FYI.

This story is over 5 years old.

mental health

Pesimisme Tak Selamanya Buruk Lho, Kadang Malah Bisa Menguntungkan

Simak obrolan kami dengan Eugene Thacker tentang pesimisme, obrolan yang jauh lebih manjur dari buku self-help manapun
MHJ / Getty Images

Dunia ini sudah kacrut dari dulu ya? Eugene Thacker, penulis dan dosen kajian media di The New School in New York, berpikir demikian. Buku baru Thacker, Infinite Resignation, mungkin satu-satunya buku filsafat yang bisa dibawa piknik karena isinya yang mudah dibaca. Meski demikian. Kontennya sendiri tak seringan itu. Buku itu bicara panjang lebar tentang pesimisme dan membangun filsafat keputusasaan di dunia yang makin bajingan ini.

Iklan

Jika The Power of Positive Thinking menyalurkan optimisme ala Amerika selepas Perang Dunia II, maka Infinite Resignation—yang mulai beredar 19 Juli lalu—adalah sebuah elegi kontemporer. Kalian tak perlu ribet-ribet kuliah empat tahun di jurusan filsafat untuk bisa memahami buku ini. Kendati begitu, buku ini tetap penuh dengan aporisma dan one-liner yang kocak. Hanya saja, jika kamu termasuk orang yang gampang putus asa dan kehilangan semangat hidup cuma gara-gara membaca buku tertentu, ada baiknya buku ini dihindari.

Thacker di antaranya membahas hal-hal ini (serta banyak hal lainnya, tentu saja): bahwa orang-orang yang kita follow di Twitter tak punya peran penting-penting amat dalam skala kosmos. Bahwa sebanyak apapun langkah kaki yang kita lakoni hari ini tak bakal bikin hidup lama. Bahwa segala macam kegelisahan, keraguan dan capaian yang kita punya berujung pada satu hal: ketidakberadaan. Bahwa hidup hanyalah kesempatan untuk bangun sejenak, interupsi singkat dari ketidakadaan menuju ketidakadaan berikutnya.

Anehnya, saya malah merasa lebih baik setelah membaca buku ini. Pesimisme membekali saya dengan cara pandang yang berbeda saat kondisi di sekitar saya tak bisa diharapkan, seperti pelampung yang terombang-ambing di lautan. Berpikir positif sebaliknya kini terasa seperti menemukan pelampung itu dan begitu kita menggapainya, pelampung itu mengempis.

Pengaruh pesimisme Thacker yang cuma dirasakan oleh saya. Imbasnya terasa secara luas di lanskap media dan kebudayaan secara umum. Sampul buku Thacker sebelum entah bagaimana nongol di salah satu videoklip Jay-Z. Penulis serial HBO, True Detective, Nic Pizzolatto menyebut Thacker punya pengaruh kuat pada nihilisme Rust Cohle, tokoh yang diperankan Matthew McConaughey di season pertama serial tersebut. Lalu, kalau kamu sepaham dengan Glenn Beck, kamu bakal menganggap pesimisme yang dipopulerkan Thacker sebagai ancaman politis. Pada sebuah segmen yang tayang Seprember 2014 lalu, Beck sampai menyisihkan sepuluh menit dari acaranya untuk memetakan bagaimana “nihilisme pop” telah mendominasi budaya kita dan dengan sembrono menyebutnya sebagai perwujudan “eugenik progresif.”

Iklan

Saya berkesempatan ngobrol dengan Thacker mengenai pesimisme, indahnya tak punya jawaban akan segala dan bagaimana orang pesimis berumur lebih panjang dan lebih sehat dibanding mereka yang selalu berpikir positif.

Kamu menganggap dirimu sebagai seorang yang pesimis?
Saya sih tak menggambarkan diri saya sebagai seorang yang pesimis. Buku karangan saya memang bicara banyak tentang pesimisme dan ada beberapa hal yang menyatukan saya dengan sejumlah filsuf yang disebut dalam buku itu. Cuma, saya selalu berhati-hati dengan sebutan-sebutan yang ditemukan dalam kebudayaan kita atau disematkan oleh para filsuf itu sendiri. Filsuf memang hidup dalam dalam semacam komunitas liberal. Jadi, seorang filsuf bisa disebut sebagai seorang realis, empiris atau realis spekulatif atau apapun sebutannya. Padahal, semua itu itu tidak punya arti. Cuma sebutan saja.

Jadi mengklaim diri sendiri sebagai seorang pesimis atau lainnya itu tak ada gunanya ya? Terus apa yang kamu ingin lakukan sebagai seorang filsuf?
Agak mubazir mengaku sebagai seorang pesimis karena umumnya pola pikir orang tentang seorang filsuf kira-kira begini: 1) kamu tahu segala hal 2) kamu punya label untuk segala hal dan 3) kamu akan menyebarkan apa yang baru saja kamu pahami—dengan cara yang songong—pada orang lain yang belum memahami apapun.

