FYI.

This story is over 5 years old.

Covering Climate Now

Krisis Perumahan Ancam 1,1 Juta Orang, Hong Kong Berencana Pindahkan Warga ke Pulau Buatan

Lokasi pulau reklamasi ini di tengah laut, diharapkan jadi solusi masalah kependudukan yang makin parah. Btw, mirip Jakarta di era gubernur yang itu ya...
Perkampungan padat di Quarry Bay Hong Kong
Kawasan apartemen padat "Yick Cheong Building" di Quarry Bay area, Hong Kong. Sumber foto: Vincent Isore/IP3/Getty Images

Laut Cina Selatan tak sekadar perairan paling panas diperebutkan berbagai negara. Laut ini juga bakal menjadi panggung masa depan dystopian Hong Kong, dimana 1,1 juta orang yang terlantar krisis perumahan diharapkan akan tinggal di pulau-pulau buatan manusia dalam 30 tahun mendatang.

Pejabat eksekutif Administrasi Hong Kong, Carrie Lam, menjelaskan rancangan pihaknya mengembangkan sebuah proyek geoengineering ambisius dalam pidato pekan lalu. Proyek yang diberi nama 'Lantau Tomorrow Vision' direncanakan bisa menambah 17 kilometer persegi tanah dekat Pulau Lantau, nama pulau terbesar wilayah administratif Hong Kong yang terletak di pesisir Sungai Pearl. Lokasi ini dipilih dari berbagai daftar calon lokasi lainnya. Pemerintah Hong Kong belum menentukan harga untuk proyek ini, tetapi media lokal telah memperkirakan anggarannya mencapai HK$500 miliar. Amat fantastis.

Iklan

"Visi proyek ini bertujuan untuk menanam kepercayaan dalam masyarakat Hong Kong demi kemajuan ekonomis, memperbaiki kehidupan warga, dan memenuhi kebutuhan karir dan perumahan mereka," ucap Lam dalam pidatonya.

Selama delapan tahun berturut-turut, Hong Kong dijuluki pasar properti paling mahal di dunia, menurut survei Demographia International Housing Affordability yang dilakukan di 300 kota berbagai negara. Harga rata-rata per meter persegi mendekati US$15.000 (setara Rp228,1 juta). Sebuah penelitian juga menunjukkan bahwa apartemen di Hong Kong rata-ratanya termasuk berdimensi paling kecil di dunia (45 meter persegi). Minimnya lahan yang dapat dikelola dan jumlah populasi yang sangat padat—data terakhir menyebut 7,3 juta orang menempati sekitar 1.105 kilometer persegi—serta ketertarikan banyak migran yang terus meningkat untuk tinggal di pusat teknologi Asia ini, membuat banyak warga tertinggal. Ada populasi yang sama sekali tidak sanggup membeli rumah di wilayah khusus Tiongkok tersebut, sekalipun mereka berusaha mencicil sampai anak cucu kelak.

Penambahan tanah dan perumahan di Hong Kong memang punya daya tarik sebagai solusi untuk krisis perumahan di wilayah ini. Kawasan reklamasi diramal mampu menyediakan 260 ribu hingga 400 ribu unit perumahan, sementara 70 persen darinya merupakan perumahan umum untuk 700 ribu hingga 1,1 juta orang (setara 15 persen dari total penduduk wilayah khusus Tiongkok tersebut), menurut keterangan pemerintah Hong Kong.

Iklan

Lantau Tomorrow Vision merupakan proyek reklamasi terbesar Hong Kong, sebuah proses pembuatan pulau di tengah laut. Membangun sebuah pulau tentu saja tidak mudah. Di Hong Kong, metode yang digunakan mencakup pengerukan dan injeksi semen pada dasar laut. Sekitar 6 persen dari permukaan Hong Kong merupakan tanah reklamasi yang ditempati 27 persen dari penduduknya.

1539284997061-800px-Hong_Kong_districts_map

Sumber gambar: Wikimedia Commons

Aktivis lingkungan percaya proyek ini dapat merusak ekosistem di sekitar daerah reklamasi secara permanen. Pada Agustus lalu, World Wildlife Fund (WWF) menganggap reklamasi sebagai "solusi terakhir yang sebisa mungkin dihindari" untuk krisis perumahan Hong Kong. WWF mendesak pemerintah Hong Kong untuk berkonsultasi dengan para pecinta lingkungan sebelum melanjutkan proyek ini. Ahli ekologi memperkirakan pulau-pulau buatan tersebut dapat memusnahkan perikanan dan mengganggu arus angin dan laut. Polusi suara dari konstruksi pulau-pulau tersebut juga dapat membahayakan lumba-lumba putih Cina, sebuah jenis lumba-lumba lokal yang populasinya sudah mulai berkurang drastis.

Sebuah dampak langsung yang mungkin segera timbul akibat proyek reklamasi ini adalah banjir merusak akibat perubahan iklim. Sejak akhir Abad 20, permukaan laut Hong Kong diperkirakan meningkat lebih dari satu meter. Menurut Leung Wing-mo, mantan asisten direktur observatorium pemantauan cuaca Hong Kong yang berbicara dengan South China Morning Post. Di Hong Kong, Shanghai, dan Tianjin, banjir pesisir dapat memindahkan sebanyak 45 juta orang jika suhu global terus memburuk.

Iklan

"Untuk mengurangi risiko kebanjiran, ya tentunya perumahan yang dibangun semakin tinggi di atas permukaan laut, semakin baik," ujar Gabriel Lau Ngar-cheung, pakar dari Institut Lingkungan Hidup, Energi, dan Keberlanjutan Hong Kong mengenai Lantau Tomorrow Vision pada South China Morning Post. "Tapi pasti harga jualnya akan jauh lebih tinggi."

Ringo Mak Wing-hoi, salah satu pendiri organisasi perubahan iklim lokal 350 Hong Kong, menjelaskan bahwa aksi menyesuaikan infrastruktur pada pulau reklamasi untuk melawan kenaikan tinggi permukaan laut bisa membuat harga proyek ini dua kali lebih mahal.

Risiko-risiko ini bukan hanya sekedar teori. Bulan lalu, topan Mangkhut mengguncang Hong Kong dengan angin secepat 172 kilometer per jam. Badai-badai serupa disangka akan lebih sering terjadi. Beberapa minggu sebelumnya, Topan Jebi membanjiri landasan terbang Kansai International Airport di Jepang yang kebetulan dibangun di atas tanah reklamasi, hingga penumpangnya menjadi terdampar.


Tonton dokumenter VICE mengenai perkampungan di tengah makam akibat krisis perumahan Filipina:


Dalam pidatonya, Lam mengklaim bahwa pulau reklamasi akan menjadi sebuah pulau yang "pintar, hijau dan tangguh menghadapi perubahan lingkungan dan iklim." Pulau tersebut juga akan memanfaatkan energi terbarukan dan teknik pengolahan limbah terkini. Klaim mulai muncul agar proyek reklamasi memperoleh dukungan adalah janji otoritas Hong Kong bahwa “usaha konservasi akan diprioritaskan dalam proses pembangunannya,” meski tentu saja, beberapa kelompok pecinta lingkungan menyangsikan komitmen tersebut.

Iklan

Pihak lain yang menentang proyek reklamasi berargumen bahwa Task Force on Land Supply—badan pemerintah yang dibentuk Lam—terkesan buru-buru menyetujui usulan Lam walaupun jelas-jelas tidak menguntungkan publik Hong Kong. Salah satu indikasinya adalah proyek perumahan di pulau reklamasi tersebut baru akan dibuka pada 2032 sementara banyak keluarga di Hong Kong yang rata-rata sudah mengantre selama lima tahun untuk mendapatkan rumah.

Selain itu, sebuah jajak pendapat pemerintah Hong Kong pada 2016 yang menghimpun 7.550 komentar dari penduduk Hong Kong menunjukkan bahwa nyaris tiga perempat warga Hong Kong menolak usulan pembuatan pulau reklamasi di dekat pulau Lantau.

Kontroversi seputar Lantau Tomorrow Vision tak serta merta menegasikan fakta bahwa solusi efektif masalah perumahan di Hong Kong harus segera ditemukan. Krisis ini memaksa sejumlah developer bereksperimen dengan menyediakan 'nano flat', sebutan untuk bangunan bertingkat super tinggi dan pemukiman permanen di atas kapal pesiar.

Dan meskipun pulau buatan manusia bukanlah fenomena yang benar-benar baru—sejumlah pulau buatan di Asia Timur sudah ada sejak tahun 1600an—pulau reklamasi kini sering dianggap sebagai solusi masalah kepadatan penduduk dan perubahan iklim di seluruh dunia—dan ini mungkin mengindikasikan betapa kelabakannya manusia menghadapi permasalahan ketersedian lahan perumahan.

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard