Sejarah Slowdive Mengawinkan Shoegaze dan Musik Elektronik
Foto oleh Ingrid Pop/arsip Slowdive.

FYI.

This story is over 5 years old.

Musik

Sejarah Slowdive Mengawinkan Shoegaze dan Musik Elektronik

Band dream-pop yang baru saja reuni itu menjelaskan pengaruh kemajuan teknologi terhadap sound mereka—dan bagaimana album mereka berikutnya akan penuh elemen elektronik.

Artikel ini pertama kali tayang di THUMP.

Mudah sekali untuk meletakkan musik elektronik-ambient santai dan shoegaze yang mengawang dalam kotak yang sama. Setelah didengarkan lebih lanjut, kedua genre ini ternyata secara alami saling menemani: sound yang diproses dengan berat, dengan penekanan di pembangunan atmosfir dan momen yang cantik menawan.

Dari semua band shoegaze gelombang pertama, hubungan kedua genre ini diwujudkan secara manis lewat komposisi di lagu-lagu Slowdive. Rilisan pertama kwintet asal Reading ini memang lebih banyak mengandung bunyi-bunyi noise yang bising, tapi untungnya ini tidak bertahan lama—Brian Eno memproduksi album mahakarya mereka rilisan 1993, Souvlaki, menampilkan kedalaman dan kekayaan sound yang tidak nampak dalam materi awal mereka.

Iklan

Di tahun yang sama, mereka merilis 5 EP dan sebuah rilisan remix yang ditujukan bagi mereka yang menyukai musik rave. Beat downtempo yang ditambahkan dalam lagu ballad "In Mind" mungkin akan cocok dirilis oleh Mo' Wax lima tahun kemudian. Faktanya, hingga hari ini, saya masih sering mendengar remix Global Communication diputar di mana-mana. Shoegaze adalah genre yang tidak mengenal masa.

Album Pygmalion (1995) mengambil inspirasi dari seri rilisan Artifical Intelligence dari label Warps Records dan kancah trip-hop yang sedang naik saat itu. Melodi vokal Rachel Goswell dan Neil Halstead dijodohkan dengan kabut spektral yang sepi. Saat itu, usaha ini tidak sukses: para kritikus musik yang masih kelewat cinta dengan Britpop, menghina atau mengabaikan album ini. Creation Records memutus kontrak mereka seminggu setelah perilisan album ini, album terakhir mereka selama 22 tahun. Slowdive menjadi korban tastemaker 90an yang kejam. Ini adalah paradoks yang kejam: shoegaze yang erat dikaitkan dengan musik dan fashion dari dekade itu justru dibuang secara tiba-tiba.

Untungnya banyak musisi lain yang melanjutkan sound ini. Seefeel dan Ulrich Schnauss terus menjaga api menyala dengan cara menghasilkan musik elektronik ambient yang sejuk. Album rilisan M83 di pertengahan 2000an—yang menggabungkan dinamika gila dengan bunyi-bunyi synth neon—memberikan nafas baru terhadap genre ini. Nama besar di kancah musik house, Luciano bahkan mencetak hit populer akibat meremix lagu M83 untuk penonton Ibiza.

Iklan

Kini, sudah tidak ada lagi selera musik absolut nan fasis, sehingga banyak produser musik elektronik bisa terang-terangan memuji karya Slowdive. Musisi kontemporer macam Avalon Emerson dan Elysia Crampton menelurkan karya remix Slowdive resmi dan bootleg. Lorenzo Senni juga menyebut Souvlaki sebagai salah satu album berpengaruh baginya.

Di tengah semua ini, Slowdive kembali aktif sebagai sebuah band. Bulan lalu, mereka merilis LP self-titled, album pertama dalam 22 tahun. Biarpun permainan gitarnya layak dikagumi, banyak detil-detil menarik di bawah permukaan musik baru mereka—trik-trik rekaman dan pergantian tone yang menjadi bagian dari identitas elektronik mereka di masa lalu. Ini semua terwujud berkat drummer Simon Cott. Semenjak meninggalkan band, dia terjun ke dalam semua ranah janggal musik elektronik. Dia telah merilis lima album solo, menelurkan karya lewat Kompakt, Ghostly dan album pastoral untuk 12k. Tahun lalu, dia juga mengepalai konser pembuka untuk festival musik dance eksperimental Denmark, Strøm.

Saya bertemu dengan Scott di awal Juni, sejam sebelum Slowdive memainkan DJ set di NTS. Mengobrak-ngabrik tas penuh CD, Scott mengeluarkan rilisan musisi elektronik glitchy macam Fennesz dan Oval guna memberikan saya ide musik yang akan dia mainkan nanti. Tapi ya ujung-ujungnya pas manggung, dia banyak memainkan banyak band berbasis gitar macam Slint dan The Stooges. (Dia mengirim pesan ke saya nantinya dan mengaku takut memainkan musik yang kelewat 'aneh'.) Mungkin pertarungan antara musik rock dan dance belum selesai ya.

