FYI.

This story is over 5 years old.

Keajaiban Alam

Mencari Alasan Beberapa Hewan Melakukan Bunuh Diri

Gagasan beberapa hewan nampak sanggup mengakhiri hidup telah membuat manusia penasaran selama berabad-abad.
Foto ilustrasi tarsius oleh wikimedia commons. Hewan mungil ini dikenal sanggup membenturkan kepala ke benda keras sampai mati.

Kali pertama saya mendengar soal hewan bunuh diri adalah setelah beberapa waktu melihat tarsius di penangkaran, sejenis primata yang ditemukan di Filipina dan Sulawesi. Primata mirip karakter Yoda film Star Wars versi mungil itu adalah hewan yang aktif pada malam hari, membenci kebisingan, serta menghindari kontak dengan manusia; kesengsaraan terjebak dengan antrean panjang manusia yang ingin selfie bareng—saya salah satunya—bisa menyebabkan mereka menghantamkan kepala mungilnya ke sangkar sampai mati. Tentu saja, saya baru mengetahui soal ini sesudah saya meninggalkan penangkaran mereka. Saya merasa bersalah.

Iklan

Tarsius bukan satu-satunya spesies yang punya kecenderungan bunuh diri. Beberapa kitab klasik menunjukkan kemungkinan hewan telah mengakhiri hidup sendiri sejak berabad-abad lalu. Aristoteles, filsuf kenamaan Yunani itu, menulis tentang kasus kuda yang lompat ke jurang setelah menyadari telah dikawinkan dengan ibunya sendiri. Ahli binatang serta media massa penasaran untuk membuktikan kebenarannya. Para ilmuwan belum mengetahui apa yang mendorong kelompok ikan paus yang sehat berenang ke pantai menjemput kematian, atau tikus lemming yang kebiasaannya meloncat massal dari tebing segera masuk khazanah budaya pop.

Ketertarikan orang-orang dengan topik ini tampaknya dimulai di Inggris era Victoria. Sebuah artikel berita London rilisan 1845 melaporkan seekor anjing yang tampaknya berusaha menenggelamkan diri. Setelah berulang kali diselamatkan, anjing itu “lagi-lagi bergegas masuk ke dalam air dan bertekad menahan kepalanya di bawah permukaan air sampai nyawanya melayang.” Semakin banyak laporan yang kemudian beredar selama 1870'an dan 1880'an: kisah seekor angsa yang menenggelamkan kepalanya sendiri; kucing yang menggantung diri dari cabang pohoh setelah anak-anaknya mati. Menurut pemilihan waktunya, contoh-contoh ini tampaknya muncul dari gagasan bahwa hewan juga memiliki batin, dan oleh karena itu harus dihindarkan dari rasa sakit dan penderitaan.

Ada lebih banyak kasus baru-baru ini tentang hewan yang diduga bunuh diri, terutama setelah mengalami kekejaman luar biasa akibat manusia. Di Cina pada 2011, seekor beruang penangkaran dilaporkan mencekik anaknya dan kemudian bunuh diri setelah bayi itu mengalami penyisipan kateter ke dalam perutnya untuk mengeluarkan empedunya. Menurut seseorang yang mengklaim telah menyaksikan prosedur di “peternakan empedu” yang aneh ini, yang dikutip di Reminbao.com:

Iklan

“Sang induk beruang keluar dari kandangnya ketika mendengar anaknya melolong ketakutan sebelum seorang pekerja menusuk perutnya untuk menyedot empedu … Karena tidak bisa membebaskan sang anak dari kekangannya, sang induk memeluk anaknya dan pada akhirnya mencekiknya. Ia kemudian melepaskan sang anak dan berlari dan menabrakkan kepalanya ke dinding, bunuh diri.”

Penggunaan istilah bunuh diri dianggap “janggal” menurut kerangka pikir ilmiah karena artinya kita harus membuktikan niatan sadar seekor hewan untuk mati, ujar Barbara King, antropolog dan penulis How Animals Grieve. “Bagaimana coba caranya kita mengukur hal-hal seperti itu?” ujarnya.

Meski demikian, King merujuk pada lumba-lumba sebagai indikasi yang mungkin paling kuat bahwa bunuh diri benar-benar terjadi di kingdom hewan. Dia bilang lumba-lumba menahan napas sampai mati saat berhadapan dengan kematian akibat diburu, atau saat dikurung secara kejam. “Lumba-lumba bernapas secara sadar dan mereka amat cerdas, sampai-sampai mereka mampu membuat rencana dengan cara-cara yang kompleks, jadi mungkin bunuh diri termasuk ke dalam pilihan sadar mereka.”

Dr David Pena-Guzman dari San Francisco State University telah mendalami topik bunuh diri hewan selama beberapa tahun. Dia percaya berbagai jenis binatang mampu berperilaku desktruktif pada diri sendiri. “Ada bukti hewan memiliki kehidupan emosional yang kaya,” ujarnya, “serta mengalami emosi negatif seperti PTSD, depresi, kesedihan rumit, dan seterusnya, yang lebih umum diakui sebagai kecenderungan bunuh diri.”

Iklan

Beberapa hewan peliharan, menurut Pena-Guzman, bisa mati akibat duka saat pemiliknya meninggal dunia, seperti manusia saat hewan peliharaan mereka mati. “Hewan peliharaan yang pemiliknya meninggal dunia bisa merasakan kesedihan,” ujarnya. “Di beberapa kasus, mereka menjadi depresi secara mendalam dan bisa kehilangan tekad untuk hidup. Mereka mogok makan lalu mati.”

Meski demikiam. Antonio Preti, seorang psikiater dari University of Cagliari, berpendapat asumsi macam itu hanyalah proyeksi mental manusia atas jenis berduka kita yang spesifik pada hewan. Dia menyampaikan pada BBC jika kematian hewan-hewan ini bisa dijelaskan sebagai gangguan ikatan sosial. “Hewan-hewan tidak membuat keputusan sadar untuk mati; alih-alih, hewan tersebut sangat terbiasa dengan pemiliknya jadi dia tidak mau menerima makanan dari individu lain.”

Menurut beberapa pakar binatang lain, sebagian perilaku hewan yang tampak memiliki dorongan bunuh diri adalah urusan yang sama sekali berbeda. Misalnya saja paus: mereka adalah makhluk sosial, jadi saat anggota kelompok mereka sakit dan mencari keamanan di perairan dangkal, yang lain akan menemani. Paus tidak serta-merta menepi ke pantai dengan niatan mengakhiri hidup.

Begitu juga dengan tikus lemming. Tindakan mereka meloncat massal dari tebing bukan bunuh diri. Tindakan itu sebetulnya mitos keliru yang dipicu kartun Disney. Lemming memilih bermigrasi dalam kelompok-kelompok besar, saat populasinya sudah terlalu padat dan mereka terlalu bersemangat untuk pergi dari koloni yang lama. Mereka mencari habitat baru dan mungkin mati secara tidak sengaja dalam proses tersebut, seperti terpeleset di lereng terjal atau tenggelam di dalam sungai.

Contoh lainnya laba-laba. Induk laba-laba terkadang mengizinkan anak-anaknya memakan dirinya sendiri. Ini bukan bunuh diri, melainkan suatu cara memberi bayi-bayinya makanan bernutrisi, yang memastikan kelangsungan hidup mereka.

Meski sampai sekarang belum ada konsensus dari dunia sains soal apakah hewan mampu mati akibat bunuh diri, Pena-Guzman mengapresiasi kajian fauna macam itu, karena bisa mengajarkan kita banyak hal soal kasus bunuh diri manusia. “Sebagian besar pengetahuan kita soal bunuh diri di kalangan manusia, termasuk pengetahuan soal penyebabnya, datang dari rujukan soal bunuh diri di kalangan manusia dari penelitian hewan,” ujarnya.

“Ini masuk akal hanya jika ada pararel yang kuat—biologis, neurologis, psikologis, kognitif, dan sosial—antara manusia dan hewan yang relevan pada kasus bunuh diri. Pararel ini mendukung ide bahwa hewan bisa saja bunuh diri.”