FYI.

This story is over 5 years old.

Musik Kok Diatur?

Ratusan Musisi Resmi Tabuh Genderang Perang Menolak RUU Permusikan

Siapa bilang musisi Indonesia apolitis?!
Musisi Menolak RUU Permusikan yang dianggap mengekang
Ilustrasi dari Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan

Musisi Indonesia membuktikan diri tidak akan diam saja saat politikus berusaha mengusik kebebasan berekspresi dengan dalih memajukan industri. Sebanyak 262 musisi dan pekerja seni yang terkait industri musik menolak Rancangan Undang-Undang Permusikan yang sedang digodok legislatif. Mereka membentuk Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan, yang secara khusus menyorot setidaknya 19 pasal paling bermasalah dari calon beleid tersebut.

Iklan

Musisi dari berbagai genre dan latar belakang ikut berpartisipasi dalam koalisi nasional ini, merujuk keterangan tertulis yang diterima VICE. Namun nama-nama yang selama ini dikenal dari sirkuit independen menjadi penggerak utamanya. Di antaranya adalah Danilla Riyadi, Mondo Gascaro, Arian '13' Arifin dari band Seringai, Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca, hingga Jason Ranti.

Danilla, solois pop independen, sempat menyusun petisi di platform Change.org mengajak masyarakat #TolakRUUPermusikan akhir pekan lalu. "Saya Danilla Riyadi, perwakilan dari teman-teman Koalisi Nasional Tolak Rancangan Undang-Undang Permusikan, bersama-sama menyusun petisi ini," seperti dikutip dari petisi tersebut.

RUU Permusikan diprotes lantaran memuat pasal-pasal tumpang tindih dengan beberapa Undang-Undang yang sudah mengatur teknis industri musik. Jika harapannya meningkatkan kesejahteraan musisi—terkait royalti, performing rights, ataupun bisnis pergelaran konser—RUU Permusikan malah tumpang tindih dengan aturan hukum yang sudah ada. Bahkan, ada analisis jika beleid ini akan mematikan gerakan musik independen, karena hanya condong melindungi kepentingan label rekaman mayor ataupun event organizer bermodal besar.

"Dari ketidakjelasan redaksional atau bunyi pasal, ketidakjelasan 'siapa' dan 'apa' yang diatur, hingga persoalan mendasar atas jaminan kebebasan berekspresi dalam bermusik" kata Rara Sekar, salah satu musisi yang ikut meneken surat bersama dari koalisi nasional.

Iklan

Pasal 5 RUU Permusikan jadi yang paling disoroti. Pasal ini melarang musisi mempromosikan budaya barat yang negatif, merendahkan harkat martabat manusia, menistakan agama, konten pornografi, dan musik yang provokatif. Jika dilanggar, ancamannya adalah pidana alias pemenjaraan dan denda. Poin-poin di atas makin problematik, karena tidak pernah ada ukuran pasti bagaimana penafsiran budaya asing yang negatif, begitu pula poin yang lainnya. Lebih parahnya lagi, penyusun RUU ini tidak ada satupun yang berlatar sebagai musisi.

Di tengah kritik bersama musisi, muncul drama sampingan, akibat konflik antara I Gede Ari Astina alias Jerinx—drummer band Superman is Dead—dengan Anang Hermansyah, mantan musisi yang kini menjadi anggota Komisi X DPR, yang mengawasi proses penyusunan RUU Permusikan. Akibat cuitan Jerinx yang mengkritik keras Anang, sempat muncul isu drummer SID itu akan dilaporkan ke polisi. Anang buru-buru mengatakan tak ada rencana membawa perdebatan ini ke ranah hukum. Mantan vokalis band Kidnap Katrina itu mengklaim setuju dengan sebagian kritik musisi yang menolak pasal bermasalah di RUU Permusikan. "Saya bilang tidak setuju dengan pasal 5 itu," kata Anang saat diwawancarai media.

Sejak September 2018, DPR memasukkan RUU Permusikan dalam daftar program legislasi nasional prioritas, artinya tahun ini pun bisa saja disahkan. Bagi musisi independen, RUU permusikan hanya mengakomodir kepentingan pemodal besar di industri musik.

Pasal 10, misalnya, sangat berpotensi meminggirkan musisi independen karena justru mereka dipaksa bergabung ke label dan distributor besar untuk memasarkan karya seninya. "Ini kan curang," kata Jason Ranti.

Ketua DPR Bambang Soestyo mengaku tak akan memaksakan RUU Permusikan disahkan seperti sekarang, setelah menyaksikan respons negatif dari banyak pihak. Dia menjanjikan akan ada revisi beleid tersebut. "