Iklan

Berikut wawancara saya dengan Scott tentang hubungan Slowdive dan dirinya dengan musik elektronik—dan bagaimana ini masih menjadi fokus sound mereka hingga kini.

THUMP: Gimana ceritanya bisa mulai bikin musik elektronik? Seperti apa sejarahnya?
Simon Scott: Sekitar 1994, saya meninggalkan Slowdive karena mereka mengatakan, "Mungkin gak akan ada drum sama sekali [di album berikutnya]." Karena saya masih muda dan naif, saya gak terima. Kemudian selepas keluar dari Slowdive, saya malah mulai memanipulasi tape loops, dan membeli banyak peralatan efek. Saya mulai kerajingan dengan berbagai sound. Dulu saya sering diam-diam mencuri tape recorder kakak saya untuk merekam sound-sound eksperimental ketika masih muda. Kebiasaan ini gak pernah hilang.

Sekitar tahun '98, menggunakan uang yang saya tabung dari pekerjaan serabutan, saya membeli komputer CPU bertenaga tinggi untuk menciptakan musik, menggunakan software bernama Sony Acid. Akhirnya musik saya makin esoterik dan abstrak. Saya juga membeli buku "Audio Culture", penuh dengan tulisan keren tentang Steve Reich, Eric Satie, Stockhausen, fondasi dasar musik eksperimental. Saya benar-benar tergila-gila.

Ketika akhirnya saya memiliki laptop dengan Max/MSP, saya mulai mampu menciptakan ambient solo, menggabungkan field recording dengan teknologi komputer yang layak. Ini menjadi dunia saya yang baru.

Gimana rasanya manggung solo? Ada kesamaan antara dinamika energi band penuh dan manggung sendirian menggunakan banyak alat untuk mencapai efek yang sama?
Tergantung sih. Saya sering improvisasi. Kadang saya hanya memainkan loops, menggabungkan mereka agar sinkron, dan membentuknya menjadi sesuatu yang indah. Kalau ada penonton yang ketiduran, buat saya itu bukan hal yang buruk. Berarti saya berhasil menciptakan momen yang spesial. Saya akan turun panggung senang.

Iklan

Lain waktu saya mencoba memainkan sound yang lebih kotor, menumpuk tekstur dan berusaha mencapai level volume dan kegilaan Tim Hecker. Prosesnya berubah-ubah.

Pas Slowdive berencana untuk reunian, apa ide yang pengen kamu bawa ke materi baru?
Peran saya sebagai drummer pas manggung tentunya, tapi saya juga memainkan gitar di beberapa bagian album baru, bass, sampel, piano dan banyak lagi di Souvlaki. Saya tidak pernah melihat diri hanya sebagai drummer.

Kami semua masuk ke studio untuk menciptakan Slowdive, dan saya keluar masuk untuk memberikan Neil ruang untuk menulis lirik atau memainkan gitar. Suatu hari saya menangkap basah dia lagi main-main dengan loop piano, dan saya berpikir "Wah ini kesempatan untuk ikutan," dan menghasilkan manipulasi sound dari bagian yang sedang dia mainkan. Ketika dia masuk ke ruang kontrol, saya memutar ulang hasilnya dan dia terkejut. "Anjir, jadi deh lagunya gara-gara elo. Persis yang gue cari." Beginilah cerita dibalik saya ikut menulis lagu "Falling Ashes."

Kami tidak ingin Slowdive menjadi semacam proyek nostalgia. Kami ingin terdengar kontemporer, menggunakan teknologi dan studio bagus dan banyak memakai bunyi synth. Tapi di saat yang sama, menciptakan album yang terlalu gila juga rasanya aneh. Setelah 22 tahun, orang ingin mendengar album Slowdive yang layak.

Kayaknya bandnya udah lebih harmonis sekarang ya? Dulu pas kalian pertama kali bubar, elo bahkan gak ikutan ya?
Ketika saya mendengar Pygmalion, saya langsung mengatakan, "Ini album Slowdive favorit saya." Tapi saya gak ikutan main [tertawa]. Gak ada drama kok, saya cuman ingin keluar dan mengerjakan proyek-proyek lain. Neil juga begitu. Tapi saya sadar dengan kronologi Slowdive yang agak janggal: di album baru, "Falling Ashes" seakan menarik benang merah saya dengan Pygmalion.

Iklan

Pengaruh tekno minimal dan ambient akan semakin terasa di album selanjutnya, ditambah tipe-tipe minimalisme ala Terry Reilly atau Steve Reich. Atau bisa juga kita semakin gila dan justru semakin brutal. Biarpun gak semua anggota band suka musik eksperimental, beberapa dari kami tumbuh mendengarkan Nick Cave, New Order dan The Cure, dan masih menggemari mereka hingga sekarang. Neil, sama seperti saya, menyukai synth analog dengan efek proses digital. Jadi satu kaki kami berada di teritori band indie pop dan satu kaki lainnya dalam eksperimentalisme abstrak. Kami memiliki banyak pilihan.

