FYI.

This story is over 5 years old.

sains dan ilmu pengetahuan

Matematika Ungkap Manusia Sebenarnya Bisa Hidup 10 Kali Lebih Lama

Berita baiknya: ada peluang kita bisa hidup lebih lama menurut perhitungan model matematika terbaru. Berita buruknya: ada banyak PR terkait pembagian sumber daya yang harus kita bereskan.
Foto milik Vinoth Chandar, via Flickr, di bawah lisensi Creative Commons.

Di alam liar, banyak spesies yang menghembuskan nafas terakhir segera setelah melakukan proses reproduksi, seperti gurita betina misalnya. Spesies lain, seperti aligator, malah kelihatan tak seperti menua sama sekali? Jadi, apa yang bisa kita simpulkan dari dua contoh ini? Gampang, dua contoh ini membutikan bahwa proses penuaan bukanlah sifat turunan, tetapi dampak dari evolusi sebuah spesies dalam ekosistem tertentu—serta bahwa evolusi mungkin diam-diam memprogram spesies makhluk hidup, manusia tak terkecuali, untuk mati. Dugaan ini kini tengah jadi subjek sebuah penelitian teranyar yang berjudul "Programmed death is favored by natural selection in spatial systems," yang dikerjakan oleh sekelompok periset sistem dan pakar biologi papan atas. Para peneliti memanfaatkan modal matematika terbaru untuk menjungkirbalikkan pemahaman tentang proses penuaan yang selama ini kita miliki. Bila hasil riset ini terbukti akurat, kita sepertinya harus merombak pemahaman kita akan proses penuaan spesies—dan sepertinya menemukan celah untuk memprogram manusia agar bisa hidup lebih lama. Ide di atas, termasuk pemrograman agar manusia bisa berumur lebih panjang, pertama kali diusulkan oleh Yaneer Bar-Yam, kepala New England Complex Systems Institute (NECSI), Donald E. Ingber, Direktur Harvard Wyss Institute for Biologically Inspired Engineering, serta Justin Werfel, seorang periset yang berafiliasi dengan kedua institusi tersebut. Hasil penelitian terbaru ketiganya yang sudah dipublikasikan di Physical Review of Letters intinya hendak berargumen bahwa “dasar-dasar matematika pemahaman kita terhadap evolusi ternyata salah besar.” Biar lebih mudah memahami, mari kita bahas pelan-pelannya. Selama kita tahunya evolusi secara alami memilih spesies yang memiliki umur yang lebih panjang—dan memberikan mereka kemungkinan bertahan yang lebih besar, begitu kan? “Dalam teori tradisional, evolusi selalu akan memilih makhluk hidup dengan jangka hidup yang paling panjang, dan umur yang kita jalani ini intinya adalah umur maksimal secara biologis,” ujar Bar-Yam. “Kita tak bisa memendekkan atau memperpanjang umur kita.” Namun, bagaimana kalau jangka hidup spesies—termasuk manusia—tak harus ditentukan oleh kemampuan tubuh mereka bertahan hidup, tapi diatur oleh evolusi berdasarkan jumlah sumber daya yang tersedia bagi sebuah populasi dan tekanan yang dimiliki anggotanya untuk berevolusi? Bagaimana kalau kematian bukanlah akhir sebuah spesies, tapi batas yang harus ditaati sebuah generasi agar tak menghabiskan sumber daya sendirian dan membiarkan generasi setelahnya pralaya? Begitu kira-kira kesimpulan yang diperoleh oleh tim peneliti. “Jika evolusi menentukan jangka hidup yang sekarang kita miliki, harusnya kita bisa mengubahnya dengan mengutak-atik mekanisme yang mengontrol jangka hidup kita,” kata Bar-Yam. Dalam karyanya, Bar-Yam merinci beberapa spesies yang badannya bertentang berlawanan dengan kepentingan sang spesies untuk menunjukkan bahwa kematian adalah produk evolusi, bukan suatu yang inheren.
"Misalnya, ada gurita yang hidup sampai mereka bisa bereproduksi lalu mati,” ujarnya. “Tapi, kalau kelenjar reproduksinya diambil, gurita bisa tetap hidup. Jadi, kematian itu dipicu oleh sebuah sistem, bukan karena ada kerusakan dalam tubuh.” "Buaya," lanjutnya, “sepanjang yang kita tahu tak pernah menua. Tapi, ada juga spesies yang jangka hidupnya sangat beragam jika dibandingkan dengan satu sama lain. Ikan Rockfish, misalnya. Sebagian spesies ikan ini hidup sampai ratusan tahun sementara sebagian lainnya hanya hidup beberapa tahun.” Untuk menguatkan klaimnya, Bar-Yam mengirimkan sejumlah grafik tentang beragam spesies ikan Rockfish dan jangka hidupnya yang beragam meski semuanya memiliki kemiripan genetik yang kuat.
Tabel beragam jangka hidup ikan Rockfish. Cailliet et al, Experimental Gerontology, 36, 739 (2001)
Semua ini, katanya, adalah bukti bahwa penuaan bukanlah proses yang inheren pada makhluk hidup. Penuaan hanya terjadi karena proses evolusi. Pertanyaannya kemudian, bagaimana tiga peneliti ini sampai ke kesimpulan di atas? Lalu, apa yang menyebabkan model matematika terdahulu menghasilkan kesimpulan yang jauh berbeda?
"Teori evolusi tradisional bekerja dengan asumsi bahwa setiap organisme berada di lingkungan yang sama,” terang Bar-Yam. “Ini bisa disebut sebagai averaging approximation. Dalam fisika, ini dikenal dengan nama ‘mean field approximation’ dan cara perhitungan ini mengesampingkan konteks lokal sebuah lingkungan. Salah satu bagian utama dari apa yang kami lakukan adalah menunjukkan bahwa bila konteks lokal diperhitungkan ke dalam teori, kita akan mendapatkan feedback property antara organisme dan lingkungan tempat mereka hidup, dan property organisme mengubah lingkungan dan mengubah hasil evolusinya.”

