Sastra Indonesia

Film Kontroversial Bikin Kita Sadar Marak Puisi Gadungan Penyair Tenar di Internet

Jangan asal googling puisi dari internet. Sutradara film “Binatang Jalang” sampai minta maaf, usai sejumlah sastrawan di medsos protes melihat puisi Chairil Anwar gadungan masuk filmnya.
Film pendek "Binatang Jalang" disorot karena masukkan puisi chairil anwar gadungan
Foto  penyair Chairil Anwar daridomain publik; ilustrasi buku puisi romantis via unsplash

Sebuah film pendek Indonesia yang diklaim bergenre “film puisi” berjudul Binatang Jalang terpaksa diedit ulang, karena salah mencantumkan puisi. Diangkat dari kumpulan puisi karya penyair terbesar Indonesia Chairil Anwar, Binatang Jalang, film tersebut turut memuat satu puisi Chairil berjudul “Cinta dan Benci”.

Masuk kutipan puisi itu bikin sejumlah pembaca Chairil yang tekun bertanya-tanya, “kapan Chairil Anwar nulis puisi jelek gini dah?”

Iklan

Kesalahan fatal ini terbongkar ketika ulasan Binatang Jalang tayang di harian Kompas, Minggu (24/1) lalu. Ulasan tersebut menyebut sisi menarik film itu yang memakai baris-baris sajak Chairil sebagai dialognya, dengan puisi “Cinta dan Benci” sebagai pembuka.

Tautan artikel tersebut dibagikan ke media sosial, salah satunya oleh akun Facebook Tatan Daniel. Tujuannya sih ngasih selamat karena sutradara sekaligus penulis skenario Binatang Jalang yang bernama Exan Zen adalah teman si pemilik akun.

Komentar segera berdatangan. Kebanyakan ngasih selamat, tapi salah satu akun bernama Teja Purnama memutuskan bertanya, “Apa iya Chairil ada menulis ‘Cinta dan Benci’ itu? Apa Abang nggak merasa aneh membacanya?”

Biar kamu punya gambaran puisi yang dibilang aneh tersebut, kami tampilkan dua dari tujuh bait puisi tersebut.


Tapi sekarang aku tahu

Bahwa cinta dan benci adalah saudara

Yang membodohi kita, memisahkan kita

Sekarang aku tahu bahwa

Cinta harus siap merasakan sakit

Cinta harus siap untuk kehilangan

Cinta harus siap untuk terluka

Cinta harus siap untuk membenci


Sejumlah sastrawan dan pembaca Chairil jadi bingung karena selama ini tak tahu dalam 26 tahun hidup Chairil Anwar ia sempat menulis sajak “Cinta dan Benci”. Padahal semua karya Chairil didokumentasikan rapi oleh kritikus sastra legendaris H.B. Jassin.

Iklan

Dari segi bahasa, “Cinta dan Benci” dianggap terlalu anakronistik karena berbeda banget dari pola pemilihan diksi Chairil yang selama ini dikenal. “Mungkinkah ini puisi Anwar Congo?” sutradara Rahung Nasution sampai nanya gitu.

Sebagai terdakwa, Exan Zen sempat melancarkan permainan bertahan. “Banyak sumbernya [yang menyebut ‘Cinta dan Benci’ karangan Chairil]. Bisa googling. Gak semua puisi penyair bisa ada di Wikipedia,” tulis Exan lalu membagikan tautan makalah dan artikel internet. Tapi kemudian warganet lain menemukan blog yang memuat puisi tersebut pada 2014 disertai keterangan “[…] kumpulan puisi cinta karya saya ini terinspirasi dari puisi-puisi Chairil Anwar. Selamat menikmati. Maaf, bagi yang merasa tertipu.” Ngeselin banget.

Polemik puisi gadungan ini akhirnya cuma bertahan tiga hari. Kemarin, Exan Zen membuat pernyataan terbuka di Facebook-nya. Pertama, doi minta maaf udah salah masukin puisi orang lain yang dikira buatan Chairil Anwar itu ke filmnya. Kedua, Exan mengakui dia menemukan puisi tersebut bermodal googling tanpa melakukan verifikasi. Ia juga menyatakan akan membuang bagian puisi itu dari Binatang Jalang, membuat film tersebut dipendekkan dari durasi 22 menit menjadi 15 menit.

Kasus puisi gadungan juga pernah menimpa penyair Sapardi Djoko Damono. Pada 2011, sajak “Aku Ingin”-nya yang sangat terkenal sempat dituduh memplagiat puisi “Lafaz Cinta”, konon karangan penyair Kahlil Gibran. Penulis Ilham Q. Moehiddin lalu menelusuri kebenaran tuduhan itu. Hasilnya, Sapardi tidak memplagiat karena Kahlil juga enggak pernah nulis puisi “Lafaz Cinta”. Terus kok bisa sampai ada yang ngira puisi tersebut aslinya bikinan Gibran? Ilham menduga ini ulah blogger geje yang nyantumin puisi “Aku Ingin” tapi kreditnya ditempelin ke Gibran.

Iklan

Walau bukan kasus salah kredit, polemik puisi juga menghantui karya-karya penyair sufi Persia Jalaluddin Rumi. Syair Rumi yang ditulis dalam bahasa Persia mendunia berkat terjemahan ke bahasa Inggrisnya. Masalahnya, salah satu penerjemah Rumi yang paling terkenal bernama Coleman Bark mengedit banyak sekali bagian puisi-puisi Rumi, membuat puisi tersebut bukan cuma kehilangan nuansa keislamannya, tapi juga bikin artinya meleset jauh. 

Kasus ini sempat ramai dibincangkan di Twitter pada 2020. Saat dikonfirmasi New Yorker, dosen kajian Islam dan Timur Tengah dari Duke University Omid Safi sampai melabeli tren New Age yang mengadaptasi khazanah Timur ke Barat tapi menghilangkan khazanah sipiritualnya sebagai “kolonialisme spiritual”.

Kasus-kasus di atas perlu dijadikan pengingat buat kamu yang suka menyimpan kutipan-kutipan puitis penyejuk hati dari internet. Yah, kalau kutipan Ali bin Abi Thalib yang kamu bookmark di IG itu bisa nenangin patah hati, gapapa deh sumbernya ga jelas.

Cuma kalau urusannya buat dipublikasi ulang, apalagi sampai jadi bahan karya macam film atau tulisan ilmiah, mending capek memverifikasi asal-muasal kutipan itu ketimbang malu di belakang. Tetaplah mengingat wejangan filsuf Prancis Albert Camus (yang pastinya saya bikin sendiri karena emang semudah itu main klaim zaman sekarang), “Nyari tahu informasi enggak di base twitter juga kali.”