Album ini terdengar alami—bukan sekedar upaya lebay untuk terdengar 'kontemporer'.
Udah dengar kabar Madonna meminta Alva Noto untuk memasukkan beat ke lagu barunya? Dia jelas ingin diapresiasi generasi muda, dan melempar banyak uang ke tokoh musik 'keren' masa ini. Saya sudah sering dengar cerita seperti ini, dimana banyak orang meminta programmer MAX/MSP untuk mengubah lagu pop mereka agar terdengar seperti Ryoji Ikeda dengan beat glitchy minimal. Ini curang sih.

Kami ingin mempelajari hal-hal seperti ini sendiri, menyerap musik dan maju sebagai penulis lagu. Biarpun Slowdive memiliki kerangka musik sendiri, sekarang kami memiliki dua aspek yang berbeda dan sepertinya ini sukses-sukses aja.

Reunian kalian disambut positif penggemar musik—jauh sekali dibanding reaksi yang kalian dapatkan di 90-an ketika kalian dibantai oleh media. Gimana rasanya melihat kembali ke era tersebut?
Media musik Inggris di saat itu sangat berkuasa: Melody Maker, NME dan Sounds bisa melejitkan atau menghancurkan karir band. Kami tidak pernah mengerti kenapa kami yang dipilih sebagai korban. Tapi saya justru senang itu terjadi. Kami tidak pernah merilis hit, muncul di TV dan tidak ikut-ikutan tren Britpop. Ini sudah masa lalu. Internet muncul dan merubah semuanya ke arah yang positif. Sekarang lebih banyak kolaborasi DIY yang murni. Dulu keadaan tidak seperti ini. Kami tidak merasa sebagai bagian dari kancah shoegaze sampai ketika NME menetapkan kami seperti itu. Jadi sekarang keadaan udah gak sekejam dulu ya?
Iya, sekarang semua orang bisa memainkan musik seperti yang mereka mau, tanpa tekanan. Dulu, label rekaman memberikan uang ke band dan mengharapkan lagu-lagu hit, mendorong band ke arah pop. Kami tidak pernah mengira Souvlaki akan masuk chart musik atau masih didengarkan hingga sekarang.

Iklan

Sekarang kami bisa manggung bareng siapapun—shout out buat S U R V I V E, terutama, band brilian yang memberikan harapan bagi musisi-musisi kecil untuk terus berkarya—dan saling berbagi album, alamat email, dan nongkrong bareng orang-orang yang kami suka. Kami bahkan bisa mengajak band-band yang kami suka untuk tur bareng. Memang seharusnya musik itu seperti ini.

Melihat kebelakang, apakah anda tahu bahwa Slowdive akan reuni suatu hari?
Kami selalu ditanya ini: "Apakah kalian kembali untuk kembali memegang tahta shoegaze?" Kami sama sekali tidak merasa seperti ini! Kami terkejut bahwa kami bisa kembali manggung di depan ribuan orang di festival seperti Field Day dan Primavera. Kayaknya memang dulu saatnya kami untuk berhenti. Ini terjadi secara organik.

Dan banyak momen-momen menyenangkan dulu! Ketika masih bocah, saya selalu ingin bermain untuk band yang hebat. Saya beruntung diajak bergabung dengan Slowdive di 1990 dan sempet ikutan tur selama 4 tahun. Kami selalu merasa jurnalisme musik, penuh dengan cemoohan, lucu. Orang-orang ini ngomongin kami, kenapa mereka gak ngomongin musik mereka sendiri?

Ketika seseorang memutar album Slowdive dari 1992, saya tidak merasa malu. Musik yang kami buat murni ditulis sesuai kehendak, tidak ada bagian-bagian cheesy yang sengaja dimasukkan agar kami masuk chart. Kami justru melakukan sebaliknya. Kalau kamu dengarkan lagu "Albatross.", side-B dari "Catch The Breeze," kami menggunakan pemantik dan gunting untuk menghasilkan suara gitar. Kulit drum dilepas, dan mikrofon semua ditaruh di tempat-tempat yang tidak umum. Rasanya sangat menyenangkan. Kami di dalam studio, ngebir dan ngepul. Biarpun sekarang rekaman tersebut terdengar lumayan 'jinak' buat kami, dulu proses pengerjaannya sangat menyenangkan. Tidak ada penyesalan dari kami!

Kalau dulu karir musik kamu tidak mengalami perubahan drastis, mungkin kamu tidak akan menjadi penggemar Alva Noto dan berada di titik tempat kamu sekarang ya.
Nah, itu dia. Saya banyak mendengarkan post-rock di 90-an, terus bosen dan mencari sesuatu yang berbeda. Akhirnya saya menemukan musik elektronik. Saya meraih gelar musik dan sempat mengajar sintesis granular di Cambridge, memperluas pengetahuan karena memang saya tertarik. Lucu kalau kami dituduh reunian demi uang karena semua uang dari gig reunian kami gunakan untuk membiayai album baru. Kami semua sangat peduli dengan musik secara tulus. Semoga ini bisa terdengar di musiknya.