FYI.

This story is over 5 years old.

Travel

Kami Keluyuran Naik Porsche di Zona Terlarang Bencana Nuklir Fukushima

Sebenarnya engga penting banget sih ke area kebocoran nuklir naik mobil mewah Porsche 911 Carrera. Tapi gimana lagi. Kalau memang mau mendatangi tempat berbahaya seperti itu, sekalian saja sambil bergaya dong.
Semua foto oleh penulis.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Australia

Pada 11 Maret 2011 gelombang tsunami menghantam Prefektur Tohoku, di pesisir timur Jepang. Bencana itu menewaskan 15 ribu orang. Pusat gempa dekat sekali dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daini. Gelombang air laut setinggi 12 meter menghantam tembok pembatas yang cuma 5,7 meter melindungi PLTN. Tsunami tak tertahankan lagi, air membanjiri kawasan reaktor nuklir. Insiden ini tak akan terjadi seandainya pengelola PLTN Fukushima mematuhi saran-saran pakar terkait sistem pengamanan fasilitas reaktor yang sudah disampaikan sejak lama.

Iklan

Imbasnya, saat air bah menerjang, tiga inti reaktor meleleh. Uap raksasa berbentuk jamur, penuh radioaktif, menyebar ke seluruh wilayah sekitar Fukushima. Kota, desa, ladang, semua tercemar radiasi. Lebih dari 170 ribu orang terpaksa diungsikan hari itu juga, hari ketika tsunami menerjang pesisir pantai. Sedikit sekali dari warga diizinkan kembali ke kampung halamannya. Sampai sekarang inti reaktor PLTN Fukushima tercatat masih menyebarkan zat radioaktif ke lingkungan sekitar.

Saya hanya memantau insiden kebocoran nuklir itu dari media massa. Lima tahun kemudian, tak banyak kabar muncul mengenai kondisi Fukushima. Sekarang saya sedang tinggal di Jepang. Akhirnya saya memutuskan berkunjung langsung ke kawasan paling parah terdampak kebocoran nuklir. Saya ingin melihat dari dekat kondisi lokasi Fukushima yang selama ini tak boleh didekati manusia.

Pemerintah Jepang melarang aktivitas turisme di kawasan Fukushima. Saya kesulitan mendapat informasi bagaimana dan naik apa menuju kawasan penuh zat radioaktif itu. Di peta juga tak tercantum rute menuju PLTN. Untungnya saya sempat berbincang dengan seorang pakar nuklir asal Australia yang pernah ke Fukushima. Intinya ada tiga alternatif lapisan pengamanan sebelum kita sampai di wilayah larangan masuk.

Pertama, adalah zona hijau. Di zona ini seseorang bisa menginap satu malam asal memperoleh izin resmi dari pemerintah setempat. Wilayah oranye hanya boleh dikunjungi saat siang hari, lalu polisi akan menyisir kawasan itu ketika sore hari. Tentu saja selanjutnya adalah kawasan merah, tidak ada siapapun yang boleh masuk ke dalamnya.

Iklan

Saya tentu tidak bodoh-bodoh amat menuju lokasi yang tercemar radiasi tanpa perbekalan memadai. Saya membeli perlengkapan seperti sarung tangan, masker berpenyaring udara, kacamata khusus, serta sepatu boot dari toko peralatan rumah tangga di Tokyo. Ini beneran lho, saya membeli semua itu dari bagian toko yang bertuliskan, 'peralatan bencana'.

Fukushima berjarak tiga jam naik mobil dari Ibu kota Tokyo. Sebetulnya, baju pelindung dan masker yang saya beli tidak bisa melindungi diri dari radiasi. Baju sungguhan yang dipakai tim SAR profesional ketebalannya mencapai 2 inchi. Yah, tapi seorang pakar memberitahu bahwa mengenakan baju pelindung tipis setidaknya bisa menghindarkan bahan tercemar radiasi menyentuh langsung kulit kita atau terhirup dalam hidung.

Kami ke Fukushima naik Porsche tipe 911 Carrera. Sebenarnya engga penting banget sih ke area kebocoran nuklir naik mobil semewah ini. Tapi gimana lagi. Kalau memang mau mendatangi tempat berbahaya seperti itu, sekalian saja sambil bergaya dong.

Alat kami menunjukkan tingkat radiasi di Prefektur Fukushima mencapai 0.1–4.1µSv/h. Radiasi rata-rata di kisaran 0.1-0.2µSv/h.

Perhentian pertama kami adalah di Nahara. Lokasi ini masuk kawasan Zona Hijau. Pemerintah Jepang berupaya membuat hunian baru, agar warga kembali tertarik tinggal di sana. Cuma 15 persen penduduk lama bersedia pulang. Karena tak banyak yang bisa dilihat di sini, kami langsung menuju Tomioka, masuk Zona Oranye.

Di jalan menuju Tomioka, kami mulai melihat plang penunjuk arah Reaktor II PLTN Fukushima Daini. Lokasi reaktor II ini lebih dekat dari pusat gempa 2011, tapi kondisinya tak terlalu rusak parah walau diterjang tsunami dan digoyang gempa. PLTN yang inti reaktornya meleleh adalah Reaktor I, di lokasi berbeda. Masih kokohnya Reaktor II menunjukkan desain PLTN ini tangguh menghadapi bencana. Pemerintah Jepang menutup operasional PLTN II sekadara untuk berjaga-jaga.

Iklan

Seperti perkiraan, mobil kami langsung dihentikan oleh polisi setempat. Petugas yang berpatroli memeriksa paspor dan surat-surat kami. Mereka mengizinkan kami lewat, tapi sambil memberi tahu di depan nanti akan dilakukan 'screening'. Benar saja, hanya sekian kilometer kemudian kami dihentikan untuk kali kedua. Awalnya saya pikir bakal dapat hambatan. Betapa terkejutnya saya saat mendengar polisi mengizinkan kami mengunjungi area sekitar PLTN Fukushima.

Polisi awalnya ingin kami mengikuti prosedur dekontaminasi radiasi. Setelah memeriksa mobil, tiba-tiba saja mereka memutuskan kami bisa melenggang lebih lanjut tanpa perlu menjalani prosedur apapun. Seharusnya polisi Jepang tidak membiarkan dua warga negara Australia amatiran seperti kami berkeliaran menyetir mobil mewah dekat reaktor nuklir. Tak ingin membuang peluang, kami segera melaju di jalanan.

Tomioka dulunya lebih padat dibanding Nahara. Orang-orang diizinkan memasuki kawasan ini sebulan sekali untuk kunjungan singkat. Di hari-hari biasa, selain petugas kepolisian, Tomioka menjadi kota mati. Pemerintah Jepang berupaya membersihkan total kontaminasi radioaktif dari kota itu. Artinya adalah membongkar seluruh aspal, trotoar, serta meruntuhkan semua dinding rumah dan bangunan. Tanah setinggi 10-15 centimeter juga dikeruk dari seluruh wilayah Tomioka karena dikhawatirkan sudah terkena radiasi.

Saat kami melewati Tomioka, sampah-sampah pabrik bergeletakan di jalanan. Ada pula bejibun kantong berisi tanah, mengingat ini Jepang, tertata rapi di wilayah bekas tertimpa bencana. Lima tahun setelah tsunami dan kebocoran nuklir, tidak ada warga Tomioka yang kembali. Toko-toko terbengkalai, banyak lokasi masih seperti sedia kala kondisinya saat hari H bencana.

Iklan

Bangunan di Tomioka ini rusah parak akibat terjangan tsunami.

Saya dan fotografer berjalan mengelilingi bangunan SD setempat. Tanaman liar kini menguasai gedung tersebut. Di papan tulis masih terpampang pelajaran hari itu. Saat kami asyik menelusuri gedung SD, ada beberapa polisi mendatangi. Mereka mencatat nama kami, lalu membiarkan dua orang Australia memotret dan jalan-jalan.

Salah satu SD di Tomioka.

Sepatu murid-murid masih tertinggal di loker sejak 2011.

Bangunan sekolah ditumbuhi tanaman liar.

Kami memarkir mobil di luar kios pachinko, mesin judi bola khas Jepang. Saat sedang mengenakan baju pelindung, lagi-lagi, ada polisi setempat yang mendatangi kami. Kami, tentu saja seperti sebelum-sebelumnya, menjelaskan nama kami, tujuan datang ke kota mati ini, lalu membungkukkan badan tanda hormat setelah mereka pergi tak lama sesudah pemeriksaan.

Sebuah tempat judi pachinko kini terbengkalai.

Wajar bila banyak polisi berkeliaran di sekitar Fukushima. Pemerintah Jepang memerintahkan dinas wajib bagi polisi dari seluruh prefektur, setidaknya selama dua minggu, di kawasan bekas bencana radiasi nuklir. Para polisi yang kami temui hari itu rata-rata dari Nayoro di utara Jepang. Mereka terkesan kurang persiapan bertugas di Fukushima. Mereka terkejut saat saya beritahu level radiasi masih cukup tinggi dan sebaiknya mengenakan masker khusus dan baju pelindung jika berpatroli.

Pintu kios Pachinko terbuka lebar. Tidak ada yang memainkan mesin judi bola sejak air bah raksasa itu menerjang kota. Ada uang tunai yang bertebaran di mesin kasir, bungkus rokok dekat mesin judi. Kalender tergantung di dinding, lembarannya masih tertinggal di bulan Maret 2011.

Iklan

Selepas bencana Fukushima, pemerintah Jepang sempat kurang terbuka menjelaskan tingkat radiasi kepada publik. Data resmi yang kami peroleh berasal dari pemeriksaan 2013. Sebuah perusahaan, Safecast, berusaha mengukur tingkat radiasi secara akurat. Alat perusahaan ini bisa langsung mencatat level radiasi, memetakannya secara online.

Tak berapa lama kami sudah kembali menggeber Porsche melewat jalan raya ke arah utara, berbelok di rute menuju PLTN Fukushima. Alat pendeteksi radiasi mencatat angka 7.5 µSv/h, efeknya setara melakukan satu kali prosedur sinar X ke dada orang dewasa saban enam jam sekali. Angka itu terus meningkat semakin kami mendekati kawasan PLTN. Untunglah tingkat radiasi di mobil hanya sebesar 2.5 µSv/h. Kami tidak ingin terus berlama-lama dihentikan oleh polisi. Jadi ketika melihat ada pos petugas di depan mata, kami putar balik.

Futaba, kota yang masuk kawasan Zona Merah, memiliki tingkat radiasi 1.8 µSv/h di luar mobil. Masalahnya suhu kota sore itu sangat panas. Terlalu banyak mobil polisi berpatroli, serta banyak pembatas dipasang di jalan raya. Seandainya kamu ingin tinggal di Futaba sekalipun, peluang tak dicokok polisi sangat tipis.

Di Zona Merah, semua jalan diblokir. Tingkat radiasinya di luar mobil paling tinggi dalam catatan alat kami.

Sampai sekarang belum ada warga sipil yang meninggal karena dampak langsung bencana kebocoran nuklir Fukushima. Tetap saja, ongkos yang harus ditanggung warga Jepang sulit diukur. Warga di beberapa kota harus meninggalkan kampung halamannya, kehilangan seluruh harta benda. Rumah yang tak bisa ditinggali lagi, mata pencaharian yang hilang, serta komunitas tercerai berai. Data resmi hanya menyatakan lebih dari 1.500 orang meninggal saat dievakuasi atau tinggal di penampungan.

Iklan

Sebuah minimarket terbengkalai di Namie.

Di kota yang sudah dinyatakan aman untuk dihuni kembali, seperti Nahara, warga tak tertarik kembali ke sana. Mereka memilih hijrah ke tempat tinggal baru. Warga agaknya ingin melupakan kenangan buruk di Fukushima. Menyedihkan sebenarnya, melihat masyarakat tercerabut dari akarnya, dipicu kelalaian prosedur keamanan sebuah perusahaan.

Kantor Pemadam Kebakaran Kota Namie rusak parah akibat gempa 2011.

Omong-omong, ayah dan ibu saya mungkin khawatir membaca artikel ini. Tenang saja, anakmu ini terpapar radiasi kurang dari 2.7 µSv/h selama keluyuran seharian di Fukushima.

Jumlah radiasi itu setara duduk satu jam di sebuah penerbangan internasional. Aman kan?