FYI.

This story is over 5 years old.

Kebebasan Berekspresi

Bikin Meme di Indonesia Meningkatkan Peluangmu Masuk Penjara

Ada banyak pasal karet yang siap menjegal pembuat meme, terutama kalau pakai sosok pejabat. Pemerintah makin antikritik atau sedang terjadi perang tafsir soal kebebasan berekspresi?
Ilustrasi oleh Dini Lestari.

Bagi Adi Surya, membuat meme adalah sebuah hobi di tengah kepadatan kuliah. Mahasiswa semester tujuh sebuah universitas swasta di Tangerang tersebut mulai membuat meme sejak duduk di bangku SMA.

"Mulai bikin kalau enggak salah tahun 2014," ujar Surya. "Awalnya cuma disebarin di grup-grup pertemanan di Whatsapp atau LINE, tapi sekarang lebih sering di Instagram."

Surya mungkin hanya satu dari jutaan atau bahkan miliaran orang yang getol membuat atau menyebarkan meme di semua platform internet. Surya menemukan meme sebagai medium tepat untuk menyampaikan sesuatu. Entah itu sesuatu yang remeh-temeh lucu-lucuan atau untuk menyampaikan pendapat yang agak serius.

Iklan

"Cuma buat have fun aja sebenernya. Gue suka lawakan sarkasme di meme. Jokes-nya buat ngecengin orang-orang aja," ucap Surya yang sudah bikin sekira 50-an meme.

Enggak cuma buat humor, meme telah menjadi alat penggerak massa lewat isu-isu panas dan alat mengkritik pemerintah. Masih ingat kan bagaimana meme Pepe si kodok hijau yang naik sepeda roda satu menjadi simbol white nationalism dan alt-right? Atau meme kerupuk vs. Sukhoi yang lagi trending baru-baru ini?

Sayangnya meme juga bisa menjadi sumber yang memperkeruh suasana sosial politik. Belum lama ini kepolisian membongkar sindikat penyebar kebencian Saracen dan menangkap sedikitnya lima orang. Agency kebencian yang memiliki pengikut lebih dari 750 ribu di grup Facebook tersebut dituduh menyebarkan hoaks lewat media sosial dan meme bernada SARA yang provokatif.

Pemerintah toh enggak melulu menyasar sindikat besar. Paling tidak lima individu pembuat dan penyebar meme telah ditangkap sejak Maret hingga September. Mereka dituduh memprovokasi dan menyebarkan kebencian.

Terakhir, seorang satpam bernama Eko Prabowo harus berhadapan dengan aparat kepolisian gara-gara membuat meme Joko Widodo dan Megawati Sukarnoputri dan mengunggahnya di akun Facebook pribadinya. Meme tersebut dibuat pada 2014. Meski Eko telah menulis permintaan maaf di akunnya, polisi tetap memprosesnya secara hukum menyusul laporan dari beberapa pengguna internet.

Sebelumnya mahasiswa asal Bandung ditangkap aparat kepolisian karena menyebarkan meme yang menghina Iriana Joko Widodo lewat akun instagram-nya @warga_biasa.

Iklan

Salah seorang pemuda dari Bukittingi, Ropi Yatsman, dihukum 15 bulan penjara karena mengedit dan mengunggah meme presiden Joko Widodo yang digambaran tengah menambal ban.

"Membuat meme itu salah satu bentuk kebebasan berpendapat yang dijamin undang-undang," ungkap Heru Sutadi, direktur Information and Communications Technology Institute. "Namun semuanya juga harus sesuai koridor hukum. Ada larangan fitnah dan pencemaran nama baik. Tapi memang semuanya harus ada pembuktian. Kalau soal meme Iriana Joko Widodo itu saya pikir memang sudah keterlaluan."

Meski Indonesia menganut asas kebebasan berpendapat, memiliki Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kerap digunakan untuk membungkam ekspresi warga negara dan kerap dikritik para aktivis memiliki beberapa pasal karet. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengkritik pemerintah yang mengkriminalisasi opini masyarakat.

Kelompok Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) baru-baru ini tengah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi karena menganggap UU ITE pasal 28 ayat 2 membungkam para aktivis.

"UU ITE itu membuka tafsir yang luas," ujar direktur eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono. "Setidaknya ada tiga pasal yang kerap disangkakan untuk mereka yang dianggap menyebar kebencian termasuk pembuat meme."


Baca juga wawancara VICE dengan salah satu sosok legendaris subkultur meme Indonesia:

Iklan

Menurut Supriyadi, undang-undang tersebut melarang muatan yang melanggar kesusilaan. Padahal kata kesusilaan tersebut memiliki tafsir yang luas, sehingga rawan disalahgunakan oleh penguasa. Di dalam KUHP definisi kesusilaan sendiri dijelaskan dalam satu bab sendiri - membuatnya kerap dijadikan sebagai instrumen antikritik.

"Pemerintah seharusnya kebal kritik. Kalau pejabat enggak kuat dikritik ya jangan jadi pejabat," ujar Supriyadi.

Implikasi dari undang-undang tersebut berdampak luas, menurut Supriyadi. Salah satunya adalah relasi kuasa antara masyarakat yang lemah dengan pemegang kekuasaan. Imbasnya adalah, masyarakat dipaksa berhati-hati untuk menyuarakan pendapatnya, apalagi kalau mau marah-marah di media sosial.

"Tren-nya sekarang pada baper," kata Supriyadi. "Dikit-dikit lapor polisi. Padahal kalau bicara soal meme, itu kan kontekstual banget, sesuai kondisi saat ini. Pasal-pasal karet dalam UU ITE itu bisa dipakai kapan saja, tergantung kemauan penguasa."

Surya Adi mengaku kini harus berhati-hati jika akan membuat meme. Ia tak mau asal membuat meme meski niatnya untuk bercanda.

"Awalnya takut gara-gara masalah hak cipta karena foto-foto yang gue pakai kadang ngambil dari internet," tukas Surya. "Tapi sekarang bikin meme kayaknya harus hati-hati banget."

Meski cuma fokus ke soal humor, Surya mengamini bahwa meme adalah cara terbaik untuk mengutarakan keresahan yang dirasakannya. Saat Pemilu Presiden 2014 dan kasus penistaan agama yang menyeret mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mencuat, Surya membuat meme untuk membelanya.

"Gue memang mencoba netral, tapi kadang susah juga. Gue cuma melihat dari sisi terang; melihat masyarakat yang lebih terdampak," ujar Surya.

Bagi Supriyadi, UU ITE bersifat sangat subjektif, tergantung siapa yang mendefinisikan. "Itu sama sekali enggak demokratis. Orang yang dikritik jangan pakai instrumen kekerasan negara yang berujung pidana," pungkas Supriyadi