WTF

Melacak Kebenaran Kabar Babi Hutan Sumatra Seberangi Selat Malaka, Menginvasi Malaysia

Ini kasus migrasi satwa yang cukup aneh. Warga di Malaysia meyakini gerombolan babi hutan liar dari Sumatra menyeberangi laut. Adapun berbagai pihak di Indonesia meragukannya.
20312092492_395922195b_k
Babi hutan berenang. Foto ilustrasi via Bernard Dupont/Flickr/lisensi CC 2.0

Indonesia harus diakui penuh masalah. Polusi, kasus pelanggaran hak asasi manusia yang mandeg, konflik sosial akibat rasisme dan konservatisme agama, serta bejibun persoalan lainnya. Kadang kalian berpikir, kayaknya enak kalau bisa pindah negara. Rupanya bukan cuma manusia yang merasakan kebutuhan untuk pindah itu. Babi hutan asal Indonesia sudah melakukan tindakan konkret, menyeberangi laut, dan pindah ke Malaysia demi mendapatkan habitat yang lebih baik. Tepatnya, di Negara Bagian Malaka.

Iklan

Pekan lalu Ketua komite Pertanian, Pengembangan Agrobisnis, dan Koperasi Malaka, Norhizam Hassan Baktee, mengklaim babi hutan asal Pulau Sumatra berenang menyebrangi selat Malaka lalu menginvasi kawasan hutan di Pulau Besar, di pesisir Malaka. Dia juga mendapatkan laporan dari nelayan perairan pantai selat Malaka yang telah menyaksikan sendiri moncong babi hutan berenang dalam malam gelap di sepanjang garis pantai Melaka hampir saban malam.

"Sekarang Melaka dihuni oleh babi hutan liar dari Indonesia," ujar Norhizam.

Indonesia dan Malaysia memang punya masalah celah-celah perbatasan selama ini. Tapi untuk pertama kalinya, pelintas batas yang melakukannya bukan manusia.

Pulau yang menjadi kawasan dilindungi Malaysia itu mengalami kerusakan akibat migrasi puluhan babi hutan. "Pulau Besar tampaknya menjadi titik pendaratan bagi babi hutan sebelum mereka menyeberang ke daerah yang dekat dengan Ujong Pasir di daratan dan daerah pesisir lainnya. Pulau Besar di sini telah mengalami kerusakan luas dari migrasi puluhan babi hutan, termasuk anak babi," kata Norhizam.

Jika tidak dikendalikan, jumlah babi hutan yang menempati Pulau Besar akan melebihi jumlah manusia yang tinggal di sana. Menimbang dampak yang ditimbulkan babi hutan, departemen satwa dan Taman Nasional Melaka berniat mengurangi populasi babi hutan yang bermukin di Pulau Besar yang selama ini dikenal berkat sejumlah kisah mistis itu.

Iklan

"Perhilitan telah membawa tiga penembak tajam dalam sebuah misi untuk menyelamatkan Pulau Besar dari invasi babi hutan," urainya.

Menanggapi isu ini, Suharyono selaku Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Riau meragukan klaim dari Pemerintah Malaysia. Menurutnya sulit membuktikan klaim otoritas Malaysia tentang babi hutan dari Indonesia yang menyebrang ke Negeri Jiran.

"Apa iya babi mampu berenang di Selat Malaka puluhan kilometer itu. Inilah yang kita ragukan," ujar Suharyono. "Kalau hanya sekadar diklaim ada babi di pantai Malaysia lantas dianggap menyeberang dari Indonesia, ya kan sulit pembuktiannya seperti itu."

Skeptisisme serupa diungkapkan aktivis perlindungan binatang di Riau, Zulhusni. Dia menyatakan menilai kemungkinan penyeberangan terjadi dari Pulau Rupat, Riau. Sebab di sana terdapat banyak populasi babi hutan, statusnya juga pulau terdepan yang paling dekat dengan perairan Malaysia.

"Walau Pulau Rupat banyak babi, tapi kita juga belum pernah dapat kabar ada babi dari Rupat menyeberangi Selat Malaka hingga ke Malaysia," ujar Zulhusni.

Jaringan aktivis perlindungan satwa internasional WWF juga belum mendapati kebenaran adanya babi hutan dari Sumatra berenang menyebrangi Selat Malaka hingga ke Malaysia. "Selama ini sih kami belum pernah tahu atau menerima informasi itu dari jaringan aktivis kalau babi Sumatera menyeberangi Selat Malaka hingga ke Malaysia," kata Syamsidar, selaku juru bicara WWF di Riau.

Iklan

Lantas, Mungkinkah rombongan babi hutan asal sumatera itu berhasil berenang hingga selat Malaka?

Babi hutan sejak lama dikenal akan kemampuannya beradaptasi di alam liar, termasuk berenang. Merujuk artikel The feasibility of reintroducing Wild Boar (Sus scrofa) to Scotland yang ditulis oleh R. Leaper dkk dalam jurnal ilmiah, babi hutan memiliki kemampuan berenang yang lihai. Bahkan babi yang beratnya mencapai 100 kilogram masih mampu menyebrangi sungai dan danau, serta berlari. Di daratan, mereka mampu berlari hingga kecepatan 50 kilometer per jam.

Namun, sungai tentu berbeda dari Selat Malaka, kawasan laut yang menjadi titik perdagangan dan pengangkutan kargo dan minyak terbesar kedua di dunia setelah selat Hormuz. Mempertimbangkan kecepatan arus pasang-surut selat Malaka yang rata-rata 0,07-1,19 m/detik, kemungkinan babi menyeberanginya sangat tipis.

Jarak ke Pulau Besar ke Pulau Rupat, jika dilihat dari Google Maps, mencapai 62,59 kilometer. Belum lagi tantangan-tantangan lain seperti banyaknya kapal yang melintas di perairan Selat Malaka. Mengacu pada laporan Stairtrep (sistem pelaporan perkapalan), jumlah kapal yang melintas di perairan Malaka sebanyak 85.030 unit per tahun. Lebih dari 600 kapal per hari.

Pemerintah Indonesia, sejauh ini, menganggap kabar invasi rombongan babi hutan liar asal Sumatra ke Malaysia itu amat meragukan. Peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Titiek Setyowati, menyatakan babi hutan memang mungkin berenang di laut. Tapi untuk bisa selamat sampai Negeri Jiran? Itu lumayan muskyil.

"Intinya [bagi hutan] bisa, migrasi dan menyeberang mereka bisa. Cuma dipertanyakan 17 kilometernya saat menyeberangi Selat Malaka. Jarak pulau Rupat ke Pulau Besar bukan 17 kilometer saja, tetapi lebih dari 60 kilometer," ujarnya.