Penistaan Agama

Pasal Penodaan Agama Masih Jadi Momok, Dalam 2 Hari YouTuber dan Pendakwah Ditangkap

Muhammad Kece dan Yahya Waloni dianggap melecehkan ajaran Islam maupun Kristen. Problemnya, peneliti HAM menyebut pasal ini malah cenderung suburkan intoleransi
Ustaz Yahya Waloni dan YouTuber Muhammad Kece ditangkap polisi dengan pasal penodaan agama
YouTuber Muhammad Kece yang dituding menistakan Islam [kiri] foto dari screenshot akun MuhammadKece; penceramah Yahya Waloni [kanan] dituding menistakan Kristen. Foto dari tangkapan layar akun YouTube DSU

YouTuber Muhammad Kosman alias Muhammad Kece jadi buah bibir sepekan terakhir. Ia ditangkap polisi di Bali, tempatnya bermukim, setelah siaran langsungnya di YouTube kerap menuai polemik gara-gara dianggap menistakan Islam. Mulai dari menyelipkan kata “Yesus” di salam pembuka khas ajaran muslim, sampai mengatakan kalau Muhammad, nabi terakhir dalam ajaran Islam, ternyata dekat dengan jin. Cara bicaranya yang blak-blakan bikin sebagian umat Islam resah. 

Iklan

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Anwar Abbas salah satunya, meminta aparat segera menangkap Muhammad Kece. “Saya meminta kepada pihak kepolisian untuk segera memproses yang bersangkutan karena yang saya yakini dan percaya UU yang ada di negeri ini sudah ditabrak dan sudah banyak dilanggar oleh bersangkutan,” kata Anwar dalam keterangan resminya, dikutip dari Kumparan, Minggu (22/8) kemarin. 

Dari pernyataan Anwar, Tim Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri bergerak dan memerlukan waktu empat hari untuk membawa Kece ke kantor polisi. Awalnya, aparat tak menemukan Kece di rumah kontrakannya di Kabupaten Badung, Bali. Belakangan ia tertangkap kala bersembunyi di area persawahan. Atas tindakannya, ia dijerat UU ITE dan KUHP Pasal 156. Pasal terakhir adalah beleid yang pernah menjerat mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dengan ancaman lima tahun penjara.

Kuasa hukum Muhammad Kece, Sandi Situngkir, memberi informasi perkembangan kasus. Kepada media, Sandi menjelaskan kliennya tidak diperbolehkan polisi untuk bertemu dengan keluarganya.

“Kami, kuasa hukum yang telah ditunjuk keluarga, ternyata setelah lima jam menunggu di ruang Siber, tidak diizinkan ketemu Pak Kece. Meskipun jadwal kami hari ini sudah dikonfirmasi sebelumnya dan penyidik menyampaikan, ‘Silakan datang membawa surat kuasa.’ Tapi pada kenyataannya, kami sudah membawa anak dan istrinya sampai sekarang tidak jadi juga pertemuan itu,” kata Sandi, dilansir Media Indonesia

Iklan

Sandi juga mendapatkan informasi dari polisi bahwa kliennya menolak meminta maaf saat pemeriksaan sebab ia hanya berbicara tentang apa yang diketahuinya tentang agama Islam. Sandi meminta Menteri Agama menjadi pihak yang mendesak MUI agar mau melakukan dialog dibandingkan harus masuk ranah hukum. “Kita tidak setuju penistaan agama dilakukan proses hukum” kata Sandi.

Belum selesai masalah Muhammad Kece, sehari setelah ia ditangkap Tim Bareskrim Polri juga menciduk terduga penista agama lain, Yahya Waloni. Pendakwah ini dilaporkan komunitas Masyarakat Cinta Pluralisme sejak 27 April lalu karena rekaman ceramahnya yang menyebut Injil palsu.

Yahya juga dijerat UU ITE dan KUHP Pasal 156a tentang penodaan agama. “Ya, benar [ditangkap]. Penodaan agama,” kata Karopenmas Mabes Polri Rusdi Hartono, dilansir dari CNN Indonesia. Setelah sehari diperiksa, Yahya ditetapkan sebagai tersangka Jumat (27/8) ini.

Iklan

Menanggapi kasus Kece dan Yahya, Menag Yaqut Cholil terlihat mendukung kriminalisasi ini. “Jadi, siapa pun pelakunya dan dari agama mana pun, semua penghina simbol agama harus diproses hukum,” ujar Yaqut dalam rilis resminya hari ini (27/8).

Pelaksanaan aturan penodaan agama di Pasal 156 dan 156a dalam KUHP memang kontroversial. Namun, tiga kali upaya publik menggugat pencabutan pasal ini ke Mahkamah Konstitusi selalu ditolak. Organisasi Human Rights Watch (HRW) menyebut pasal ini sering digunakan sebagai alat menyudutkan, mengadili, dan memenjarakan anggota kelompok agama minoritas.

Pada 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggunakan pasal ini untuk menghukum gerakan spiritual Komunitas Eden. HRW juga mencatat korban datang dari kalangan penganut agama tradisional di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Peneliti HRW Andreas Harsono menilai, menangkap orang yang dianggap menghina Islam atau menghina Kristen takkan ada ujungnya. Sebab, debat ranah teologi berbasis dogma, bukan sesuatu yang bisa dibicarakan tanpa melibatkan aspek emosional. Pasal ini juga kontradiktif dengan realitas keberagaman penganut agama di Tanah Air.

“Pemerintahan Presiden Jokowi harus berani menghapus pasal penodaan agama. Lebih dari 70 persen negara di dunia tak punya atau tak pakai hukum penodaan agama,” ujar Andreas saat dihubungi VICE.

“Celakanya, dalam rancangan UU Hukum Pidana, Pasal Penodaan Agama bukan dihilangkan, tapi [malah] ditambah. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menag Gus Yaqut harus berani belajar dari Gus Dur yang tegas bilang bahwa pasal penodaan agama harus dihapus dari Indonesia. Ia bertentangan dengan konstitusi dan menghambat pembangunan nation-state.”

Apabila terus dipertahankan, pasal penodaan bisa menumbuhkan bibit intoleransi di negara ini. “Intoleransi bisa bikin orang stres, tak nyaman berada di lingkungan dengan suasana intoleran. Ia [intoleransi] tak harus menjadi ketegangan atau kekerasan, tapi suasana yang tak nyaman [akan membuat masyarakat] sulit bangun kepercayaan,” tutup Andreas.