FYI.

This story is over 5 years old.

The Business of Babies

Indonesia Tak Punya Banyak Bank ASI, Jasa Antar Jemput Plus Donor Jadi Solusi

Ide bisnis delivery ASI merespons kerepotan pekerja menyiapkan susu ibu untuk buah hati dari kantor. Lahan bisnis ini belum banyak digarap, tapi diwanti-wanti pegiat dan otoritas terkait karena ada risiko kesehatannya.
Semua foto oleh Ananda Badudu.

"The Business of Babies" adalah seri liputan yang digarap VICE menelisik fenomena di Indonesia, tentang cara orang-orang memanfaatkan isu reproduksi menjadi bisnis bernilai miliaran Rupiah. Dalam artikel kali ini, kami mengangkat jasa antar jemput sekaligus donor ASI yang terus berkembang di kota-kota besar Indonesia. Rupanya ada risiko yang membayangi bisnis dilandasi niat mulia tersebut. Dalam seri artikel lainnya, VICE menyoroti bisnis bintang iklan bayi, penitipian bayi bertarif puluhan juta, hingga kemampuan korporasi besar meyakinkan para ibu kalau susu formula lebih baik dari ASI.

Iklan

Ester Resimeilana Sihombing memperhatikan teman kerjanya, sesama pegawai negeri sipil di Kementerian Dalam Negeri, yang duduk tak jenak pada medio 2011. Si kawan itu baru kembali ngantor setelah beberapa bulan cuti melahirkan. Ester melihat repot betul temannya mengurus segala tetek-bengek kebutuhan bayi yang baru lahir sambil bekerja di kantor. Teman Ester ini saban hari selalu menyiapkan ASI untuk disimpan ke dalam botol yang seterusnya akan diberikan pada si bayi sesampainya di rumah.

Badannya boleh saja sedang di kantor, tapi kepalanya ada di rumah terus memikirkan si bayi yang kemungkinan besar sedang merengek-rengek mencari ibunya. Pada masa itu teknologi belum semaju sekarang. 2011 adalah era di mana semua orang pakai blackberry dan belum ada layanan antar jemput seketika seperti GO-JEK dll. Temannya Ester ini harus mencari banyak cara untuk menyimpan ASI supaya susunya tetap segar. Ia sampai-sampai mencari pinjaman kulkas.

Yang punya kulkas di kantor Kemdagri pada saat itu hanyalah kantin. Jadilah botol-botol ASI itu dititip kulkas kantin Kemendagri. “Tapi kulkas kantin tak selalu tersedia. Kalau sedang penuh ya enggak bisa nitip,” kata Ester. Gara-gara urusan ASI pula, temannya Ester pulang jauh lebih cepat dari seharusnya. Dia masuk kantor pukul 08.00, pada siang hari sekitar jam 12.00, ia sudah pulang lagi ke Depok agar bisa segera mengasuh bayinya. “Aku perhatikan, repot kali dia urus ASI,” kata perempuan 31 tahun itu kepada VICE. Tapi justru kerepotan inilah yang jadi sumber ide bagi Ester.

Iklan

Ester Resimeilana Sihombing, 31 tahun, di ruang laktasi Kantor Kementerian Dalam Negeri

Dari kerepotan kawannya bisnis kurir ASI datang begitu saja di benak Ester. Tujuh tahun lalu, saat ilham datang, ia memang sedang mencari-cari peluang usaha untuk diusulkan pada pacarnya yang baru saja keluar dari kerjaan. Ester dan pacarnya waktu itu, Andrew Yosua Parlinggoman Sianipar, berencana menikah. Tapi di tengah rencana besar itu, Andrew malah keluar dari kerjaan. Ia ingin merintis bisnis. Giliran ditanya apa usaha yang hendak dijajal? Jawabannya belum tahu, masih cari-cari sambil jalan. Yang penting keluar kerjaan saja dulu.

Kala bertemu dengan Andrew, Ester menceritakan soal temannya itu yang kerepotan mengurus ASI. Mereka berdua sepakat, ada peluang bisnis di sana! Tanpa banyak pertimbangan lagi, Andrew langsung injak pedal dalam merintis usaha kurir ASI. “Dasar si Andrew, memang agak gila dia. Langsung lah dijalankan,” kata Ester menceritakan Andrew yang kini jadi suaminya. Bukan kebetulan pula jika pada saat itu belum ada yang menjalankan usaha serupa. Jadi bisnis itu relatif minim pesaing. “Kayak-kayaknya kami lah yang paling pertama,” kata Ester.

Kulkas tempat menyimpan ratusan kantong ASI

Akhirnya, di penghujung 2011, mulailah usaha itu: bisnis kurir ASI khusus area Jakarta. Tahap pertama adalah tahap mencari modal. Itu sepenuhnya urusan Andrew. Soal duit, Ester tak mau terlibat terlalu jauh. “Karena kami masih pacaran kan, bisa saja nanti putus,” katanya. Modal untuk memulai usaha kurir ASI akhirnya didapat dari tiga hal: (1) jual televisi, (2) jual jaket-jaket adidas koleksi Andrew, (3) pinjam orang tua. Ester tak tahu berapa uang yang dipinjam Andrew dari ibunya. Ia hanya tahu, sebelum pinjaman itu digelontorkan, Andrew terlebih dulu dimarah-marahi ibunya yang tak serta-merta percaya pilihan hidup anaknya. Terlepas dari itu, modal akhirnya didapat, seterusnya dipakai untuk beli motor Honda Supra X yang kapanpun siap diajak mengarungi Jakarta. Modal motor saja tentu tak cukup untuk memulai usaha. Mereka harus berpromosi. Media yang dipakai mewartakan jasa kurir ASI adalah facebook. Tapi tentu mereka harus bikin nama terlebih dahulu. Dan ide yang tercetus jauh dari kesan filosofis. Pong ASI! Dari mana idenya? “Ya dulu kan blackberry ada fitur ping. Ini diplesetkan saja jadi pong, hahaha…” Setelah sekian bulan menanti dan berpromosi via facebook, akhirnya muncul juga klien pertama Pong ASI. Yang mengontak adalah seorang bapak-bapak, meminta Pong menjemput dan mengantar ASI buat anak kembarnya.

Iklan

Mengantar ASI ke tujuan

Si bapak senang bukan kepalang ada jasa seperti Pong ASI. “Sampai-sampai pas anaknya ulang tahun kami ikut diundang,” katanya. Loncat enam tahun sejak mereka merintis bisnis, kini Pong ASI sudah berkembang jauh lebih mapan. Kantornya tak lagi di rumah. Sekarang mereka berkantor di bilangan Gondangdia, Jakarta Pusat, memperkerjakan 25 orang karyawan, meladeni seratusan klien, dan mengurus sedikitnya 500 invoice saban bulan. “Kalau dulu awal-awal paling hanya 50 invoice,” kata Ester. Pong ASI menetapkan tarif di kisaran Rp4.500-5.500 per kilometer setiap kali mengantar atau menjemput susu. Ester tak membayangkan bisnisnya akan berkembang seperti sekarang. Mereka menjalankan bisnis kurir ASI dengan mental ‘ hajar bleh’, belajar sambil jalan, jadi Ester lumayan kaget kalau ternyata bisa sampai punya banyak karyawan. Tapi ia mengaku seharusnya mereka bisa lebih hebat dari ini, sebab pasar kurir ASI masih sangat besar. Usahanya baru di level Jabodetabek, belum merambah ke kota-kota besar lain di Indonesia. Nabiella Hamdania, humas Pong ASI, mengatakan awal tahun ini setidaknya ada 40-45 pelanggan di database Pong ASI. Sementara untuk pendonor, setidaknya ada 395 ibu di area Jakarta rutin mendonorkan susu ke perusahaan mereka.

