Bahaya Di Balik Operasi Selaput Dara Untuk Kembali 'Perawan'
Ilustrasi foto oleh Unsplash via Pexels

FYI.

This story is over 5 years old.

Seks

Bahaya Di Balik Operasi Selaput Dara Untuk Kembali 'Perawan'

Kami ngobrol-ngobrol bareng dokter soal meningkatnya permintaan terhadap prosedur operasi kontroversial ini.

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.

"Saya kadang kasihan dengan perempuan-perempuan ini. Mereka mendapatkan begitu banyak tekanan dari anggota keluarga mereka yang laki-laki, dan mereka takut ditolak—atau lebih buruk lagi, menjadi korban dari kekerasan fisik serius dan bahkan pembunuhan," kata dr. Walter*. Selama bertahun-tahun, dokter bedah kosmetik ini telah menyanggupi permintaan pasien untuk meremajakan selaput dara. Perempuan-perempuan ini biasanya Muslim dan maish muda—keperawanan adalah konsep penting dalam Islam, dan Al-Quran secara eksplisit melarang berhubungan seks di luar pernikahan, dalam surat Al-Isra (17).

Iklan

Menurut Walter, operasi tersebut tidak diperlukan secara medis. Namun sang keluarga mengharapkan darah di seprei pada malam pertama pernikahan. Pasien-pasiennya biasanya datang menjelang menikah, namun mereka sudah pernah berhubungan seks. Sang dokter bedah ingat ada beberapa pasien yang bahkan datang ditemani pacar-pacar mereka—mereka berdua menjalani ini "bersama-sama." Sang dokter terkadang bertanya-tanya mengapa mereka enggak berbohong saja, misalnya dengan menusuk jarum ke jari lalu memeperkan darahnya ke seprei. "Katanya, mereka mau melakukan hal yang patut dan tepat," dia bilang.
Operasi peremajaan selaput dara—atau hymenoplasty, dalam istilah medis—dapat dilakukan secara rawat jalan dan dalam waktu kurang dari setengah jam. Kalau memungkinkan, selaput dara yang tersisa digunakan untuk operasi. Jaringannya akan tumbuh dalam waktu cepat dan bahkan bisa ada pembuluh darah yang bisa menyebabkan pendarahaan saat berhubungan seks. Meski hal itu tidak benar-benar bisa dijamin. Selaput dara adalah membran tipis yang menutup sebagian jalan masuk ke vagina, dan fungsi membran ini berbeda-beda pada setiap perempuan. Ada perempuan-perempuan yang masih punya selaput dara bahkan setelah berhubungan seks pertama kali; dan sebaliknya, ada perempuan-perempuan yang selaput daranya sudah robek sebelum berhubungan seks. Ide bahwa penis harus mencoblos selaput dara supaya bisa memasuki vagina amat keliru, dan merupakan padangan patriarkis terhadap hubungan seks. Selaput dara tidak wajib robek saat berhubungan seks, itulah mengapa bisa jadi sang perempuan tidak berdarah meski sudah menjalani operasi.

Iklan

Menurut sebuah survei yang diadakan Pro Familia pada 2013, kisaran setengah dari seluruh perempuan tidak berdarah saat berhubungan seks pertama kali. Organisasi ini menyampaikan bahwa hal ini adalah mitos keperawanan yang telah diturunkan dari satu generasi ke generasi lain. "Dokter-dokter [yang menangani] kasus-kasus operasi peremajaan selaput dara merasakan dilema: Mereka tidak ingin perempuan-perempuan menjalani operasi ini, atau untuk mengukuhkan mitos-mitos dan perilaku membenci perempuan. Tapi di sisi lain, mereka sadar bahwa operasi ini dapat menyelamatkan perempuan dari konsekuensi serius."

Sebagian besar pasien takut keluarga mereka akan menolak mereka jika sejarah hubungan seksual mereka terkuak, ujar Walter, itulah mengapa dia menangani operasi-operasi ini. Kalau hal ini dapat melindungi sang perempuan, prosedur medisnya dapat dibenarkan. Bayarannya adalah rasa syukur dari pasien-pasiennya. Sang keluarga pasien biasanya kurang bersyukur. Walter telah menerima ancaman mati di masa lalu. "Terkadang, saudara laki-laki atau sepupu laki-laki menelepon dan nanya apa yang terjadi. Kami juga jadi berada dalam bahaya." Tekanan pada dokter-dokter dan pasien tersebut amat besar. "Perempuan-perempuan menghubungi kami dari nomor berbeda-beda," ujar Walter. "Mereka mengambil rute memutar untuk k sini." Menurut sebuah penelitian Dutch Society of Obstetricians and Gynecologists mengenai perempuan-perempuan yang mencari operasi peremajaan selaput dara, 12 persen di antaranya berkata mereka takut akan potensi pembunuhan mengerikan, dan 6 persen di antaranya mencoba bunuh diri karena mereka tak lagi perawan. Penting juga untuk dicatata bahwa satu dari setiap tiga perempuan tidak kehilangan keperawanan mereka seizin mereka, tapi karena pemerkosaan atau paksaan. Peneliti mengikuti 82 perempuan dalam proses konsultasi untuk operasi peremajaan selaput dara di dua klinik berbeda di Amsterdam. Tujuan mereka adalah untuk membuat panduan yang dirancang untuk mendampingi dokter-dokter yang menangani prosedur tersebut. Pasien dan dokter kini diwajibkan bertatap muka empat kali sebelum menjalankan operasi, karena peneliti menemukan bahwa lebih dari setengah pasien tidak punya pengetahuan soal alat reproduksi perempuan dan memiliki asumsi-asumsi keliru soal selaput dara, termasuk ide yang umum bahwa ini adalah membran yang menutup jalur masuk vagina sepenuhnya. Sebagain besar dari mereka juga takut bahwa seorang laki-laki dapat mengetahui status keperawanan mereka saat berhubungan seks.

Meski para dokter memahami bahwa perempuan-perempuan ini membutuhkan bantuan, solusinya tak selalu prosedur medis. Dalam penelitian tersebut, perempuan diberikan pilihan untuk mengerutkan otot panggul untuk mengesankan vagina yang rapat. Mereka juga menerima tawaran sebotol kecil darah yang mereka bisa gunakan di sprei mereka. Pilihan lain adalah memasukkan sejenis pewarna ke dalam vagina sebelum berhubungan seks.

Namun pilihan-pilihan ini tidak melulu berhasil, ujar Walter. Beberapa perempuan diancam akan diuji keperawanannya dengan membawanya ke dokter atau anggota keluarga di kampung halaman mereka, sementara keluarga lainnya mewajibkan "sertifikat keperawanan."
"Suatu waktu, semua panitia pernikahan mendatangi rumah sakit saya pada malam hari dan mereka minta saya mengkonfirmasi, lewat sebuah tes, bahwa sang penganting perempuan masih perawan," kata dr. Michael P. Lux, dokter senior di Women's Hospital di Erlangen, Jerman. "Saya mengajak perempuan tersebut masuk ke ruang pemeriksaan, dan menyuruh yang lainnya menunggu di luar. Kami lalu ngobrol-ngobrol. Setelah lima menit, saya umumkan saja bahwa dia perawan." Fakta bahwa dokter tidak bisa menentukan apakah seorang perempuan masih perawan, adalah hal yang tak relevan. Pada saat itu, Lux bilang, tugasnya sebagai dokter adalah melindungi perempuan ini dari bahaya. Sayangnya, Walter bilang, dokter yang mengadakan operasi ini membutuhkan perlindungan juga. Dia tidak tahu berapa lama lagi dia akan terus menerima pasien-pasien ini. Permintaannya besar, dan besar pula keputusasaan mereka. Forum-forum medis dipenuhi orang-orang yang meminta tolong, kadang mencari dokter bedah yang bisa menyimpan rahasia, atau sertifikat keperawanan untuk calon mertua. Dokter-dokter menggunakan forum ini untuk menghubungi pasien-pasien secara anonim. Salah satu pasien Walter menemukan Walter lewat pekerja sosial dari Somalia yang juga pasien Walter. Dia adalah korban mutilasi alat kelamin di kampung halamannya dan bahkan meminta operasi peremajaan selaput dara. Dalam beberapa tahun terakhir, ada peningkatan jumlah pengungsi dari negara-negara Afrika yang meminta prosedur ini; Walter menjalankannya secara cuma-cuma. Namun, urusannya berbeda untuk penyedia layanan. Pasien-pasien perlu lebih berhati-hati supaya tidak ditangani dokter yang salah; Pro Familia mewanti-wanti bahwa praktik privat khususnya menerima pasien untuk keuntungan, dan menuntut ongkos ribuan euro per operasi, apalagi untuk pasien rawat jalan. Setiap prosedur memiliki risikonya sendiri, ujar Lux. Luka, penurunan kepekaan, dan infeksi dapat muncul sebagai dampak operasi yang salah. Kelamin memiliki banyak syaraf sensitif lebih dari bagian tubuh lainnya. Dan tidak ada prosedur standar untuk operasi peremajaan selaput dara—sejauh ini, dokter-dokter telah melatih diri sendiri. Lux bilang pasien sebaiknya memastikan mereka mencari perawatan oleh ahli medis atau dokter bedah plastik berpengalaman. Karena istilah "dokter bedah plastik" tidak dilindungi di Jerman, dokter manapun bisa mengaku-ngaku meski tak punya pengalaman.
Meski begitu, panduan di Belanda menyarankan tidak melakukan operasi tersebut kecuali ini adalah pilihan terakhir—dengan pendidikan, banyak perempuan putus asa bisa dibujuk untuk memilih hal lain yang tersedia. Bagaimanapun juga, bahkan istri pertama Nabi Muhammad bukan perawan saat mereka menikah—dia sudah memiliki dua mantan suami dan tiga anak saat mereka berjumpa.

* Nama telah kami ganti untuk melindungi identitas Walter.