FYI.

This story is over 5 years old.

Views My Own

Musiknya Anak Indie Indonesia Dijamin Orisinal Banget Lho (wkwkwkwk)

Besarnya pengaruh band-band mancanegara ke kancah independen kita kadang merepotkan. Tiap ditanya band apa yang musiknya seru dan khas, saya jadi butuh mikir lama banget.
Ilustrasi oleh Diedra Cavina.

Beberapa waktu lalu saya berkirim pesan dengan salah seorang teman dunia maya yang bermukim di Amerika Serikat. Kami ngobrol ngalor ngidul membahas sebuah band hardcore asal Los Angeles, Hoax. Percakapan lewat message Facebook itu berlangsung cukup intens.

"Hoax lagi naik daun ya di mana-mana. Di Indonesia banyak banget yang lagi suka main mid-paced tempo hardcore gitu. Kiblat hardcore sekarang banyak yang ke Amerika Serikat," kata saya buat basa-basi.

Iklan

"Sebenernya engga masalah kalau band-band di sono suka sama band hardcore asal AS, tapi lebih keren kalau mereka bisa do their own thing," balas temen saya. Kata-katanya segera disusul pertanyaan apa kira-kira band Indonesia, terutama dari kancah independen, yang seru dan musiknya segar, tanpa harus terdengar menjiplak abis gaya bermusik band-band yang udah punya nama di kancah internasional. Perkara perkembangan kancah indie ini penting, karena bisa jadi barometer ekspresi musik yang "luhur", setidaknya lebih tanpa kompromi dan hitungan balik modal. Kalau band arus utama dituding nyontek musik luar, udah biasa lah. Tapi band indie, ga mungkin dong sampai njiplak. Eh, bener gitu kan? Duh, saya jadi mikir lama menjawab pertanyaan teman itu. Ada sih yang keren dan orisinal, tapi ternyata lebih banyak anak skena lokal yang, ehem, hasil rilisannya mirip banget sama band pujaan mereka. Obrolan itu bikin saya tertohok. Kata-kata sobat tadi ada benarnya sih. Sudah 20 tahun mendengarkan musik Indonesia, eh ternyata susah juga mencari musik independen yang sound-nya khas banget.

Saya jadi teringat pola wawancara membosankan antara media musik saat meliput band-band baru dari skena indie. Biasanya akan ada pertanyaan klise dalam berbagai bentuk, yang intinya: "apa harapan kalian ke depan?" (kemungkinan dijawab "semoga bisa diterima oleh blantika musik Indonesia!")

Selain itu, saya selalu menemukan satu lagi pertanyaan standar dalam penulisan musik Indonesia (menjangkiti pula mereka yang nulis musik di VICE Indonesia). "Siapa sih yang ngasih influence musik kalian?" Band tersebut dengan lantang bakal menyebut band-band mancanegara pujaannya: si ini, si itu, si A, si B, si C. Hal itu menuntun saya pada satu kesimpulan krusial: takutnya ada yang salah dengan sebagian band-band lokal kita. Jangan-jangan banyak yang mengidap inferiority complex.

Iklan

Inilah letak masalahnya: pengaruh dari idola bukan berarti sebuah karya yang bisa dijiplak persis, kayak kalian nyontek plek PR sekolah punya temen yang duduk di sebelah bangkumu. Sound yang mirip, struktur lagu yang mirip, atau malah terang-terangan menjiplak riff, masak masih tega kita bilang cuma terpengaruh?

Memang pengaruh eksternal adalah sesuatu yang enggak bisa dihindari. Semua lagu yang didengar, literatur yang kita baca, film yang kita tonton, semuanya hasil internalisasi pengaruh karya seniman sebelum kita, yang secara tidak sadar bakal mengendap dalam alam bawah sadar. Tak bisa dipungkiri.

Makanya, yang justru jadi PR besar bagi para seniman, adalah bagaimana musisi bisa mengolah influence tersebut menjadi sesuatu yang datang dari kontemplasi pribadi yang lebih jujur. Hasilnya, saya bayangkan, akan bisa kita terjemahkan menjadi sound khas dan tidak ada sama sekali kesan meniru walau genre-nya sama.

Persoalan makin ruwet kalau band copycat tadi optimis banget bisa "go international", mantra yang terus saja direproduksi media-media di Indonesia sebagai parameter kesuksesan musisi dalam negeri. Begini fakta kerasnya: Seberapa pun kerasnya band indie bolak-balik ngurus visa di kedutaan agar bisa manggung di SXSW atau festival-festival luar negeri, ga usah ngerasa udah bikin karya adiluhung yang abadi sampai Abad 22, terutama kalau musiknya masih niru abis dari band luar. Harus kita ingat kalau Senyawa ramai diundang tur luar negeri, dibahas media musik mancanegara, jelas bukan karena musiknya cuma shoegaze KW2 yang bertebaran tak ada habisnya di belantara soundcloud dan bandcamp. Membuat musikmu terdengar kayak Beach House atau MBV medioker tidak akan menarik minat pecinta musik beneran.

Iklan

Sebelum saya kembali dilempari batu oleh anak-anak skena setelah dulu pernah nekat nulis artikel pemicu prahara ini, segera aja sekarang dikasih klarifikasi: santai. Musik independen Indonesia tuh orisinal semua karakternya. Nyontek riff? Gile aja lu. Tujuan artikel kali ini justru ingin membuktikan kebalikan tudingan yang terpapar di paragraf sebelumnya. Berikut ini bukti-bukti ketiadaan jiplak-menjiplak musik luar dalam kancah indie Tanah Air:

The S.I.G.I.T vs The Shrine vs Wolfmother

The S.I.G.I.T:

The Shrine:

Wolfmother:

Jangan terburu-buru nuduh njiplak. Rekti mungkin sekadar tergila-gila sama The Shrines, dari fashion, attitude sampai hobi main skate. Bisa jadi itu ngaruh dalam penulisan materi The S.I.G.I.T. Tenang-tenang….

Hurt'Em vs Trap Them

Hurt'Em:

Trap Them:

Musiknya ini mirip sih. Tapi gapapa. Kan namanya beda (dikit).

Bedchamber vs Beach Fossils

Bedchamber:

Beach Fossils:

Kemiripan keduanya justru menguntungkan kita. Dari pada jauh-jauh dan bayar tiket mahal-mahal buat nonton Beach Fossils, mending nonton Bedchamber.

Rusa Militan vs Fleet Foxes

Rusa Militan:

Fleet Foxes:

Serupa tapi tak sama. Setidaknya membangkitkan kecintaan kita pada istilah-istilah bernuansa hewani dan alam.

Bangkutaman vs semua rilisan Sarah Records

Bangkutaman:

Sarah Records:

Rilisan Sarah Records dan The Charlatans dimampatkan dalam satu wadah, hasilnya adalah Bangkutaman. Tak ada salahnya….

Udah ya tenang semuanya. Musik independen kita bebas dari pengaruh berlebih dan jiplak-menjiplak. Huft.

Follow Adi Renaldi di sini. Dia sudah diperingatkan supaya tidak menulis artikel sarkas soal musik lagi (daripada berantem melulu). Redaksi VICE memandang bakat terbesar Adi adalah menulis tentang terorisme dan kisah inspiratif. Tapi biarlah. Anak muda masih doyan tubir.