Batasan Usia Menikah

Tak Semua Suram dari DPR: Batasan Usia Minimal Nikah Jadi 19 Tahun Disambut Gembira

Selain penting bagi perjuangan hak anak, rancangan kebijakan itu adalah berita baik bagi Pengadilan Agama yang capek ngurusin ribuan kasus perceraian akibat nikah muda.
Tak Semua Suram dari DPR: Batasan Usia Minimal Nikah Jadi 19 Tahun Disambut Gembira
Foto pernikahan anak di Bantaeng, Sulawesi oleh Eko Rusdianto/VICE

Pernah denger enggak, katanya kecepatan bekerja akan meningkat seiring deadline mendekat? Kalau kata orang tahun 2000-an, the power of kepepet. Slogan itu kayaknya lagi menghinggapi Badan Legislasi (Baleg) DPR kita, sibuk bener jelang dua minggu periode jabatannya selesai. Yang terbaru, mereka baru saja menyetujui revisi UU Perkawinan yang isinya menaikkan batas minimal usia perkawinan baik perempuan maupun laki-laki menjadi 19 tahun dari yang semula perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.

Iklan

Keputusan ini disepakati dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Baleg DPR bersama Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) pada Kamis (12/9) di Gedung Nusantara 2 DPR RI, Jakarta. Mengutip lirik lagu milik Agnes Monica, pemerintah dan DPR telah sepakat bahwa dalam setiap kasus pernikahan dini, bukan cintanya yang terlarang, hanya waktu saja yang belum tepat.

Dari semua anggota dari 10 fraksi yang hadir dalam rapat pembahasan revisi UU Perkawinan, hanya anggota fraksi PKS Ledia Hanifah Amalia dan fraksi PPP Achmad Baidowi yang menolak dan ingin tetap pada keputusan awal, dinaikkan menjadi 18 tahun saja.

“Saya setuju jika batas usia perkawinan menjadi 18 tahun karena tidak hanya terbatas dari usia tetapi juga pada tingkat kematangan. Tetapi, kematangan seseorang baik secara biologis maupun psikologis dapat dibentuk melalui pengasuhan yang baik, sedangkan hingga saat ini belum ada regulasi khusus yang mengatur terkait pengasuhan keluarga,” ujar Ledia, dilansir Berita Satu.

Ledia melihat masih banyak budaya masyarakat Indonesia, khususnya di desa, yang mempraktikkan perkawinan usia anak. Ditambah lagi, ia menganggap lebih baik perhatian ditujukan untuk meregulasi perilaku seks bebas sebagai penyumbang angka perkawinan dini yang tinggi dibanding menaikkan lagi usia minimal pernikahan.

Iklan

Berbeda dari koleganya, anggota fraksi Partai Golkar Endang Maria Astuti mengatakan, secara ilmiah usia 18 tahun belum bisa dibilang siap menikah karena kondisi alat reproduksi perempuan belum berfungsi maksimal. Kalau dipaksa melahirkan, hal ini akan berdampak pada kondisi psikologis si wanita yang belum siap. Pertimbangan empiris inilah yang kemudian membuatnya setuju menaikkan usia batas minimal menjadi 19 tahun.

Setelah mulus melewati rapat Baleg, RUU akan dibawa dalam rapat paripurna pada 17 September 2019 untuk disahkan menjadi UU. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menyambut baik kebijakan ini.

"KPAI menilai hal ini merupakan langkah maju bagi bangsa Indonesia. Sehingga diharapkan hal ini dapat mendorong tercapainya SDGs (sustainable development goals), berkurangnya angka kematian ibu dan balita, berkurangnya stunting, dan meningkatnya kualitas keluarga Indonesia,” ucap Susanto, tokoh yang namanya makin terkenal akibat sengketa KPAI vs PB Djarum, dilansir Tirto.

Sebelumnya, Panja Baleg DPR RI sudah sepakat merevisi UU 1/1974 tentang Perkawinan Pasal 7 mengenai batas minimal usia pernikahan dari yang tadinya 19 tahun (laki-laki) dan 16 tahun (perempuan) menjadi 18 tahun untuk kedua jenis kelamin. Namun, Surat Presiden (Surpres) 6 September 2019 mendorong pembahasan kembali revisi tersebut dengan mengirimkan empat kementerian terkait untuk duduk bersama. Menteri PPPA Yohana Yembise jadi yang terdepan mempercepat laju pembahasan revisi UU ini.

Iklan

“Keputusan ini memang sangat ditunggu masyarakat Indonesia, untuk menyelamatkan anak dari praktik perkawinan anak yang sangat merugikan baik bagi anak, keluarga, maupun negara. Ini adalah buah manis dari perjuangan dan kerja keras kita bersama. Selama 45 tahun, akhirnya terjadi perubahan UU perkawinan demi memperjuangkan masa depan anak-anak Indonesia sebagai SDM unggul dan generasi emas Indonesia 2045,” ujar Yohana.

Selain berdasarkan kajian empiris, revisi UU ini juga mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi yang menganggap batas usia yang diberlakukan sebelumnya mengandung diskriminasi gender. Putusan MK No. 22/PUU-XV/2017 tersebut menyatakan, kebijakan pembedaan minimal umur menikah bertentangan dengan UUD.

Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari mengaku tidak bisa berkata-kata saking terharunya dengan keputusan ini. Sedangkan Direktur Institut KAPAL Perempuan Misyah berharap pada rapat paripurna nanti keputusan tidak berubah.

Mengutip data BPS 2018, angka perkawinan anak di Indonesia menempati posisi kedua di ASEAN dan ketujuh tertinggi di dunia. Satu dari sembilan perempuan usia 20-24 tahun menikah pada usia anak. Di Mojokerto, Jawa Timur, kasus pernikahan dini menjadi pemicu 1.201 wanita muda harus menjanda sepanjang 2018. Pernikahan dini di sana kebanyakan disebabkan oleh dua hal: (1) hamil di luar nikah, atau (2) kekhawatiran orang tua terhadap anak-anaknya melanggar norma agama dan kesusilaan.

Wakil Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Mojokerto Hamidah berpendapat, pasangan menikah dini belum siap secara psikis dan finansial untuk membangun rumah tangga sehingga memicu perceraian yang juga dini. Data Pengadilan Agama Mojokerto mengungkap, jumlah kasus perceraian sepanjang 2018 mencapai 2.992 kasus, yang mana 1.201 di antaranya dialami pasangan usia 20-30 tahun.

Di Probolinggo, Jawa Timur tercatat ada 333 perkara perceraian diputus PA selama Agustus 2019 saja. Selain faktor ekonomi, kasus perceraian terjadi juga akibat pernikahan dini. “Beberapa faktor pasangan suami istri melakukan perceraian. Misal sering terjadi percekcokan, usia belum matang sampai-sampai baru satu tahun menikah sudah mau cerai," paparnya Panitera Muda Hukum Masyhudi kepada Detik.