Kami Menemui Ahli Perkotaan, Memastikan Upaya Mengurai Kemacetan Jakarta Bukan Omong Kosong
Foto oleh Charles Wiriawan/Flickr/creative commons

FYI.

This story is over 5 years old.

Berita

Kami Menemui Ahli Perkotaan, Memastikan Upaya Mengurai Kemacetan Jakarta Bukan Omong Kosong

Kemacetan di Jakarta merupakan salah satu yang terburuk di dunia. Kami menemui Marco Kusumawijaya, mencari tahu adakah optimisme bagi megapolitan padat ini di masa mendatang.

Terjebak kemacetan parah adalah persoalan kronis para penglaju di Jakarta. Berdesak-desakkan dalam gerbong kereta rel listrik atau bus antar kota tanpa kejelasan waktu tempuh. Dari rumah menuju kantor atau sebaliknya saban hari, membuat rata-rata warga Jakarta menghabiskan 400 jam setahun terjebak macet. Survei menunjukkan kemacetan Ibu Kota Indonesia ini yang terburuk di dunia.

Kemacetan jalan itu diperparah proses gentrifikasi pinggiran Jakarta, misalnya di Cibubur atau Sawangan Depok, yang kini dihuni kalangan menengah ke atas. Arus mobil dari luar kota semakin bertambah. Dampak lainnya, hunian yang harganya terjangkau bagi kelas menengah ke bawah semakin jauh dari tempat kerja. Transportasi umum buruk. Belum lagi persoalan banjir musiman. Ketinggian tanah yang terus menurun. Banyak sekali persoalan yang mengancam kualitas hidup penghuni Jakarta.

Iklan

Daftar tersebut bisa jadi bertambah panjang. Yang jelas dengan jumlah penduduknya yang mencapai 30 juta jiwa, megapolitan terpadat kedua di dunia setelah Tokyo ini masih jauh dari ramah pada penghuninya.

VICE menemui Marco Kusumawijaya, seorang aktivis dan pendiri RUJAK Center of Urban Studies— yang berulang kali kritis terhadap pelbagai kebijakan pemerintah DKI— membahas pertanyaan penting namun sering terlupakan: apakah ada masa depan yang lebih baik dalam bidang transportasi dan arus komuter untuk megapolitan ini?

VICE: Dari segi infrastruktur transportasi umum bisa dibilang Jakarta ketinggalan dari negara-negara lain. Jalanan kadung ruwet. Apakah sudah terlambat membenahi Jakarta?
Marco: Tidak ada kata terlambat. Kita tidak tahu kota ini kapan bakal berakhir. Persoalannya kita belum memiliki kebijakan-kebijakan yang berdasarkan pada fakta dan data. Yang terpenting, makin cepat makin baik. Kita butuh kepekaan, pengetahuan dan inisiatif dari siapa saja.

Kita juga perlu menyadari kekuatan kita dan tantangannya. Jabodetabek ini sudah menjadi suatu kenyataan secara fungsional. Indikasi yang paling gampang adalah sekitar 3,5 juta komuter setiap hari.

Penduduk berduyun-duyun memasuki Jakarta setiap hari karena hunian terjangkau semakin jauh dari lokasi kerja. Sejauh mana pemerintah mengelola mobilitas penduduk ini?
Kita itu engga cuma harus mengurus tempat saja tapi juga harus mengatur flow. Karena biasanya orang mikir mengurus kota itu mengurus sesuatu yang tetap, mengurus ruang terbuka yang baik, mengurus fasilitas. Padahal kita juga harus mengurus manusia yang terus bergerak. Dalam seluruh wacana perkotaan, kata mobilitas itu adalah kunci. Mobilitas itu sendiri ada negatifnya, karena menimbulkan biaya lingkungan yang tinggi. Itu yang kita sering lupa hitung. Biaya mobilitas itu membawa biaya lingkungan yang ditanggung bersama.

Iklan

Biaya mobilitas ini otomatis timbul dari jarak?
Setiap generasi bakal memiliki hunian yang semakin jauh. Kenyataan ini tidak dibaca dan tidak dikelola dengan baik oleh pemerintah. Masalahnya bukan pada perubahan kebijakan, tapi mentalitas si pembuat kebijakan publik. Pemerintah itu perlu untuk terus memantau. Tidak ada itu istilah membangun kota sekali jadi.

Lantas bagaimana idealnya jika jarak tempat tinggal–kantor semakin jauh, sementara moda transportasi belum memadai?
Biaya transportasi idealnya kurang dari 10 persen gaji. Kita harus menurunkan biaya transportasi ini supaya kesejahteraan tinggi. Ilmu tata ruang berupaya agar kita memiliki kesempatan untuk tinggal dekat dengan tempat kerja yang harganya tidak berbeda jauh dengan hunian di pinggir kota. Agak ironis memang, peraturan negara ini mewajibkan gedung untuk menyediakan lahan parkir, tapi kenapa tidak wajib menyediakan tempat tinggal untuk karyawan?

Mobil itu jangan dimanjakan sehingga menjadi saingan angkutan umum. Yang rugi itu bukan orang per orang, tapi seluruh kota. Saat ini pemerintah sangat tergantung dari pemasukan pajak kendaraan. Mereka percaya bahwa pajak tersebut bisa untuk membangun kota. Ini lingkaran setan.

Bagaimana dengan proyek MRT yang sedang berjalan?
Saya terus terang belum bisa menebak dengan tepat, tapi menurut saya proyek tersebut tidak cukup. Tidak akan signifikan mengurangi macet. Membangun infrastruktur tidak akan pernah cukup. Kita perlu mengubah pendekatan. Selama ini apapun kebutuhan atau permintaan kita kemudian dipenuhi. Sementara karena tidak ada permintaan, lantas didiamkan saja. Permintaan ini harus dikelola. Dalam ilmu transportasi ada itu demand management.

Setiap memasuki masa kampanye pilgub, isu tata kota Jakarta jadi senjata menarik massa. Bagaimana pendapat Anda?
Ada kecenderungan populisme yang berbahaya, yang mengacu pada pemerintahan yang sekarang. Yang kedua, orang Cuma melihat hasil di permukaan tanpa melihat gambaran besar. Itu mungkin ada pengaruh dari politik berdasarkan citra. Jangan cuma berdasarkan pengalaman-pengalaman subjektif. Tapi masyarakat juga harus melihat data. Kota ini telah berkembang menjadi sangat besar dan melampaui batasan-batasan subjektif kita. Jangan cuma karena kamu melihat jalanan bersih lantas menganggap permasalahan sampah di Jakarta ini selesai. Intinya jangan mengambil kesimpulan berdasarkan anecdotal subjective experience sebagai argumen untuk pengelolaan kota.

Artinya Pemerintah DKI bertahun-tahun terlambat mengantisipasi isu krusial terkait kualitas hidup penghuninya?
Bisa dibilang begitu. Yang mengasuh tidak pakai ilmu pengetahuan, cuma berdasarkan mistik dan mitos. Ya mitos-mitos seperti rumah susun itu baik. Di mana baiknya? Intinya baik itu bukan cuma soal fisik. Lahan memang terbatas, tapi perkaranya bukan soal membangun secara vertikal, tapi menambah luas lantai dan membaginya secara lebih adil dengan sistem. Di Jakarta banyak apartemen tinggi, tapi itu tidak menyelesaikan masalah karena sifatnya spekulatif. Jadi jangan terjebak pada pemahaman 'Jakarta perlu lebih tinggi'.