Pong tak pernah kehabisan persediaan ASI karena donornya melimpah. Untuk pelanggan pun demikian karena rupanya di luar Jakarta pun banyak yang membutuhkan ASI yang siap dikirim begitu dibutuhkan. “Enggak di semua kota ada yang punya stok ASI dan siap kirim,” kata Nabiella. Baru-baru ini, Pong meladeni permintaan ASI yang datang dari Ambon. “Kami kirim 100 pak sekaligus, biaya kirimnya sampai Rp1,5 juta,” katanya. Salah satu pelanggan Pong ASI adalah ibu tiga anak Indirasari Larasati. Pengalaman membesarkan anak pertama dan kedua cukup mengajarkannya bahwa ASI memang susu yang paling baik untuk bayi. Indira punya tiga anak: Adinda (16 tahun), Arnindya (12), dan Darell (1). Di antara ketiga anaknya itu, si sulung Adinda lah yang paling cepat diberi susu formula. ASI eksklusif bagi Dinda berhenti pada umur 6 bulan. Sejak itu ia juga minum susu formula. Di antara ketiganya, Adinda lah yang paling tak tahan banting ketika masih bayi. “Dia mudah sekali terkena diare. Kalau sudah kena, sembuhnya juga lumayan lama,” kata Indira. Sementara Arnindya, anak kedua Indira, jarang terkena diare. Indira menduga ketahanan tubuh si bayi ada kaitannya dengan asupan ASI yang ia berikan.

Iklan

Oleh sebab itu, begitu tiba si bungsu Darrel, Indira sudah tak mau coba-coba lagi. Untuk susu, Indira hanya percaya pada susu ibu. Tak jadi masalah jikapun sehari-hari ia bekerja, toh zaman sekarang sudah ada jasa kurir ASI seperti Pong ASI yang bersedia menjemput dan mengantar susu ibu ke manapun diperlukan. “Sebulan saya bisa keluar Rp400 ribu untuk keperluan kurir ASI. Tapi ya enggak masalah, memang sudah dialokasikan,” kata Indira.

Indirasari Larasati

Pesaing Pong ASI, seingat Ester baru muncul dua tahun belakangan. Sepanjang kurun 2015-2016, muncul perusahaan-perusahan baru yang menawarkan jasa kurir ASI, di antaranya Amura Courier, Gatotkoco, dan yang paling besar adalah JNE dengan layanan JESIKA alias Jemput Asi Seketika. Ester tak merasa terbebani dengan kemunculan pesaing-pesaing baru. Kehadiran mereka mendorong Pong ASI terus berkembang. “Kami bisa saja jadi besar, kalau ada yang mau suntik dana sih pasti bisa,” katanya. Persoalan antar-mengantar ASI memang krusial untuk ibu yang kembali bekerja setelah melahirkan. Wakil Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Nia Umar turut gembira melihat kehadiran bisnis-bisnis kurir ASI semacam itu. Namun karena ada urusan donor-mendonor, Nia berpesan pelanggan dan ibu yang kekurangan ASI perlu ekstra hati-hati. Sebab layanan kurir ASI tak bisa menjamin susu yang didapat dari donor sepenuhnya bebas bakteri dan virus berbahaya. Satu-satunya cara untuk menjamin susu itu terbebas dari penyakit adalah mengujinya di laboratorium. Tapi itu terlalu mahal dan rumit. "Jadi baiknya untuk urusan donor, ambil ASI yang dari rumah sakit saja," katanya. "Masalahnya kan di sini bank ASI belum umum. Jadi ya, boleh saja ambil dari donor, tapi harus sangat hati-hati."

Peringatan serupa disampaikan dokter Elizabeth Yohmi, Ketua Satgas ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Dia mengapresiasi kesadaran masyarakat memprioritaskan ASI untuk si buah hati. Problemnya bank ASI tidak banyak tersedia di negara ini. Di Jakarta saja yang terbaik hanya di RS Cipto Mangunkusumo. Alhasil jasa donor pun marak. Yohmi mengingatkan orang tua agar tak sembarangan, mengingat air susu ibu memiliki darah yang bisa mendorong penularan virus semacam CMV, hepatitis B dan C, dan HTLV. "ASI donor harus diperas dan disimpan dengan cara yang benar bahkan di-pasteurisasi. Pedoman WHO menyatakan sebelum dikasih ke resipien ASI harus dikultur dulu," kata Yohmi saat diwawancarai media lokal.

Menerima susu dari donor, menurut Nia, sebisa mungkin jadid opsi terakhir atas masalah kesulitan ASI. Jika memang ibu kesulitan memproduksi susu, langkah pertama yang harus ditempuh adalah konsultasi ke tenaga medis yang paham betul soal ASI. Ibu tak perlu panik apalagi sampai beralih ke susu formula. Kesulitan ASI, kata Nia, sangat bisa diatasi dan dicarikan jalan keluar. "Sulit ASI itu sama seperti penyakit-penyakit lain, bisa diketahui sebabnya setelah konsultasi," katanya.