FYI.

This story is over 5 years old.

Kuliner Pedas

Mungkinkah Keseringan Makan Pedas Bisa Merusak Indra Pengecapan Kita?

Saya bertanya kepada pakar tanaman cabai demi mengetahui risiko menjadi pecinta makanan pedas. Apalagi kalau kamu kayak saya, demen makan mi instan tambah lebih dari 30 cabai rawit.
Foto ilustrasi via Flickr Kah Wai Sin

Saya tidak bisa hidup tanpa makanan pedas. Sambal adalah menu wajib saya setiap hari. Nafsu makan akan berkurang kalau makanannya tidak pedas. Enggak ada saus sambal? Tinggal gantibubuk cabai. Mau makan Tom Yam atau Ramen? Lebih nendang bila rasanya pedas. Ada cabai jalapeño atau cabai rawit? Langsung hajar aja (meskipun mulut rasanya seperti ‘terbakar’ sesudahnya). Meskipun begitu, saya kadang suka khawatir indra pengecap akan rusak karena terlalu sering makan masakan pedas.

Iklan

Saya segera mencari tahu risikonya karena takut akan berakhir seperti teman ayah yang harus makan apa pun dengan lada hitam supaya ada rasa, atau seperti kakek yang sudah tidak bisa mengecap rasa sama sekali. Kalau ternyata makanan pedas berbahaya, itu artinya saya harus menyingkirkan semua jenis sambal yang saya punya di rumah.

Selama ini, kita semua tahu kalau masakan pedas itu baik untuk kesehatan. Beragam artikel telah menjelaskan manfaat-manfaatnya. Sebuah penelitian yang diterbitkan pada 2015 menemukan bahwa orang yang mengonsumsi masakan pedas 6-7 hari setiap minggunya menurunkan risiko kematian hingga 14 persen (salah satu artikel penelitian dari 2017 melaporkan hasil serupa). Akan tetapi, penelitian 2015 ini hanya dilakukan di Cina. Apakah hal yang sama berlaku juga bagi orang Amerika? Jika ya, seberapa pedas makanan yang bisa dikonsumsi? Apakah orang-orang dari tiap negara memang terlahir berbeda indra pengecapannya?

Beberapa tahun belakangan ini, banyak orang di berbagai negara semakin terobsesi sama makanan pedas dan lebih bisa menerima masakan kebudayaan lain. Dalam buku The Mission Chinese Cookbook, Danny Bowien menuli masakan la zi ji (sayap ayam Szechuan) yang dia temukan saat mengunjungi Cina memiliki rasio 95 persen cabai dan 5 persen ayam.

"Selama saya di Sichuan, saya merasa senang sekaligus takut," tulisnya. Ketika dia menciptakan ulang hidangannya untuk Mission Chinese, dia harus menambahkan komposisi ayamnya untuk menyesuaikan perut orang Amerika (dan kemungkinan untuk menambah nilai estetik penyajian juga).

Iklan

Saya mulai membaca beberapa tulisan Dr. Paul Bosland, dosen hortikultura dari kampus New Mexico State University yang biasa disapa "Chileman" oleh para koleganya. Dia mengajar dan menulis soal pembudidayaan dan genetika cabai. Sebagai salah satu pakar capsaicin (salah satu komponen aktif kimiawi yang bikin cabai terasa pedas di lidah), Bosland sekaligus pendiri dan direktur Chile Pepper Institute di NMSU.

Foto ilustrasi via akun Flickr Mark Levisay

Dalam artikelnya yang terbit pada 2017, Bosland menulis, "Capsaicin tidak bisa dirasakan oleh indra pengecapan kita. Sensasi panas dari capsaicin berasal dari iritasi reseptor transien potensial TRPV1." Dia lanjut menjelaskan, “TRPV1 adalah reseptor rasa panas dan sakit. Reseptor ini terletak di mulut dan tenggorokan, dan posisinya ada di sekitar terminal perifer neuron nociceptive."

Dengan kata lain, TRPV1 adalah reseptor di lidah yang akan bereaksi dengan rasa pedas. Reseptor kemudian menimbulkan sensasi terbakar di mulut. Artinya apa? Indra pengecapan kita tidak bekerja sendiri saat memakan masakan pedas.

Saya meminta Dr. Bosland menjelaskan apakah sel pengecap atau TRPV1 bisa rusak andai kita sering mengonsumsi masakan yang terlalu pedas. Misalnya rutin makan mi instan ditambah lebih dari 30 potong cabai rawit. "Kamu harus menganggap capsaicin layaknya makanan yang kebanyakan garam. Makanannya jadi tidak enak kalau terlalu banyak garam atau cabai. Rasanya akan lebih seimbang apabila ditambahkan secukupnya. Tidak ada bukti ‘indra pengecap’ rusak."

Iklan

Tonton dokumenter VICE yang mengajak kalian mengelilingi pecinan tua di Jakarta dan menemukan keajaiban kuliner Hakka di sana:


Artinya mengonsumsi makanan pedas aman buat lidah. Tapi, ada satu hal yang masih membuatku penasaran: apa bedanya indra pengecapan orang Amerika sama orang Indonesia, orang Cina, India atau Meksiko? Kenapa orang kulit putih kesannya kurang toleran terhadap rasa pedas?

Ternyata, perbedaan ini tidak ada hubungannya dengan masalah ras. Menurut Dr. Bosland, semuanya didasarkan pada toleransi seseorang terhadap rasa pedas. Memang, kata dia, "ada peran unsur genetik," tetapi dia menjelaskan bahwa perbedaan ini lebih dikaitkan dengan kebiasaan terpapar bumbu atau sensasi pedas. "Orang bisa menoleransi masakan pedas apabila sudah terbiasa memakannya. Begitu juga sebaliknya. Orang yang meninggalkan New Mexico tidak bisa makan pedas ketika mereka kembali ke sana. Setiap orang punya caranya sendiri saat menoleransi rasa pedas."

Tak peduli dari mana asalmu, bisa atau tidaknya kamu mengonsumsi makanan pedas sangat tergantung pada kebiasaanmu. "Secara gen sudah ada, tetapi ada interaksi lingkungan dengan gen tersebut. Siapa saja bisa meningkatkan tingkat ‘kenyamanannya’ dengan rasa pedas," tandasnya.

Tadinya saya berencana berhenti makan masakan pedas selama seminggu demi artikel ini, tapi Dr. Bosland meyakinkan kalau indra pengecap saya tidak akan bermasalah. Saya jadi memikirkan ulang rencananya. Untuk apa saya berhenti makan sesuatu yang saya suka dan tidak berbahaya bagi kesehatan? Jadi, jangan heran kalau kamu mendapatiku sedang membeli jenis sambal lain (lagi) ya.

Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES