FYI.

This story is over 5 years old.

Terorisme

WNI Bekas Kombatan ISIS Ingin Pulang, Kita Pilih Kemanusiaan atau Keamanan?

Pengguna Internet di Tanah Air menolak puluhan WNI di Baghuz yang rata-rata perempuan dan anaknya itu pulang. Pengamat teroris merasa opsi pencabutan kewarganegaraan harus dikaji pemerintah.
​Keluarga kombatan ISIS, di antaranya WNI, mengungsi dari Baghuz, Suriah. Foto oleh Issam Abdallah​/Reuters
Keluarga kombatan ISIS, di antaranya WNI, mengungsi dari Baghuz, Suriah. Foto oleh Issam Abdallah/Reuters

Benteng terakhir ISIS di Baghuz, Suriah akhirnya tumbang pada 23 Maret lalu. Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung Amerika Serikat, mengklaim kawasan Baghouz—yang berbatasan dengan Irak dan berjarak 550 km dari ibukota Damaskus—berhasil dibebaskan setelah peperangan sengit sejak 9 Februari lalu.

Sejak Desember 2018, militan ISIS yang kian terpojok menjadikan Baghuz sebagai kantong pertahanan terakhir menghadapi gempuran SDF dan serangan udara koalisi Barat. Setidaknya ada 8.500 militan ISIS yang bertahan di Baghuz. Hampir sepertiganya tewas atau menyerahkan diri ke pasukan koalisi.

Iklan

Meski begitu kemenangan tersebut bukan berarti bebas dari permasalahan. Gelombang pengungsi pasca konflik di Baghuz kian tak terbendung. Lebih dari 9.000 orang mengungsi setelah perang meletus di Baghuz. Kini ribuan orang tersebut menyesaki kamp pengungsian di Al-Hool, provinsi Hasakeh, sekira 5 jam perjalanan mobil dari Baghuz.

Dari ribuan orang tersebut, sekira 50 orang berasal dari Indonesia, termasuk seorang perempuan asal Bandung, Jawa Barat bernama Mariam bersama empat orang anaknya yang masih kecil. Suaminya Saifuddin, seorang petempur ISIS, tak diketahui lagi rimbanya.

Mariam bersama puluhan ribu pengungsi lain harus bertahan di kamp pengungsian yang jauh dari kata layak. Kamp tersebut kelebihan beban, dan fasilitas sanitasi sangat tidak memadai. Kamp yang awalnya hanya untuk menampung 10.000 pengungsi, kini harus menampung sekira 67.000 pengungsi dari penjuru Suriah. Mariam pun tak punya pilihan lain, selain memohon kepada siapapun di Indonesia, agar membantunya pulang.

"Mungkin minta bantuan untuk bisa pulang ke negara asal kami, Indonesia," kata Mariam dikutip Tirto.id.

Pemerintah Indonesia sendiri tak punya data pasti jumlah WNI yang berangkat dan tinggal di Suriah. Situasi kacau di Suriah sejak 2014 membuat KBRI di Damaskus kesulitan mendata jumlah pasti WNI di sana. Pemerintah sendiri mengklaim sudah berhasil merepatriasi WNI di sana dalam kurun 2012-2016, namun simpatisan dan kombatan ISIS asal Indonesia mustahil dilacak jumlahnya.

Iklan

Sejak ISIS mendeklarasikan kekalifahan di Suriah dan Irak pada 2014, setidaknya ada 600-an lebih WNI yang hijrah ke Suriah yang berhasil dideteksi pemerintah. Kebanyakan masuk secara ilegal lewat Turki.

Lantas apa strategi pemerintah untuk memulangkan sisa WNI pasca runtuhnya kekalifahan ISIS?

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Armanatha Nasir dalam konferensi pers mengatakan saat ini pemerintah akan memverifikasi jumlah pasti WNI yang bertahan di Suriah. Verifikasi tersebut akan dilakukan bersama BNPT, kepolisian, dan BIN.

"Pertama mereka terverifikasi kewarganegaraan. Kedua, setelah mereka terverifikasi, kita melakukan analisa kembali apakah mereka harus mengikuti deradikalisasi. Jadi memang banyak tahapnya baik tahap di Suriah maupun di Indonesia. Dari situ baru kita bisa menentukan apakah mereka akan bisa kembali atau tidak," ungkap Armanatha.


Tonton dokumenter VICE soal tragedi warga sipil yang terjebak di tengah-tengah konflik Suriah:


Perdebatan seputar apakah Indonesia perlu untuk memulangkan para WNI yang terjebak di Suriah kini memanas. Mereka yang kontra beralasan bahwa para simpatisan ISIS tersebut berangkat atas kemauan sendiri demi tinggal di negara kilafah.

Sementara yang pro berpendapat bahwa mereka masih berstatus sebagai warga negara Indonesia, karena selama ini Indonesia tak pernah berupaya mencabut status kewarganegaraan seseorang yang bergabung dengan organisasi teror di luar negeri.

Iklan

Wacana tentang pencabutan kewarganegaraan dalam kasus terorisme juga sempat dipertimbangkan saat perdebatan soal RUU antiterorisme. Saat itu banyak pihak tak setuju dengan sanksi tersebut. Pegiat HAM berseru mekanisme pencabutan kewarganegaraan tak bisa dilakukan sepihak aparat penegak hukum.

Saat ini baru negara-negara Eropa dan Australia yang memberlakukan pencabutan kewarganegaraan terhadap warganya yang terbukti bergabung dengan organisasi teroris. Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Aceh, Al Chaidar, berpendapat strategi pencabutan kewarganegaraan harusnya lebih efektif ketimbang pidana biasa. Sebab, dalam banyak kasus penjara tak mampu menetralisir ideologi keras yang terlanjur dianut teroris.

Al Chaidar berpendapat, eks-kombatan ISIS harus diperlakukan berbeda dengan para deportan yang belum pernah bergabung dengan ISIS. "Eks-kombatan ISIS masih memiliki potensi bahaya sehingga butuh penanganan ekstra," ujarnya kepada VICE.

Akhirnya sebagai opsi terakhir, pemerintah mengambil jalan tengah. Dalam UU antiterorisme yang disahkan Juni 2018 lalu, para kombatan yang bergabung dengan organisasi di luar negeri bisa dipidana 4 hingga 15 tahun. Pidana tambahannya berupa pencabutan paspor selama 5 tahun.

Sementara itu penanganan kombatan ISIS yang ingin atau telah pulang ke Indonesia memang menyisakan banyak masalah. Sebelum ISIS hancur, Indonesia tak memantau mereka yang pulang dari Suriah. Selama ini pemerintah kebanyakan mengurusi para deportan - mereka yang gagal masuk ke Suriah dan dipulangkan pemerintah Turki. Hal itu diakui oleh Polri, yang mengaku kesulitan melacak eks-kombatan yang pulang ke Tanah Air.

Program yang dijalankan bagi deportan saat ini baru fokus ke karantina dan deradikalisasi. Para deportan tersebut dikarantina dan mengikuti program deradikalisasi selama beberapa hari sebelum dipulangkan ke daerah masing-masing. Mereka juga mengikuti assessment yang dilakukan oleh psikolog dan anggota LSM.

Pemerintah harusnya tak boleh mengulang kesalahan ketika para eks-mujahidin Afghanistan pulang ke Indonesia dengan mudahnya di paruh akhir 1990. Saat itu, Indonesia sama sekali tak memantau WNI yang berangkat dan pulang saat perang Afghanistan - Uni Soviet. Hasilnya, para 'alumni' medan tempur itu lantas membentuk Jemaah Islamiyah (JI), yang menjadi cikal bakal banyak jaringan teror di masa sekarang.