Yang menarik perhatian saya justru semua penulis dan pemikir dibahas dalam buku saya juga kebingungan. Mereka menghadapi banyak ketidakpastian. Seringnya, argumen mereka tak jauh berbeda dengan racauan. Mereka sangat rendah hati. Jadi, yang justru sering kita temui di kancah filsafat adalah kegagalan dan kerendahan hati, bukan bahwa filsuf itu bisa memecahkan segala permasalahan. Satu poin penting dalam buku itu adalah tak satupun pemikir yang saya singgung, seperti Schopenhauer dan Nietzsche, pernah menggunakan istilah pesimisme untuk menyebut apa yang mereka lakukan. Justru orang-orang setelah merekalah, dosen atau sejarawan, yang merunut lagi apa yang dikerjakan oleh para filsuf ini dan mengatakan filsuf-filsuf itu melakukan ini atau itu. Inilah awal mula penyebutan aliran dalam filsafat. Akan tetapi menarik juga kalau ada yang bilang “saya seorang pesimis” karena itu gestur yang bisa meruntuhkan diri sendiri.

Iklan

Jadi pesimisme itu sendiri sebenarnya apa sih?
Jadi, ada dua versi definisi pesimisme. Yang pertama adalah definisi kamus, yang biasanya punya beberapa variasi. Salah satunya adalah bahwa kita hidup di dunia paling kacrut dari semua dunia yang mungkin ada. Variasi lain bilang hidup ini isinya penderitaan dan kegagalan. Dan yang paling variasi paling abstrak bahwa ketidakadaan itu jauh lebih mending eksistensi itu sendiri. Kalau kalian benar-benar menyimak karya Kirkegaard, Schopenhauer atau Nietzsche sekalipun, kalian akan kesusahan menemukan mereka benar-benar mengatakan hal ini.

Bagi saya sendiri, pesimisme itu menarik karena ada hubungannya dengan batasan daya pikir kita, batasan kemampuan manusia. Ada semacam proses bolak-balik antara pemikiran tentang kesia-siaan dan kesia-siaan pemikiran.

Sebuah penelitian yang dipublikasikan pada 2007 oleh American Psychological Association menyimpulkan “pesimisme tentang masa depan bisa membuat kita hidup lebih lama dan lebih sehat.” para peneliti dalam riset tersebut menyimpulkan “orang dewasa yang optimis punya risiko lebih tinggi menyandang disabilitas,” temuan ini mengagetkan tidak sih?
Tidak sama sekali. Cuma masalah waktu sampai muncul temuan bahwa pesimisme adalah sikap hidup yang lebih sejati. Hal yang sama pernah diangkat dalam sejumlah buku filsafat. Mungkin yang dibicarakan dalam buku-buku itu lebih tepat disebut sebagai realisme—cara pandang yang lebih wajar dan terlepas dari berbagai cara pandang yang dianggap ideal. Intinya sih, buku itu cuma bilang: kalau kamu tak punya harapan, kamu tak akan kecewa.

Beberapa filsuf sangat menutup diri dan tak memasukan pengalaman hidupnya dalam filosofi mereka. Kamu malah terbuka banget tentang sakit kronis yang kamu derita. Ada hubungan antara pesimisme dengan penyakit yang kamu miliki?
Saya rasa bagi tiap orang yang menghadapi penyakit-penyakit kronis—yang bermula dari depresi atau rasa sakit kronis, hal yang paling menyakitkan dari hal ini adalah absennya penyebab. Lagipula, kalau memang harus mengeluh, sebanyak apa sih waktu yang kita punya untuk mengeluh? Penderitaan adalah alpha dan omega, awal dan akhir dari banyak tradisi pemikiran: ajaran agama Kristen, Budhisme, filsafat India klasik hingga filsafat Cina klasik. Ini menarik sebab penderitaan itu sifatnya universal sekaligus relatif secara bersamaan. Semua orang menderita, semua orang merasakan sakit, tapi ada orang lain yang penderitaannya jauh lebih ringan dari yang kita derita. Hal ini konkret dan nyata, tapi di saat yang sama, susah didefinisikan.

Dulu waktu berumur 22 tahun, saya menjalani perawatan karena kecanduan opium. Saat itu saya membaca The Stranger , novelnya Camus dan beberapa tulisan Kierkegaard. Pemikiran yang tertuang dalam buku-buku itu justru lebih membantu saya daripada “psikologi positif” dan perawatan yang disokong bermacam literatur sahih—apalagi yang datangnya dari ranah spiritual.
Menurut saya sih, kedengarannya justru buku-buku itu yang menemukan kamu. Di Amerika, ada semacam perpaduan antara tradisi klinis, yang pada dasarnya dikendalikan oleh perusahaan farmasi besar, dan industri self-help—ada yang relijius dan ada juga yang sekular. Belum lagi, ada bermacam keadaan yang dianggap bermasalah, padahal pengategorian ini tak membantu para pasien sama sekali.

Bagi saya, membaca tulisan-tulisan ini tak bisa saya bilang menenangkan, karena itu bukan kata yang tepat. Tapi, ada yang menarik dari membaca teks yang tak mengklaim tahu semua jawaban yang kita cari. Ada yang menarik dari membaca karya penulis fiksi, filsuf atau penulis puisi yang sama bingung, pusing dan gundahnya seperti saya. Ada bagian menarik dari membaca teks yang memaparkan ketidakpastian, yang mengajukan pertanyaan yang mungkin tak punya jawaban. Kalau kalian menyebutnya sebagai pengobatan, ya sebut saja begitu. Saya tak peduli.