atau kelompok sosial lain,” Dawn berpendapat. “Paparan [terhadap kematian] sebenarnya belum tentu menjadi masalah, kecuali kontennya malah mengagung-agungkan kematian (misalnya menggambarkan kematian sebagai sesuatu yang indah).”

Sebelum menayangkan musim ketiganya, serial kontroversial Thirteen Reasons Why menghapus adegan bunuh diri Hannah yang sangat eksplisit dan mudah ditiru. Pakar kesehatan mental sampai mengecam drama TV ini karena penggambarannya yang sangat emosional dan gamblang lebih mirip ‘panduan bunuh diri’. Kru Thirteen Reasons Why telah mengambil keputusan tepat untuk menghapusnya. Akan tetapi, masalahnya tidak berhenti sampai di situ. Banyak sekali postingan meme ‘dark joke’ di Instagram yang isinya kepingin mati dan ditelan bumi. Walaupun agak menghibur, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada orang lain—terlepas dari kondisi mental mereka—jika melihat postingan yang kita sukai.

Iklan

Meskipun demikian, Dawn berujar bahwa sadar akan kematian tidak selamanya buruk. "Beberapa malah sibuk mencari informasi tentang asuransi kesehatan dan pengobatan paliatif. Itu artinya dengan memikirkan kematian, individu jadi bisa merenungkan makna hidup dan menerima kalau suatu saat nanti akan mati," urainya.

Ketika aku bertanya kepada pengikut akun medsos yang memikirkan acara pemakaman, aku menemukan satu pola yang sama bahwa mereka menganggap pemakaman sebagai momen menghormati diri sendiri. Inilah terakhir kalinya mereka mengendalikan hidup bahkan setelah wafat.

Seseorang bercerita kalau dia ingin orang yang datang ke acara pemakamannya untuk minum-minum. “Aku suka Jägerbomb, dan berharap mereka nanti bisa minum-minum denganku untuk terakhir kalinya!” Kedengarannya memang gila, tetapi acara pemakamannya akan lebih sesuai dengan kehidupan dia dulu. “Bagiku, hari kematian adalah pesta besar yang benar-benar menunjukkan siapa diriku sebenarnya. Aku tidak mau ada pidato ala-ala ‘Dia orangnya sangat baik hati dan sebagainya’ karena itu sama sekali tak mencerminkan aku.”

Artikel ini pertama kali tayang di i-D