FYI.

This story is over 5 years old.

The VICE Guide to Right Now

Pemerintah Malaysia Ancam Penjarakan Admin Grup Whatsapp Penyebar Hoax dan Berita Palsu

Persebaran informasi di aplikasi pesan itu sekarang diatur memakai UU Komunikasi dan Multimedia Negeri Jiran yang kontroversial.
Foto oleh Marco Verch via Flickr Creative Commons.

Kalian punya kenalan kawan yang suka menyebar pesan berantai atau meme-meme bernuansa hoax? Adakah saudara kalian sering membagi tautan berita dari situs abal-abal? Ingatkan mereka agar tidak bermukim di Malaysia. Pemerintah Malaysia mengumumkan ancaman pidana penjara bagi pengguna Whatsapp gemar menyebar hoax dan berita palsu. Media-media lokal di Negeri Jiran melaporkan, pemerintah setempat merasa persebaran informasi menyesatkan lewat beragam media, termasuk grup Whatsapp, merupakan ancaman bagi stabilitas nasional.

Iklan

"Jika admin sebuah grup Whatsapp terlibat langsung dalam persebaran informasi keliru, atau membiarkan ada tindakan seperti itu, maka dia akan bisa dianggap terlibat dan dihukum," kata Johari Gilani, Wakil Menteri Komunikasi dan Multimedia Malaysia.

Polisi berencana menjerat penyebar hoax dan berita palsu memakai beleid yang disahkan sejak 1998. UU Komunikasi dan Multimedia (CMA) selama nyaris dua dekade terakhir rutin dipakai untuk memblokir situs-situs dianggap mengkritik pemerintah. Baru sekarang UU ini diterapkan pada aplikasi berbagi pesan whatsapp. Pegiat Hak Asasi Manusia menganggap beleid tersebut penuh pasal karet yang hanya menguntungkan pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak dan Partai Barisan Nasional yang menguasai parlemen.

"Selama ini CMA menjadi dasar pemerintah memblokir situs menyajikan laporan korupsi, menutup radio yang menggelar diskusi tentang isu-isu penting bagi masyarakat, serta memenjarakan orang yang mengkritik pemerintah lewat media sosial," demikian kutipan laporan Human Rights Watch menyoroti kebebasan berekspresi di Malaysia.

CMA sebetulnya hanya mengikat pada lembaga penyiaran. Atas dalih memerangi hoax, Polis Diraja Malaysia memperluas tafsir atas kriteria lembaga tadi. Pengguna Whatsapp sekarang dimasukkan kategori "penyedia informasi perorangan". Alhasil, penjara siap menanti jika seorang pengguna whatsapp dianggap menyebar "hal-hal cabul, keliru, fitnah, merundung, serta mengancam keselamatan orang lain." Karena dari awal CMA adalah beleid penuh pasal karet, tindakan polisi memperluas kriteria siapa yang bisa dijerat pasal pidana dari UU tersebut sah-sah saja.

Iklan

"Sejak awal memang kalimat di undang-undang ini dirancang membuaka ruang tafsiran seluas-luasnya untuk menyesuaikan kepentingan pemerintah," kata Syahredzan Johan, pengacara yang sering menangani klien korban CMA.

Selain CMA, beleid lain dianggap biang kerok kebebasan berpendapat di Malaysia adalah UU Makar. Kedua dasar hukum itu sering menjadi pijakan aparat Negeri Jiran membungkam semua suara-suara yang berseberangan. Bagi Syahredzan, niat dari ancaman pidana bagi penyebar hoax di Whatsapp lebih untuk membungkam kritik pada pemerintah, bukan melindungi masyarakat.

"Semua ini hanya menegaskan bila semua jenis media dikontrol ketat oleh pemerintah," ujarnya. "Di Malaysia, hanya Internet satu-satunya saluran bagi rakyat bisa beropini negatif tentang pemerintah. Sebab kini orang semakin sadar tentang hak-haknya dan lebih bebas bersuara lewat Internet."

Pendukung kebebasan pers di Malaysia sejak lama mengalami tekanan dalam berbagai bentuk. Berbagai jenis media massa, termasuk televisi, harus memperoleh izin terbit oleh pemerintah. Izin ini dapat dicabut sewaktu-waktu tanpa alasan. Ketika media arus utama dibungkam, media online mengambil peran. Itupun sangat tidak leluasa. Dua situs berita paling berani mengkritik sepak terjang pemerintah adalah Sarawak Report dan Malaysia Insider. Keduanya berulang kali diblokir.

Dua tahun belakangan, lantaran media arus utama hanya memberitakan yang serba positif tentang pemerintah, rakyat Malaysia beralih ke media sosial untuk mencari informasi pembanding. Sadar mulai muncul benih-benih perlawanan di sosmed, pemerintah Malaysia memperluas cakupan CMA untuk mempidanakan pengkritik negara di Twitter dan Facebook. Seniman Fahmi Reza telah menjadi korban pasal karet itu. Dia sempat mengunggah karikatur PM Najib memakai baju badut di sosmed pribadinya. Fahmi segera dijerat CMA dan UU makar sekaligus, membuatnya terancam penjara minimal tiga tahun.

Iklan

"Saya akui pemerintah Malaysia pandai sekali mengutak-atik hukum untuk membungkam kritik," kata Reza saat diwawancarai SBS Australia, di sela kunjungan ke Melbourne beberapa waktu lalu.

Melihat lanskap suram kebebasan berekspresi di Negeri Jiran, wajar bila setahun belakangan Whatsapp jadi arena pertarungan wacana baru. Banyak orang berbagi informasi—termasuk yang menyudutkan pemerintah—lewat aplikasi buatan Jan Koum tersebut. Whatsapp dianggap aman, karena menerapkan sistem enkripsi dari dua sisi, menjamin kerahasiaan percakapan.

Apa lacur, pemerintah Malaysia melihat peluang untuk ikut mengatur percakapan paling privat antar warganya. Semua gara-gara sisi lain Whatsapp yang memang jadi ladang subur penyebaran meme, berita palsu, dan pesan berantai hoax.

Ancaman pemerintah Malaysia telah membuat sebagian admin grup Whatsapp resah. Grup-grup yang banyak menyinggung politik kini siap-siap tiarap untuk sementara waktu. "Kalau begini caranya saya bisa dilaporkan siapapun," kata Saleha, salah satu admin kelompok whatsapp yang diikuti banyak orang, seperti dilansir The Star Online. "Bisa saja kan ada pengkhianat di grup kami."

Salah satu pencetus ide memenjarakan admin grup whatsapp penyebar hoax adalah Mohd Yusof Abdul Rahman, selaku Wakil Presiden Asosiasi Konsumen Malaysia. Dia bilang admin yang harus dihukum berat, karena mereka yang bisa mengatur lalu lintas percakapan grup. Selain itu, Yusof mengklaim pemakaian ancaman pidana bagi penyebar hoax sudah ada presedennya di negara lain. "Di India belum lama ini telah disahkan UU yang akan memenjarakan orang menyebar fitnah dan berita palsu lewat Whatsapp," ujarnya.

Yusof memang tidak bohong. Parlemen India awal Maret 2017 mengesahkan Undang-Undang baru yang mengatur percakapan berbasis aplikasi. Beleid itu, berdasarkan keterangan pemerintah Negeri Sungai Gangga, diperlukan agar masyarakat tidak disesatkan oleh berita palsu ataupun hoax-hoax meresahkan.

Aturan di India beroperasi memakai sistem aduan. Jika admin grup Whatsapp merasa ada yang menyebar hoax atau berita palsu, maka mereka harus melaporkan si penyebar ke kantor polisi terdekat. Apabila hoax ini terlanjur viral, maka si admin yang akan dicokok polisi karena tidak bertanggung jawab.

"Penyebaran hoax adalah tanggung jawab sepenuhnya admin grup karena lalai menjalankan tugasnya," seperti dikutip dari keterangan tertulis Kepolisian India yang dikutip India Times.

Kalau semua negara begini sih, engga ada lagi yang mau menjadi admin. Tugasnya berat, mirip Ketua RT yang tak dapat bayaran, eh sekarang malah diancam masuk penjara.