FYI.

This story is over 5 years old.

The VICE Guide to Right Now

Tak Terima Iqbaal Ramadhan Jadi Minke? Santai, Kalau Ga Kontroversial Bukan Film 'Bumi Manusia' Dong

Sutradara berubah-ubah, pembatalan produksi, dan keluhan para penggemar novelnya adalah tradisi tiap muncul perkembangan baru adaptasi mahakarya Pramoedya Ananta Toer tersebut.
Foto dari arsip Falcon Pictures.

Proyek adaptasi novel Bumi Manusia ke layar lebar yang lebih dari 10 tahun terakhir maju mundur penggarapannya, akhirnya menemukan titik terang. Tentu saja titik terang ini dari perspektif produser dan pemegang hak adaptasi novel. Sebaliknya, bagi para penggemar novel Pramoedya Ananta Toer itu, hari-hari ke depan menjadi lebih kelabu. Sejak diumumkan Kamis (25/5) malam di Yogyakarta, hingga artikel ini dilansir, suara-suara penolakan santer beredar di media sosial.

Iklan

Rumah produksi Falcon Pictures mematok jadwal edar film adaptasi ini pada 2019. Sutradaranya dan deretan aktornya pun sudah ditentukan. Hanung Bramantyo akan mengarahkan roman dengan setting awal Abad 20 itu, naskahnya ditulis Salman Aristo, sementara tokoh utama cerita, Minke, bakal diperankan Iqbaal Ramadhan, yang menjadi sangat dikenal publik gara-gara membintangi Dilan 1990. Sejumlah pemeran lain pun diperkenalkan, misalnya Sha Ine Febrianti yang akan menjadi Nyai Ontosoroh, Mawar Eva de Jongh berperan sebagai Annelies, serta Ayu Laksmi dan Donny Damara sebagai orangtua Minke.

Dibanding pilihan sutradara, penulis skenario, dan aktor-aktor lain, keputusan Falcon menetapkan Iqbaal menjadi Minke paling banyak mendapat protes keras. Penggemar Bumi Manusia menuding rumah produksi tidak mengejar akurasi setting cerita, namun mengutamakan faktor nama besar aktor semata agar banyak orang menonton film tersebut. Apalagi dalam jumpa pers, Hanung memberi alasan yang enggak banget mengenai pemilihan Iqbaal memerankan sosok pelajar HBS Surabaya, anak keluarga ningrat Jawa, dalam era pergantian Abad ke-20 masa Hindia Belanda.

"Minke itu millennial, tapi pada masanya," kata Hanung. "Minke itu umur 20 tahun, Annelies 17 tahun. Memang anak-anak muda, buku ini pun bicara tentang gejolak anak muda."

Oke deh…

Sekadar info, Iqbaal mantan personel boyband anak Coboy Junior tampaknya punya takdir rutin diprotes publik ketika diumumkan jadi pemeran utama sebuah film. Saat dulu dipilih memerankan Dilan—panglima tempur geng motor Bandung—banyak penggemar novel karangan Pidi Baiq yang jadi inspirasi film tersebut, bergegas melontarkan hujatan.

Iklan

Kekhawatiran lain penggemar Bumi Manusia adalah akurasi sejarah dan arah ceritanya. Falcon tampaknya mengemas film adaptasinya sebagai percintaan dua anak muda yang terhalang hukum kolonial. Padahal Pram mendasarkan Bumi Manusia sebagai novel pengantar tetralogi Buru untuk mengangkat perjalanan hidup sosok Bapak Pers Nasional, Tirto Adhi Soerjo yang disebut salah satu tokoh intelektual Jawa pertama aktif menyemai gagasan nasionalisme di Indonesia selama kurun 1889 hingga 1918.

Selain itu, lebih dari 50 persen proses pengambilan gambar dilakukan di Desa Gamplong, Sleman, Yogyakarta. Banyak orang khawatir suasana Wonokromo dan Surabaya pada masa itu tak tergambar maksimal, plus kalau ada selorohan Bahasa Jawa, akan sangat terasa Mataraman—bukannya Bahasa Jawa khas Suroboyoan.

Alhasil, sebagian penggemar novel aslinya memilih pasrah dan melontarkan lelucon saja.

Atau sekalian bikin meme mengaitkan kabar pemilihan Iqbaal dengan film Dilan macam ini:

Berbagai penolakan ini seakan sudah tradisi tiap kali ada kabar perkembangan proyek adaptasi Bumi Manusia. Jadi, bagi yang marah-marah, harusnya sih tidak perlu berlebihan. Awalnya, novel ini hendak diadaptasi oleh Garin Nugroho pada 2004, namun kemudian progressnya menguap begitu saja. Sutradara Riri Reza disokong rumah produksi Miles Films, sempat juga disebut-sebut mempersiapkan versi layar lebarnya untuk tayang 2012. Muncul protes dan keraguan, tapi ya akhirnya batal lagi karena produser kesulitan dana.

Iklan

Lantas pada 2015, media sosial nyinyir lagi ketika Falcon sempat menunjuk Anggy Umbara, sutradara yang dikenal berkat film komedi Comic 8, sebagai calon sutradara Bumi Manusia.

Hanung pun, yang kini resmi didapuk sebagai sutradara, mengaku dulu pernah ditolak mentah-mentah oleh Pramoedya semasa sang sastrawan besar itu masih hidup, ketika mengungkapkan niat membuat versi layar lebar Bumi Manusia. "Saya datang langsung ke rumah Pram, bilang mau filmkan, tapi dia hanya ketawa melihat mahasiswa lugu punya keinginan itu," kata Hanung.

Berbagai penolakan ini sebetulnya berakar dari status Bumi Manusia yang penuh mitos dalam jagat sastra Indonesia. Banyak orang mendapuknya sebagai karya terbaik Pram (kendati penggemar hardcore Pram lainnya akan berargumen Arus Balik, Gadis Pantai, atau Bukan Pasar Malam jauh lebih matang). Status Pram sebagai satu-satunya sastrawan Indonesia yang menjadi kandidat peraih Nobel Sastra menambah angker karya-karyanya. Terlebih, penggarapan Tetralogi Buru yang dramatis, berlangsung selama Pram dipenjarakan Orde Baru karena dituduh terlibat G30S, makin membuat citra karya sastra ini bukan main-main.

Sekadar punya ide mengadaptasi Bumi Manusia ke medium seni lain saja sudah bakal mengundang kontroversi. Padahal, bisa dibilang novel Pram satu ini termasuk karya sastra yang patut diduga lebih banyak dikenal reputasinya saja, alih-alih betulan sudah dibaca. Kalau benar sudah baca pun, jangan-jangan versi bajakannya mengingat banyak penimbun yang bikin buku ini sering habis di pasaran tiap cetak ulang.

Tentu saja, karena kontroversi ini terjadi di Indonesia, selalu ada orang yang akan memberi petuah dan hikmah di balik "bencana." Misalnya saja, argumen bahwa basis penggemar Iqbaal, remaja generasi Z, akan tertarik membaca karya-karya Pram.

Minimal, putri kandung Pram, Astuti Ananta Toer, meminta publik bersikap optimis terhadap niatan Falcon mengadaptasi Bumi Manusia ke layar lebar. "Karya-karya Pram (Pramoedya Ananta Toer) dibuat berdasarkan catatan sejarah, statistik, dan riset mendalam," ujarnya dalam momen jumpa pers yang sama. "Saya berharap, mungkin juga Pram, setelah menonton film ini penonton akan diberikan kekuatan agar lebih berani, mencintai keadilan dan kebenaran, berpihak kepada yang benar, berpihak kepada yang adil, dan mencintai keindahan."

Adem deh. Daripada energinya habis buat berdebat, yuk baca lagi paper luar biasa dari Hilmar Farid mengenai proses kelahiran Tetralogi Buru yang mendetail dan indah banget. Rileks dulu ya. Toh nanti juga bakal ribut lagi pas kelak trailer pertama rilis, dan akhirnya ketika filmnya betul beredar. Santailah. Masih banyak momen untuk memperdebatkan versi layar lebar Bumi Manusia.