Pilkada 2018 Belum Mulai, Pertempuran Berebut Penyanyi Dangdut Sudah Berlangsung
Seorang penyanyi dangdut meramaikan kampanye PDI-Perjuangan. Foto oleh Arie Basuki untuk VICE.

FYI.

This story is over 5 years old.

Dangdut dan Politik

Pilkada 2018 Belum Mulai, Pertempuran Berebut Penyanyi Dangdut Sudah Berlangsung

Via Vallen dan Nella Kharisma menjadi incaran kandidat cagub dan wagub di berbagai wilayah. Kenapa politikus selalu merasa penyanyi dangdut efektif sebagai juru kampanye?

Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di beberapa provinsi masih berjarak enam bulan lagi. Nyatanya pertempuran riil sudah dialami beberapa bakal calon, contohnya Ridwan Kamil yang maju memperebutkan kursi Gubernur Jawa Barat. Politikus akrab disapa Kang Emil itu sudah harus bersaing memperebutkan… kehadiran bintang dangdut lokal.

Kang Emil, yang sampai saat ini masih menjadi petahanan Wali Kota Bandung, berusaha menggaet musisi tenar dari berbagai genre untuk mendukung kegiatan kampanyenya. Saat ini Emil bersama calon wakilnya Uu Ruhzanul Ulum berhasil mendapat komitmen selebritas ibu kota seperti Syahrini, Raffi Ahmad, dan Doel Sumbang. Masing-masing adalah seleb tenar yang bisa menarik perhatian masyarakat untuk datang ke acara kampanye. Namun ada satu nama yang sebetulnya sangat diharapkan bisa bergabung ke tur kampanye Jawa Barat Ridwan Kamil. Satu nama yang juga diincar politikus-politikus calon peserta pilkada serentak tahun ini: Via Vallen. Nama itu telah "dipesan" lebih dulu untuk terlibat kampanye calon gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf (Gus Ipul) yang berpasangan dengan Puti Guruh Soekarno.

Iklan

“Via Vallen sudah sama Jawa Timur, tapi mudah-mudahan masih bisa (jadi jurkam di Jabar)," kata Kang Emil saat dihubungi media lokal.

Via Vallen, bernama asli Maulidia Octavia, merupakan artis dangdut paling fenomenal saat ini. Honor manggungnya bisa mencapai Rp60 juta sekali tampil. Konon saat memasuki masa kampanye, honor itu bisa naik berlipat-lipat. Devia Sherly, selaku pemilik event organizer acara pilkada, saat diwawancarai Kapanlagi.com mengakui honor artis sekaliber Via bisa mencapai Rp500 juta per event. Bisa dibayangkan berapa kocek yang harus dirogoh calon kepala daerah hanya untuk satu artis saja sekali pentas. Toh honor bukan persoalan sama sekali bagi kandidat peserta pilkada. Buktinya Via jadi rebutan antara pilkada Jawa Timur dan Jawa Barat.

Setiap calon kepala daerah selalu punya alasan kenapa hukumnya kudu buat ngundang artis. Tim sukses Gus Ipul berkilah bahwa pemilih berusia muda perlu dirangkul dan disapa. Caranya ya dengan menggandeng figur yang mewakili generasi muda.

“Dua penyanyi ini mewakili pemilih millenial. Saya kemarin sudah ngecek fans mereka. Ternyata ada ratusan ribu. Tersebar dari pesisir selatan sampai pantura," ujar Sri Untari, Sekretaris Tim Pemenangan Gus Ipul-Puti dikutip Tribunnews.

Dangdut dan pilkada seolah adalah bagian tak terpisahkan. Pilkada tanpa musik dangdut ibarat dangdut koplo itu sendiri tanpa iringan kendang, kagak goyang luurrr….

Iklan

Bagaimanapun, Via Vallen, disusul Nella Kharisma memang berbeda. Keduanya adalah representasi penyanyi dangdut masa kini yang mengusung citra berbeda. Mereka berusaha mengangkat citra dangdut menjadi hip, muda, dan keren. Tak heran bila Via Vallen, ambil contoh, sangat digemari anak muda di bawah 25 tahun. Goyangan dan penampilan panggung keduanya juga terhitung sopan, sangat cocok untuk mendukung kampanye beberapa kandidat calon gubernur yang mengedepankan citra religius.

Sejak dangdut modern muncul di era 1970-an, jutaan rakyat segera terhipnotis. Panggung pilkada tak luput dari dangdut. Saat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengajak raja dangdut Rhoma Irama manggung pada 1977, ratusan ribu penggemar dan pendukung partai berduyun-duyun memadati venue.

Sejak saat itu pula musik seolah menjadi bagian integral dalam perhelatan panggung politik, terutama pilkada dan pemilu. Namun baru beberapa tahun belakangan ini, dangdut seolah menjadi senjata utama. Para biduan dangdut dan artis papan atas kini kerap didapuk jadi juru kampanye.

Pengamat budaya Indonesia, Jim Schiller menulis dalam bunga rampai Deepening Democracy: Direct Elections for Local Leaders, bahwa akibat popularitasnya, dangdut sejak tiga dekade lalu terlalu sering digunakan menyatukan massa yang notabene datang dari latar belakang berbeda. Tujuannya selain meredam ketegangan, juga demi membentuk citra kandidat yang dekat dengan rakyat.

Iklan

Salah satu penyanyi dangdut meramaikan kampanye Gerindra. Foto oleh Arie Basuki.

Strategi tersebut kini terulang lagi. Pilkada serentak pada 27 Juni 2018 mendatang diikuti 171 daerah yang sangat menentukan peta politik nasional. Namun, bisa dibilang bukannya program yang akan jauh gegap gempita disambut massa beberapa bulan ke depan. Melainkan lampu panggung gemebyar dan irama hipnotik dangdut koplo. Para calon kepala daerah sudah ancang-ancang menggandeng artis sejak sebelum masa kampanye tahun lalu. Yang paling mencuri perhatian tentu saja adalah pasangan bakal calon gubernur Jawa Timur Syaifullah Yusuf-Puti Guruh Soekarno, yang menggandeng komunitas dangdut New Palapa, membawahi artis nomor wahid macam Via Vallen dan Nella Kharisma.

Harapan untuk meraup suara melalui panggung yang dikomandoi juru kampanye artis terus muncul setiap musim pilkada. Padahal, banyak pengamat mengatakan bahwa efektivitasnya dalam mendongkrak perolehan suara tidak bisa diukur.

Manajemen dan perusahaan rekaman PT Nagaswara mengaku artis dangdut di bawah naungannya laris manis selama musim kampanye pilkada 2015, mengalahkan genre musik lain seperti pop dan rock.

Pengamat politik dari Universitas Padjajaran Muradi mengatakan bahwa memobilisasi massa dengan harapan merebut angka suara adalah cermin rasa tidak percaya diri sang calon kepala daerah. Ia juga mengatakan bahwa tradisi tersebut bukan sebuah tindakan demokratis. Alangkah keliru jika hanya mengandalkan artis untuk memperoleh suara, alih-alih memaparkan program pemerintahan nantinya, tambah Muradi.

Iklan

“Jika hal tersebut dilakukan semata-mata untuk menghibur warga, saya rasa sah-sah saja,” ujar Muradi kepada VICE Indonesia. “Tapi jika menggandeng artis untuk mendongkrak suara saya rasa itu tidak cerdas.”

Muradi mengatakan bahwa canvassing atau kampanye dari pintu-ke-pintu justru lebih efektif dilakukan dalam skala lokal. Dengan taktik tersebut, calon kepala daerah bisa lebih dekat dengan calon pemilih dan mudah untuk memaparkan visi dan misinya.

“Blusukan untuk memastikan mendapat dukungan itu lebih perlu,” kata Muradi. “Sehingga persepsi publik bisa dibangun. Mereka akan tahu kualitas calon yang akan dipilihnya.”

Faktanya, menggaet artis (baik dangdut maupun bukan) terlanjur menjadi tradisi tak terpisahkan dalam politik elektoral di Tanah Air. Musik adalah bahasa universal yang bisa melampaui sekat-sekat ras, agama, dan gender. Dengan pemahaman tersebut tradisi membawa musik ke panggung pilkada tampaknya tak akan punah di masa depan.

Masih ingat ramainya Konser Salam Dua Jari yang digagas relawan pendukung pasangan Joko Widodo - Jusuf Kalla saat pemilihan presiden 2014 lalu? Puluhan artis membanjiri panggung di Gelora Bung Karno. Tapi belum ada parameter apakah para simpatisan yang datang ke konser tersebut betul-betul menyumbangkan suara untuk pasangan Jokowi - JK atau hanya datang untuk menikmati musik idolanya?

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan bahwa momentum kampanye seharusnya digunakan dengan sebaik-baiknya oleh calon pemimpin daerah. Ia menambahkan bahwa masyarakat harus diberikan pendidikan politik sebelum melakukan pencoblosan.

“Masyarakat jangan hanya disuguhi musik dangdut,” kata Ferry saat dihubungi awak media. “Kampanye tersebut seharusnya bersifat dialogis.”