Iklan

Gambar dari NECSI

Team Harvard + NECSI memanfaatkan model terbaru dan, menurut pendapat mereka, lebih akurat untuk memetakan bagaimana organisme berinteraksi dengan sumber daya lokal yang mendukung kemampuan mereka bertahan. Hasil yang mereka peroleh sangat menarik: “Kami menemukan bahwa sumber daya yang terbatas dan kompetisi keras bertahan hidup dalam sebuah lingkungan tertentu akan menghasilkan jangka hidup yang pendek. “Dalam model yang kami pakai, mortalitas intrinsik pada sebuah spesies memungkinan sebuah generasi meningalkan sumber daya yang cukup bagi keturunannya yang kemungkinan besar akan tinggal di tempat yang sama.” Dengan kata lain, ketika sumber daya pendukung hidup sangat terbatas, sebuah spesies sebagai kesatuan akan punya kemungkinan selamat dalam proses evolusi yang panjang jika tiap individu spesies itu punya umur yang pendek. Ini sebenarnya adalah cara menanggulangi masalah overpopulasi dan overkonsumsi. “Katakanlah sebuah organisme merusak lingkungan tempat hidupnya, maka mereka tak merasakan langsung dampaknya, yang menderita adalah keturunan mereka,” ujar Bar-Yam. “Ternyata temuan ini sejalan dengan bagaimana sebuah organisasi sosial terbentuk.” “Organisme selalu jadi pihak yang paling eksploitatif dan ternyata ini berlaku pada evolusi jangka hidup organisasi. Jika kita semua tinggal di sebuah lingkungan yang punya umur lebih panjang hingga bisa menghasilkan banyak keturunan, maka kita bakal jadi spesies yang paling sukses dalam proses evolusi. Tapi, jika sifat kelokalan lingkungan diperhitungkan, jangka hidupnya yang lebih panjang bisa memengaruhi lingkungan, karena semakin panjang jangka hidupmu, semakin sedikit sumber daya yang kamu sisakan untuk keturunannya. Itu tidak baik.”

Menariknya, kesimpulan ini juga berlaku pada manusia. Menurut Bar-Yam, model yang digunakan dalam penelitiannya menunjukkan kalau manusia bisa hidup lebih lama dari saat ini—memang, kita mewarisi jangka hidup sepanjang ini nenek moyang kita yang menggantung hidup dengan berburu dan meramu. “Adakah batasan inheren pada kemampuan kita untuk memperbaiki tubuh kita sendiri dalam jangka panjang? Jawabannya mungkin memang ada. Tapi bukan berarti itu yang sedang terjadi pada kita saat ini.” “Proses penuaan bukan suatu yang inheren,” jelas Bar-Yam. “Proses ini cuma salah satu proses genetik. Maka, prospek untuk memperpanjang jangka hidup adalah sesuatu yang bisa dilakukan. Atau kita bisa menyatakan hal ini dengan cara yang berbeda: kenapa kita tak pernah memperkirakan kemungkinan ini? Terus, kenapa sains malah bilang bahwa jangka hidup kita tak bisa diperpanjang? Dan jawaban atas pertanyaan ini adalah karena semua itu disimpulkan berdasarkan sebuah perkiraan yang tak valid-valid amat.” “Jika ini adalah dasar yang digunakan ilmu pengetahuan untuk mengatakan bahwa jangka hidup spesies tak bisa diperpanjang,” imbuhnya, “hal paling alami yang bisa kita lakukan adalah kembali melihat ke belakang dan bertanya ‘jadi apa alternatifnya?’” Bar-Yam sudah memikirkan masalah ini cukup lama dan dia mengakui bahwa temuannya tak harus diartikan bahwa manusia memang bisa hidup lebih lama—yang dia coba katakan bahwa “adalah berasalan jika kita mengharap jangka hidup manusia bisa bertambah sampai lima atau sepuluh kali lipat.” "Tak ada alasan untuk menyamakan batas jangka hidup dengan batas-batas fundamental laonnya,” ujar Bar-Yam. “Kita sudah menyaksikan beberapa mutasi yang sanggup memperpanjang jangka hidup sampai lima atau sepuluh kali lipat pada nematoda, dan ada beberapa binatang yang sepertinya tak menua.” Bar-Yam juga belakangan memeras otaknya untuk memperkirakan mekanisme macam apa yang akhirnya digunakan untuk mengalah proses penuaan, meski itu bukan bagian dari penelitiannya.
“Walaupun pengaturan jangka hidup bersifat genetik, cara untuk mengubah jangka hidup tak harus secara inheren genetik,” tegasnya. “Bisa saja solusinya berupa vitamin, obat-obatan dan intervensi farmakologis lainnya.” Tahun lalu, sebuah penelitian diterbitkan oleh jurnal ilmiah Science menunjukkan bahwa jika protein yang berfungsi sebagai salah satu “faktor pertumbuhan” disuntikkan pada seekor tikus uzur, kelihatannya proses penuaan akan berhenti. Temuan ini yang membuat Michael Byrne dari Motherboard melabeli usia tua sebagai penyakit. Selain itu, ada banyak penelitian tenyang telomer—bagian paling ujung dari sebuah DNA linear yang punya andil dalam penurunan kualitas DNA. salah satunya adalah penelitian di Stanford yang mengungkap bahwa pemanjangan telomer “bisa memutar ulang jam penuaan dalam sel manusia yang dibiakan dalam lab.” Tapi, sebelum kita sumringah akan kemungkinan umur kita makin panjang, ada beberapa pertanyaan yang terlebih dahulu kita hadapi: bagaimana jika evolusi sudah benar dengan menjaga jangka hidup kita pendek? Lalu, jika tak ada satupun manusia yang meninggal, bukannya bumi bakal mengalami overpopulasi dan overkonsumsi? Bagi Bar-Yam, umur panjang manusia bakal disertai dengan beragam masalah. Ada yang tak adil dalam cara kita mendistribusikan sumber daya, katanya. Namun, Bar-Yam lekas menegaskan bahwa kita sebenarnya punya kemampuan untuk menghasilkan bahan makanan bagi seluruh populasi manusia, jika saja kita tak sering-sering membakar tanaman pangan sebagai bahan bakar. “Jika kita memang niat ingin memperpanjang jangka hidup manusia, tanggung jawab pertama kita adalah mengamankan sumber daya,” katanya. “Bila nanti manusia menemukan switch yang memungkinkan kita hidup sampai ratusan tahun, maka jangan lupa kalau kita harus membereskan perkara pembagian sumber daya.”